Monday, March 6, 2017

Tranformasi Misi Kristen (Khususnya Bab 12) Penulis : David J. Bosch



Nama                          : Johannes Nababan
M. Kuliah                   : Oikumenika
Judul Buku                : Tranformasi Misi Kristen (Khususnya Bab 12)
Penulis                        : David J. Bosch
Penerbit                      : BPK Gunung Mulia
Kota Terbit                :Jakarta                       
Tahun Terbit             :1997                             
Jumlah Halaman       :565-765

Jangan di Copy bulat-bulat yah?
ini tulisan saya dan asli, sesekali cantumkan nama saya sebagai sumbernya..
heheheheheh
            Buku Tranformasi Misi Krinten ini ditulis oleh David J. Bosch. Buku ini banyak memuat bagaimana cara bermisi yang relevan dilakukan dimasa modern ini. Terkhusus dalam bab 12, David J. Bosch banyak memberikan metode Misi yang Oikumenis dan pandangan missioner yang sedang berkembang. Penulis juga membicarakan bagaimana refleksi tentang peranan gereja di dalam misi, pertama-tama David J. Bosch menjelaskan pandangan Avery Dulles mengenai Gereja sebagai tubuh Kristus.
            Didalam sebuah studi yang tajam Avery Dulles (1876) mengidentifikasikan lima tipe utama gereja. Gereja katanya, dapat dipandang sebagai lembaga, sebagai tubuh yang mistis dari Kristus, sebagai sakramen, sebagai bentara atau sebagai hamba. Masing-masing dari tipe ini menyuratkan penafsiran yang berbeda tentang hubungan antara gereja dan misi. Untuk mendapatkan pemahaman mengenai pergeseran-pergeseran dalam pemikiran Protestan mengenai hubungan antara gereja dan misi, sumbangan-sumbangan dari konferensi-konferensi sedunia menurut David J. Bosch sangatlah penting dipahami, misalnya konferensi-konferensi dari Edinburgh 1910. Di Edinburgh perhatian yang besar ditunjukan pada tidak adanya entusiasme missioner di antara gereja-gereja di Barat, pernyataan teologis tentang hubungan antara gereja dan misi nyaris disentuh, akan tetapi dalam konferensi IMC di Yerusalem, hubungan antara gereja tua dan gereja muda mendapatkan perhatian yang cukup besar dan dibagi dalam suatu wilayah geografis yang besar.
            padatahun 1938 hubungan antara gereja dan misi serta antara gereja tua dan gereja muda dalam cara yang teologis. Pembedaan antara negara-negara Kristen dan yang non-Kristen pada prinsipnya di tinggalkan. Hal ini berarti bahwa Eropa dan Amerika Utara juga harus dianggap sebagai ladang misi. Garis-garis pemisa tidak lagi membentang antara Kekristenan dan kekafiran, antara gereja dan dunia, akan tetapi menurut penulis tidak menutup kemungkinan bahwa di dalam gereja juga ada orang Kristen yang kafir.      David J. Bosch juga menyunggung mengenai ketegangan di Perang Dunia I yang bangkitnya ideologi-ideologi radikal seperti Naziisme dan juga teologi yang antroposentris dan juga Protestanisme liberal, yang mmpengaruhi perkembangan gereja dan misinya.
Hakekat Misioner
            Ekliseiologi ataupun gereja pada hakikatnya dipandang harus misioner yang dimana memang benar adanya dapat kita temukan dalam kitab Perjanjian Baru tepatnya dalam kitab 1 Petrus 2:9 “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib.” Disini gereja bukanlah yang mengutus melainkan  yang diutus misinya (pengutusan gereja itu sendiri),. Gereja dalam pengutusannya harus membangun dirinya demi terwujudnya misi gereja itu sendiri yang tidak lain juga sebagai misi Allah. Oleh karena itu menurut David J. Bosch Eklesiologi tidak mendahului misiologi, misi bukanlah suatu kegiatan  pengiringan dari sebuah gereja yang mapan dan menjadi lebih kuat, akan tetapi suatu usaha yang saleh, kegiatan misioner bukanlah berbicara mengenai keutamaan karya gereja melainkan gereja yang berkarya. Inilah tugas yang berkaitan dengan seluruh gereja, karena Allah adalah Allah yang misioner sehingga umat Allah juga harus misioner. Ketika kita berbicara mengenai gereja disaat yang sama juga kita sudah berbicara mengenai misi, dengan kata lain gereja dan misi tidak dapat dipisahkan, karena gereja pada hakikatnya misioner dan misi pada hakikatnya gerejawi. Gereja dan misi sudah terikat sejak semula, sebuah gereja tanpa misi atau misi tanpa sebuah gereja adalah suatu yang kontradiksi karena hal sperti itu tidak ada. Prespektif-prespektif sperti ini mempunyai implikasi-implikasi bagi pemahaman kita tentang katolisitas gereja. Tanpa misi, gereja tidak dapat disebut katolik. Semuanya ini tidak bermaksud mengatakan bahwa selalu dan secara terbuka dimanapun terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang berbau misi. Akan tetapi dapat dibedakan dari dimensi misionernya dan maksud misionernya.
            Umat Allah Berziarah
Gereja sebagai perskutuan orang percaya dipandang sebagai umat Allah,  dan memiliki implikasi sebagai gereja yang berziarah. Dalam Protestanisme masa kini, gagasan ini pertama kali muncul dengan jelas dengan pandangan seorang teolog Dietrich Bonhoeffer  pada konferensi IMC di Willingen pada tahun 1952. Dalam hal Katolokism, pemahaman ini telah dikembangkan oleh Yves Congar sejak tahun 1937 akan tetapi kurang disukai oleh banyak orang khususnya kalangan hierarki dari masa pra-konsili. Acuan-acuab konsili yang klasik adalah gereja sebagai umat Allah dapat dipandang sebagai satu-satunya model gereja yang hanya menrut konsili.
            Yang menjadi dasar Alkitabiahnya disini adalah umat Allah yang mengembara, yang begitu mencolok dalam surat kepada orang-orang Ibrani. Gereja adalah peziarah bukan semata-mata karena alasan praktis bahwa dalam zaman modern ia tidak dapat lagi menjadi penentu arah dan di mana-mana menemukan dirinya dalam situasi diaspora; sebaliknya, menjadi peziarah didalam dunia pada hakikatnya tergolong pada posisi gereja yang eks-sentris. Ia adalah ekklesia, yang dipanggil keluar dari dunia dan diutus kembali kedalam dunia. Sifat asing adalah unsur-unsur dari pembentukannya. Umat Allah yang berziarah hanya membutuhkan dua hal, yaitu dukungan selama perjalanan dan tujuan akhir. Gereja tidak mempunyai tempat yang tetap, dimana dunia hanya sebuah paroikia dan sebuah alamat yang sementara. Gereja haruslah terusmenerus berada dalam perjalanan menuju akhir dunia dan akhir zaman, dengan kata lain gereja tidak terjembatani antara tujuan akhirnya yaitu pemerintahan Allah. Gereja sudah terpanggil untuk mewujudkan, bahkan saat ini dan dimanapun juga dan sampai kapanpun, gereja harus berziarah menuju masapedan yang Allah kehendaki.
            Gereja, sakramen sebagai tanda dan Allat.
            Dalam eklesiologi kontemporer gereja semakin dilihat sebagai sakramen, tanda dan alat. Dalam bab 4 dari buku ini sudah diperlihatkan Paulus dengan misinya  sebagai pelayanan imamat terhadap injil yang menantang komunitas Kristen yang menyuarahkan untuk mempersembahkan dirinya sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkesan kepada Allah. Kitab Perjanjian Baru mendaftarkan banyak karunia yang diberikan kepada individu-individu demi kebaikan semua pengajaran, penyembuhan, kerasulan dan lain-lain. Akan tetapi, karunia imamat tidak pernah disebutkan; sebaiknya Allah mempercayakan karunia ini kepada komunitas sebagai suatu kesatuan. Gambaran-gambaran Perjanjian Baru lainnya tentang gereja mewakili yang sama ialah sebagai garam, terang, ragi, hamba dan nabi. Namun pada abad-abad brikutnya pemahaman-pemahaman ini lambat laun kian memudar bahkan hampir tidak kedengaran. Dan pazaman akhir-akhir ini pemahaman-pemahaman sperti itu muncul dengan gambaran yang sedikit berbada yaitu gereja sebagai sakramen, tanda dan alat.
            Istilah yang baru ini mungkin dapat dipahami dari pemahaman katolik yang semakin luas berbedah dengan pemahaman Protestan. Ketika Vatican II dalam pernyataannya menyebutkan gereja suatu jenis sakramen tanda dan alat, artinya sebagai sepagai penyatu persekutuan dengan Allah dan kesatuan diantara semua jemaat. Ditempat lain gereja disebut sebagai sakramen yang kelihatan dari kesatuan yang menyelamatkan dan bahkan keselamatan yang universal. Dari berbagai dokumen Katolik yang dibahas oleh penulis penulis buku ini, David J. Bosch menemukan suatu himbauan kerasulan yaitu pada tahun 1975, Evangeli Nuntiandi, dimana disana dengan tegas dikatakan bahwa gereja harus memberitakan kerajaan Allah dan membangunnya dan sekaligus menempatkan dirinya ditengah-tengah dunia dan sekaligus sebagai tanda dan alat dari kerajaan Allah tersebut. Pada sebuah konsultasi di Roma, tahun 1982 dibentuk komunitas Kriten  koinonia yang konkret dlam melaksanakan kegiatannya setiap hari, hal ini didevinisikan oleh David J. Bosch sebagai tanda dan alat keselamatan.
Pada tahun 1986 Gassmann telah menunjukan istila yang sama dan sekaligus dipergunakan oleh kalangan Protestan, khususnya dalam wadah Iman dan tata gereja. Hal ini terjadi sejak Sidang Raya DGD di Uppsala pada tahun 1968. Sebenarnya acauan yang semacam itu sudah dapat ditemukan dalam pertemuan FO tahun 1927 di Lasane dan di Oxford pada tahun 1937. Rumusan kuncinya yang sering dikutip adalah rumusan yang disusun di Uppsala: “Gereja dengan berani menyebut dirinya sebagai tanda dari kesatuan yang akan datang dari umat manusia”. Konferensi-konferensi dan dokumen-dokumen FO yang berikutnya berusaha menjelaskan apa yang dimaksud dengan istila tersebut. Dua dari laporan sesksi dalam konferensi CWME di Melbourne pada tahun 1980 juga mengacu kepada gereja dalam pergantian-pergantian seperti ini, yaitu sebagai sakramen, tanda dan alat dari kerajaan Allah. Gassmann menimpulkan:
Penerimaan yang luar biasa lua terhadap penggunaan eklesiologis istila-istila Sakramen, tanda dan alat dalam perdebatan oikumenis menunjukkan bahwa istilah ini ternyata menolong dalam menggambarkan tempat dan panggilan gereja yang keesaannya dalam rencana keselamatan yang Allah rencanakan.
            Gereja Sebagai Hadir di Tengah-tengah Dunia
Pemahaman trntang gereja sebagai sakramen, tanda dan alat membawa kesuatu presepsi baru tentang hubungan gereja dengan dunia. Misi dipandang sebagai tindakan Allah kepada dunia. Hal ini sesuai dengan pendekatan yang secara hakiki dan baru dalam teologi. Selama berabad-abad konsep tentang gereja telah berlaku, dimana dunia diluar gereja dipandang sebagai kekuatan yang memusihi gereja. David J. Bosch mengkaji tulisan-tulisan para teolog yang berada di dalam sejarah gereja, dimana seakan-akan yeng paling penting adalah gereja itu sendiri tapi tidak diluarnya termasuk dunia. Dengan kata lain gereja adalah dunia yang tersendiri. Diluar gereja hanyalah gereja yang ambigu, maksudnya adalah pelayanan dan kehidupan Kristen didefinisikan semata-mata dalam pengertian pemberitaan, ibadah publik, pengembalaan dan amal semata. Orang-orang Kristen yang menjalankan imanya didefenisiskan sebagai pengunjung gereja yang formalitas. Namun perubahan perlahan-lahan mulai terjadi, dimana Karl Bart memandang ini sebagai pemulihan doktrin jabatan kenabian Kristus dan gereja. Ia menelusuri jejak pergeseran ini dengan enam tahap dalam sejarah protestanisme. Sesudah perang dunia ke II orientasi hakiki gereja terhadap dunia mulai diterima secarah lebih luas dikalangan Protestanisme. Gereja sebagai penakluk dunia menjadi gereja yang solidaritas dengan dunia. David J. Bosch menyebutkan teologi Apostolat Belandayang berkembang padada akhir tahun 40-an dan awal 50-an juga mulai memandang gereja terutama dengan hubungannya dengan dunia. Sama halnya dengan orang tidak dapat berbicara tentang gereja tapa berbicara tentang misinya, kita pun tidak mungkin berfikir tentang gereja tanpa memikirkan dalam saat yang sama, dunia yang kedalamnya gereja diutus.
            Kembalinya Gereja Lokal
            Gereja dimulai dalam misi, dimana gereja yang pertama melakuknnya jauh didalam sejarah ialah gereja lokal menuju pada segala tempat di dunia ini. Prespektif ini bergandengan dengan anggapan bahwa tak satu pun gereja lokal yang boleh berdiri dalam posisi lebih beribawah terhadap gereja lokal lainnya, kedua-duanya didasari bagi Perjanjian Baru terutama dalam surat-surat Paulus, hal seperti ini lebih banmyak diabaikan dalam sejarah Kristen. Dalam katolisme, gereja serta misa menjadi semakin jelas berpusat pada Paus, sehingga gereja-gereja muda diremehkan dan di anggap belum dewasa oleh kalangan gereja yang lebih tua ataupun himpunan dari lembaga misi. Proses kemerdekaanya adlah proses pedagogis, disuatu pihak sang wali yang mengangkat dirinya sendiri untuk memutuskan apakah layak untuk pemerintahannya sendiri. Gereja-gereja di badan misi Barat menganggap diri mereka sebagai gereja yang sangat dibutuhkan oleh gereja lain.
            Orany pertama yang penyuarakan keseluruhan konsep ini adalah Roland Allen. Ia mmperingatkan para pembaca tulisannya akan perbedaan-perbedaan yang mencolok antar metode-metode misi Paulus dan metode-metode badan-badan misi masa kini. Allen berpendapat bahwa perbedaannya adalah pada dasrnya Paulus yelah mendirikan jemaat-jemaat sedankan kita mendirikan misi dalam penegrtia organisasi yang tergantung. Paulis menulis suratnya yang pertama kepada sebuah jemaat di Tesalonika, disana ia hanya tinggal sekita lima bulan, dan ia menulis bukan kepada badan misimelainkan kepada sebuah jemaat. Jemaat yang mengutus, Anthiokia sama sekali tidak mempunyai kekuasaan atas komunitas-komunitas iman yang baru bertumbuh di Efesus, Korintus dan di tempat-tempat lain, sejak sejak pertama mereka adalah jemaat-jemaat yang penuh dengan fierman dan sakramen-sakramen, Cuma itulah yang mereka butuhkan supaya benar-benar dapat berhasil menjadi jemaat Krisus. Keberhasilan Paulus demikian menurut Allen, disebakan bahwa ia mempercayai kemandirian jemaat-jemaat yang baru tumbuh tersebut.
            Paradigma yang baru telah membawa pada keterangan yang kekal antara dua pandangan gereja yang tampaknya sama sekali tidak dapat dipertemukan. Disisi lain gereja memandang dirinya sebagai pengemban tunggal berita keselamatan yang di usahakannya, disis lain juga gereja memandang dirinya sebagai sebuah ilustrasi dalam perbuatan dan kata-kata  dari keterlibatan Allah dengan dunia ini. Bilah orang memilih model yang pertama, gereja dipandang sebagai relasi dari pemerintahan Allah di muka bumi dan misi sebagai aktivitas ynag dengan para mualaf secara individau dipindahkan dari kematian kekal kepada kehidupan. Bila orang minili prespektiif alternatifnya ataupun pilihan yang kedua, gereja paling-paling hanyalah sebuah penunjuk kearah Allah yang bertindak sehubungan dengan dunia dan misi sumbanga terhadap usaha humanis masyarkat, dengan kata lain sebuah proses dimana gereja mungkin dapat terlibat dalam peranan pembangkitan kesadaran akan Allah. Pertanyaan nya adalah apakah kedua gambaran tentang gereja ini harus saling eksklusif. Beberapa refleksi tentang pokok ini mungkin dibutuhkan. Masalahnya jika demikan akanya muncul ketika seseorang tidak mampu mengintegrasikan kedua visi itu dengan cara sedemikian rupa sehingga ketegangan diantara kedua menjadi kreatif bukan destruktif. Intregritas semacam itu jarang tercapai. Para sarja Katolik, dalam hal ini telah mengacu pada ketidakmampuan Ad Gentes  mengatakan untuk tetap mempertahankan ketegangan yang konstruktif yang begitu jelas tampak dalam Lumen Gentium. Setelah mulai dengan satu pandangan dinamis dan segar tentang dunia.
            Misi Allah
            Sekitar setengah abad yang lalu telah terdapat suatu pergeseran yang samar-samar, namun menetukan pemahaman tentang misi sebagai misi Allah. Pada abad-abad sebelumnya, misi di pahami dalam berbagai cara. Kadang-kadang misi ditafsirkan terutama dalam pebgertian soteriologi, sebagai penyelamatan individu dari hukuman yang kekal.Atau dalam pengertian budaya: sebagai usaha memperkenalkan orang –orang dari timur dan selatan dengan berkat-berkat dan hak-hak istimewa dalam dunia barat yang kristen. misi dipahami dalam ketegori gerejawi,sebagai perluasan gereja atau denominasi tertentu.Kadang-kadang misi di defenisikan dalam pengertiaan sejarah keelamatan dimana proses yang denganya dunia secara evolusioner melalui peristiwa yang sangat dahsyat sehingga akan di transformasikan menjadi Kerajaan Allah. Dalam semua contoh ini dan dalam berbagai cara Seringkali bertentangan, saling keterkaitan intrinsik antara kristologi,soteriologi dan doktrin Tritunggal yang demikian penting bagi gereja mula-mula akan tetapi digantikan oleh salah satu beberapa versi doktrin tentang kasih karunia.
Setelah perang dunia pertama para misioner mulai mencatat perkembangan mutakhir dalam teologi biblika dan sistematika.dalam sebuah makalah yang dibacakan pada konferensi misi di bradenburg pada tahun 1932 dimana Karl Barth mengatakan menjadi salah satu teolog yang sekaligus mengartikulasikan misi sebagai suatu aktivitas Allah sendiri . Dari sudut pandangan teolog lain yaitu Karl Hartenstein mengatakan pernyataan yang serupa. Secara keseluruhan pengaruh Barth sangat manentukan sebagai eksponen yang jelas tentang paradikma teologis baru secara radikal meninggalkan pendekatan pencerahan terhadap teologi. Pengaruhnya terhadap pemikiran misi mencapai puncak pada konferensi IMC di Willingen pada tahun 1952. Disinilah gagasan Misi Dei pertama kali muncul dengan jelas dimana misi dipahami berasal dari Allah itu sendiri. Dengan demikian misi diletakkan dalam konteks doktrin Tritunggal, bukan eklesiologi atau soteirologi. Dimana Allah Bapa mengutus Anaknya dan Allah Bapa Dan Anak mengutus Roh Kudus dan kemudian mengutus gereja ke dalam dunia. Sejauh menyangkut Pemahaman Misioner pengaitan dengan doktrin tentang Tritunggal ini merupaka sebuah inovasi penting .Misi manusia tidak untuk kehidupanya sendiri akan tetapi untuk Allah yang mengutus misi dapat menjadi misi yang benar khususnya inisiatif misioner itu datang dari Allah itu sendiri.Tetapi misi tidak dipandang dalam kategori Triumfalistik. Wllingen mengakui hubungan yang erat antara misi Allah dan misi sebagai solidaritas dengan Kristus yang menjadi manusia dan disalibkan.
            Misi Sebagai Perantara Keselamatan
            Beberapa tahun lalu jurnal khatolik mempersembahkan dua terbitan untuk membahas tema keselamatan dalam Agama-Agama dunia. Keselamtan sugguh-sungguh adalah suatu keprihatinan dasariah dari setiap Agama. Bagi orang-orang Kristen keeyakinan bahwa Allah telah secara pasti mengerjakan keselamatan bagi semua orang di dalam dunia melalui Yesus Kristus sebagai juruselamat manusia. Dari keyakinan ini muncullah misioner Kristen yang telah dimotivasi, dalam sepanjang sejarahnya, oleh kehendak untuk memperantarai bagi semua orang. “motif soteriologis” ini barang kali memang dapat disebut sebagai jantung yang berdebar dari misiologi karena ia berkaitan dengan pertanyaan yang terdalam dan paling dasariah dari umat manusia. Karenanya sugguh masu akal bahwa konferensi-konferensi misi internasional dipergunakan keseluruhannya untuk membahas tema ini. Orang mungkin terningat misalnya, akan konferensi CWME di Bangok yang temanya adalah “Keselamtan Masa Kini”. Yang lebih mutakhir, oktober 1988 kongregasi untuk penginjilan bangsa-bangsa, dari GKR. Berkumpul di Universitas Urbana di Roma untuk mengadakan konsultasi satu minggu tentang pokok yang sama. Bahwa semua ini adalah konsultas-konsultasi Misioner menunjukan suatu pengertian yang mencolok, karena teologi misi seseorang selalu erat bergantung pada teologinya tentang keselamatan: karenanya tepatlah bila kita mengatakan bahwa cakupan keselamatan, betapapun kita mendefinisikan keselamatan itu menentukan cakupan uasaha misioner. Seperti halnya telah terjadi pegesaran paradigma sehubungan dengan pemahaman tentang hubungan atara gereja dan misi telah terjadi pula pula pergeseran-pergeseran dalam pemahaman tentang sifat keselamatan yang harus diperantarai gereja dalam misinya. Refleksi-refleksi kita tentang misi dalam gereja mula-mula telah mengungkapkan bahwa keselamatan ditafsirkan dalam pengertian yang komverensif. Ini tidak berarti bahwa saya ingin mengatakan bahwa semua pengarang perjanjian baru mempuyai pemahaman yang persis sama dalam hubungan ini, misalnya Lukasmenggunakan bahasa keselamatan dalam hubungannya dengan suatu spektrum keadaan-keadaan manusia yang sangat luas tentang penghapusan kemiskinan, diskriminasi, penyakit, kerasukan roh jahat, dosa dan seterusnya, atau seperti dikatakan oleh Scheffler pada tahun 1988 sehubngan dengan penderitaan ekonomi, sosial, politik, fisik, psikologis dan rohani. Lebuh jauh bagi Lukas keselamatan, terutama sekali adalah sesuatu yang mewujudkan dirinya dalam kehidupan ini hari ini juga.
            Dalam paulus, tekanannya tanpaknya di tempat lain ia memberikan penekanan yang lebih besar pada hakikat keselamatan yang belum berbentuk keselamatan baru mulai dalam kehidupan ini. Keselamatan adalah sebuah proses, yang dimulai oleh perjumpaan seseorang dengan Kristus yang hidup, tetapi keselamatan yang sempurnah masih belum terpenuhi. Roh Kudus adalah karunia pertama Allah kepada kita. Pendamaian memang terjadi disini dan sekarang juga, tetapi Paulus biasanya mengacu pada keselamatan dalam bentuk waktu yang akan datang: “sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita yang sekarang diperdamaikan pasti akan diselamatakan oleh hidup-Nya”.  Nuansa-nuansa yag halus ini jelas berkaitan dengan kenyataan bahwa paulus berfikir dalam kategori-kategori apokaliptik dan ingin menekankan bahwa keselamatan yang menyeluruh baru akan terjadi dengan kemenangan Allah yang akan datang, untuk sementara ini Paulus masih menantikan Yesus Kristus sebagai juru selamat. Namun penantian ini tidak membelokkan kita dari realitas pembaharuan yang radikal baik pribadi maupun sosial yang telah dapat di alami oleh orang-orang percaya disini dan sekarag juga.
            Keselamatan dalam Pemahaman Modern
            Para kritikus modern terhadap agama mengambil titik berangkat mereka disini. Agama sebagai ungkapan ketergantungan total terhadap Allah dan sebagai keselamtan kekal dalam hidup yang akan datang adalah suatu anakhronisme dan sisa-sisa dari periode kanak-kanak umat manusia. Keselamatan ini berarti pembebasan takhyul keagamaan, perhatian terhadap kesejahteraan manusia dan peringkat moral umat manusia. Muncul suatu soteriologi alternatif, suatu pemahaman tentang keselamatan dimana umat manusia menjadi agen-agen yang aktif dan bertanggung jawab yang memamfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi guna menghasilkan perbaikan-perbaikan material dan mendorong perunhan sosial, polittik dimasa kini. Dalam hubungan ini, para pengkritik agama pada hakikatnya menjadi pengkritik sosiologi.
            Krisis Dalam Paradigma Modern Tentang Keselamatan
            Namun selama tahun 1970-an, defenisi sekularis maupun liberasionis memdapatkan tekanan. Penulis mengacu pada suasana yang lebih sadar yang telah mencirikan pertemuan-pertemuan DGD sejak SR Nairobi pada tahun 1975. Hal yang lebih kurang sama pun terjadi pada katolisisme sejak sinode para Uskup 1934 dan penerbitan Evangelii Nuntiandi pada tahun 1975. Perlahan-lahan menjadi jelas bahwa model horisontalis diwarnai oleh inkonsistensi, baik teologis maupun praktis. Adalah suatu penipuan diri sendiri bila kita mulai berfikir dan bertindak seolah-olah keselamtan terletak didalam genggaman kita, ada di tangan kita atau merupakan sesuatu yang dapat kita hadirkan kita mulai menyadari sekali lagi bahwa meskipun kita mepunyai kesadaran sesat yang sangat mendalam bahwa kita dapat menghadirkan keselamatan melalui kaya-karya baik kita, bahkan orang Kristen pengampunan tidak mempunyai jawaban yang siap pakai bagi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Orang Kriste terlalu banyak menjanjikan diri sendiri misalnya di Uppsala. Ketika pernyataan-pernyataan dibuat sedemikan rupa sehingga dalam masa depan yang dapat dilihat semua ketidak adilan, semua kemiskinan dan semua bentuk perhambaan akan menjadi sejarah dan bahwa keselamatan sudah di ambang pintu. Thomas wieser anggota staf DGD yang bertanggung jawab dalam mengkordinasi proyek Keselamatan Masa Kini, dimana ia menyakan peringtan sebagai berikut.
Tugas mengindentifikasikan maksud pernyataan Allah ditengah-tengah peristiwa-peristiwa sejarah menuntut kriteria teologis yang mantap, yang dengannya penilaian-penilaian kritis dapat dibuat. Disini terdapat tugas penting yang masih harus dilaksanakan untuk memastikan bahwa krediblitas Gereja tidak akan lenyap dalam pembaharuan relevansi yang berumur pendek.
            Misi dan Perjuangan Demi Keadilan
            Dalam bagian berkut ini akan diperdebatkan bahwa meskipun penginjilan tidak boleh begitu saja disamakan degan usaha demi keadilan, ia pun tidak pernah boleh dipisahkan daripadanya. Hubungan antara dimensi-dimensu penginjian dan kemasyarakatan dari misi Kristen merupakan salah satu bidang paling berduri dalam teologi dan praktik misi. Dalam bagian-bagian yang paling berduru dalam teologi dan praktek misi. Dalam bagian-bagian yang berikutnya kita akan kembali berulang-ulang pada pokok ini. Tidak dapat diragukan bahwa keadilan sosial berada pada ini. Tidak dapat diragukan bahwa keadilan sosial berada pada inti tradisi kenabian Perjanjian Lama. Karena kebanyakan raja Israel setidak-tidaknya mengaku percaya kepada Yahwe, nabi-nabi seperti Amos dan Yeremia, didalam nama Allah, dapat menantang mereka sejauh mereka telah mentolerir atau melakukan ketidakanadilan di dalam kerajaan-kerajaan mereka. Namun, konteks sosial-politik di mana geraja mula-mula muai terlibat dalam misi, sama sekali berbeda. Kekristenn adalah sebuah Riligio Illijito di kekaisaran romawi dimana sikap tolerir dalam keadaan yang buruk sebagai penganiayaan. Tak seorang kristenpun yang dapat berbicara kepada penguasa berdasarkan Iman mereka keadaan ini telah membawa banyak orang kristen dari generasi di kemudian hari kepandangan yang keliru bahwa Perjanjian Baru lebih bersifat rohani daripada Perjanjian Lama.
            Misi Sebagai Penginjilan.
            Percakapan Tentang Makna dan cakupan Keselamtan Tentang Misi Gereja sehubungan dengan keadilan sosial membawa pada Refleksi-refleksi tentang Hakikat penginjilan. Konsep penginjilan sesungguhnya telah lama hadir daripada misi hal itu dapat ditemukan dalam Konsep Perjanjian Baru. Namun istilah-istilah ini nyaris tidak dipergunakan pada Abad pertengahan. Bahkan dimasa kini kata-kata ini nyaris digunakan dalam terjemahan Alkitab bahasa Inggris. Namun karena pada awal abad ke-19 kata kerja menginjili dan turunannya penginjilan diperbaharui di gereja dan kalanga misi. Mereka menjadi menonjol khususnya disekitar perlian abad ini karena ada selogan Penginjilan dunia dalam generasi ini.
Misi Sebagai Pembebesan
Teologi pembebasan adalah sebuah gejala yang berwajah banyak yang menempatkan dirinya sebagai teologi hitam, di Amerika Latin sebagai Teologi feminis serta sebagai gerakan Teologi yang analog di Afrika. Dengan berbagai pertimbangan semua Teologi tentang pembebasan dan Inkulturasi. Sampai pada suatu batas yang penting Teologi pembebasan berkembang dalam protes terhadap ketidakmampuan gereja dan kalangan misi barat, baik katolik maupun prostestan untuk menghadapi masalah-masalah ketidak adilan yang sistematik.
Inkulturasi mewakili suatu model teologi kontekstual yang sangat penting demikian halnya dengan Teologi pembebasan. Inkulturasi adalah pola yang dengannya sifat yang ganda kekristenan masa kini menempatkan dirinya. Iman kristen tidak pernah hadir kecuali sebagai sesuatu yang dimasukkan kedalam Budaya. Keadaan ini yang merupakan ciri yang terbaru dari kekristenan sejak mulanya.
Penulis memahami bahwa misi lebih luas daripada penginjilan. Evangelisasi adalah misi tetapi misi tidaklah sekar evangelisasi, misi berarti keseluruhan tugas yang telah Allah berikan kepada gereja demikeselamatan dunia tetapi selalu tekait dengan suatu konteks khusus kuasa jahat, keputus asaan dan ketersesakan. Misi mencakup semua kegiatan yang menolong membebaskan manusia dari perbudakannya dihadapan Allah yang sedang datang. Perbudakan yang meluas dari kebutuhan ekonomi sampai keberadaan tanpa Allah. Misi adalah gereja yang di utus kedalam dunia, untuk mengasihi, mellayani, memberitakan, mengajar, menyembuhkan dan memebebaskan. Karenanya adalah lebihbaik bila kita mempertahankan kekhususannya penginjilan didalam misi gereja yag lebih luas. Namun tidaklah mungkin kita memisahannya dari misi gereja yang lebih luas itu. Penginjilan adalah bagian yang integral dari misi. Orang tidak boleh sekali-kali menyisikannya dan memperlakukannya sebagai suatu kegiatan yang sama sekali terpisah dari gereja.
Misi Sebagai Kesaksian Bersama
Sejauh menyangkut Protestanisme gagasan Oikumenis adalah sebuah kegiatan dari pembangunan dan keterlibatan dari Gereja-gereja di barat dalam usaha misi diseluruh dunia. Contoh utama yang paling jelas tentang hal ini adalah munculnya gerakan Piestis pada permulaan abad ke-18. Orang-orang Lutheran, Kalfinis dan Angglikan melakukan persatuan dalam suatu kesatuan Umat Allah namun pada dekade abad ke-19 semangat untuk misi dan kerjasama telah merosot tanda-tandanya dibentuknya LMS sebagai sebuah perhimpunan Non-Denominasional yang dimana Angglikan menarik diri untuk membentuk CMS untuk kalangan mereka sendiri.
Sejak Vatikan II banyak hal yang sama banyak dapat disebutkan tentang Katolisisme. Kini tidak mungkin menyebut gereja tanpa pada saat yang sama menyebut misi, dengan pengertian yang sama tidak mungkin pula kita menyebut gereja atau misi tanpa pada saat yang sama berbicara tentang misi yang esa dari gereja yang esa. Hal ini mewakili suatu pergeseran paradigma dengan proporsi-proporsi yang penting. Ini tidak terjadi karena adanya akumulasi wawasan yang baru tapi karena adanya suatu pemahaman diri yang baru. Ini adalah bagian dari pencarian yang baru akan keutuhan dan keesaan dan untuk mengatasi dualisme dan keterpecahan ini bukanlah akibat dari toleransi yang malas, katidak pedulian dan relativisme melainkan dari suatu pemahaman yang baru tentang apa artinya menjadi orang kristen di dalam dunia. Karena alasan ini semua penyatuan gereja yang telah terjadi sejak 1920-an dan semua dewan gereja-geraja nasional yang telah terbentuk selama kurang lebih setengah abad ini, hanya bermakna apabila mereka melayani missio Dei oikumenisme bukanlah suatu usaha kumpulan yang pasif dan setengah hati melainkan suatu kehidupan dan kerja sama yang aktif dan sengaja.

Misi Sebagai Pelayanan Oleh Seluruh Umat Allah
Gerakan yang meninggalkan pelayanan sebagai orang-orang yang ditahbiskan pada pelayanan dan tanggung jawab seluruh umat Allah adalah salah satu pergeseran yang paling dramatis didalam gereja dimasa kini. Krisis yang dihadapi sehubungan dengan pelayanan adalah bagian yang utuh dari krisis yang dihadapi oleh ketika praktis setiap unsur tradisional dari iman dan tata gereja mengalami tekanan yang hebat. Tidak dapat diragukan bahwa Yesus dari Nazaret memisahkan diri dari keseluruhan tradisi Yahudi ketika Ia memilih murid-murid dari kelas Imamat melainkan dari kalangan Nelayan, Pemungut cukai, dll. Ini adalah bagian dari pelayanan dari ciri keterbalikan dalam pengajaran Yesus dari pembalikan prioritas pada zaman tersebut yang dibelokkan dengan mengambil langkah yang bertentangan dengan harapan manusia yang normal.
Misi Sebagai Kesaksian Kepada Orang-Orang Yang Berlainan Iman
            Teologi tentang Agama-agama adalah sebuah disiplin yang telah berkembang sejak Tahun 1960. Dimana orang kristen membuat dari suatu Denominasi teologis tertentu bertanya Siapakah orang-orang Katolik Roma, Angglikan, Metodis ini ?. Siapakah orang-orang yang berkepercayaan lain ini, orang Hindu, Buddha dan Muslim ?. Sudah tentu masalah sikap yang harus diambil oleh orang kristen dan misinya terhadap kepercayaan Agama lain. Misi pada hakikatnya untuk menaklukkan dan menyingkirkan dimana kekristenan dipahami sebagai sesuatu yang unik, Eksklusif, Unggul, Pasti, Normatif dan Mutlak, satu-satunya agama yang mempunyai hak Ilahi untuk Eksis dan memperluas dirinya. Dalam paradigma pencerahaan Agama diharapkan akhirnya akan menemukan bahwa apa yang mereka butuhkan untuk bisa bertahan bersama dengan Agama-agama lainnya dengan dialog.
            Dalam mempercakapkan hal ini dialog sangatlah berperan untuk mempersatukan dari keperbagaian Agama-agama yang berada di dunia ini. Diharapkan dari setiap Agama-agama untuk saling membuka diri atas kepercayaan agama lain. Dengan demikian dari Reailita kepelbagaian Agama akan menemukan titik temu dari setiap Agama dimana hal itu sangatlah berperan untuk kerukunan antar umat beragama sehingga dengan kesatuan itu akan mewujudkan mimpi-mimpi dan cita-cita bersama.
            Misi Sebagai Teologi
            Dalam seluruh periode pra-modern, teologi dipahami terutama dalam dua pengertian. Pertama ini adalah istilah untuk pengakuan individu yang sesungguhnya tentang Allah dan hal-hal yang berkaitan dengan Allah. Dalam pengertian ini, teologi adalah sebuah habitus suatu kebiasaan dari jiwa manusia. Kedua, ini adalah istilah untuk suatu displin, suatu usaha yang sadar akan dirnya sebagai suatu yang ilmiah. Selama berabad-abad hanya ada suatu disiplin teologi tanpa sub bagiannya. Sudah tentu adapembedaan-pembedaan tetapi mereka semua diacuh kembali pada suatu kebiasaan teologi, pengetahuan tenatang Allah dan hal-hal yang berkaitan dengan Allah. Namun dibawah pengaruh pencerahan satu disiplin ini pertama-tama dibagi kedalam dua sub bagian. Teologis sebagai pengetahuan praktis yang perlu untuk pekerjaan rohaniawan dan teologi sebagai satu usaha teknis dan ilmiah diantara yang lain-lainnya atau bial orang ingin mengatakannya teologi sebagai praktik dan sebagai teori. Darisini berlahan-lahan teologi berkembang kedalam apa yang disebut farle atau pola emapt lapis: dsiplin alkitab, sejarah gereja teologi sitematik dan teologi praktika. Masing-masing daripanya mempunyai paralelnya didalam ilmu-ilmu sekular.
            Sementara usaha misioner luas dan realitas misi dan keberadaan gereja muda diwilayah-wilayah misi semakin mendesakkan diri pada gereja digaris belakang, muncullah kebutuhan utuk melakukan perbahan-perubahan.
            Misi sebagai Aksi didalam Pengharapan
            Tidak perluh mengherankan bahwa penemuan kembali dimensi eskatologi diwujudkan terutama secara jelas dikalangan-kalangan misionaris. Sejak awal mula gereja Kristen telah muncul suatu kedekatan yang khusus antara usaha misi dan pengharapan-pengharapan akan suatu perubahan yang dasariah dimasa depan umat manusia. Namun baru pada jaman kita, kita mulai menemukan kembali hakikat pada dasarnya historis tentang iman alkitabiah dan eskatologi.
            Penemuan kembali eskatologi sebagai ramuan dari Agama adalah sebuah fenomenon yang sama sekali berada dengan pandangan-pandangan newtonian tentang waktu dan ruang sebagai mana di asumsikan dalam metode kritis-historis yang klasik tentang paradigma mekanis. Eskatologi mengwakili unsur pengharapan didalam agama. Pencerhanan, sejauh yang dapat kita timbang telah menghancurkan kategori pengharapan. Seperti membuang teologi dan beroperasi hanya berdasarkan sebab-akibat, bukan berdasarkan maksud. Dewa fisikamemberikan kita yang kita inginkan. Tetapi ia tidak mengatakan kepada kita apa yang seharusnya kita inginkan. Kata Georg Santayana hanya agama yang dapat mengatakan hal itu kepada kita.
            Namun jawaban agama terhadap pertayaan ini bersifat ganda. Sebuah jawabanya secara klsik telah dirumuskkan oleh Mircea Eliade sebagai mitos kepulangan yang kekal, apa yang kita harapkan tidak lain dari pada yang telah lenyap. Pada mulahnya ada sebuah firdaus, suatu keadaan suka cita yang bebas dari ketegangan, yang lenyap dari kita. Keselamatan berarti mendapatkan kembali firdaus tersebut, jawaban Yahudi dan Kristen berbeda dengan itu, masa depan yang kita harapkan bukanlah semata-mata suatu pengulangan dari atau kepulangan ke yang mula-mula. Sebaliknya masa depan terbuka bagi suatu permulaan yang baru yang akan jauh melampaui yang pertama.


            Evaluasi terhadap Buku yang di Resensi.
1.      Kelebihan
Yang menjadi kelebihan buku ini adalah banyak nya pemahaman baru yang kita dapatkan terkhusus mengenai misi. Misi yang saya maksud adalah mencakup pada pembumian teologi dan juga pengenalan akan Kristus kepada dunia. Buku ini juga mencakup kepada pemahaman Oikumenis dimana dunia sebagai tubuh Kristus. dengan membaca buku ini juga memberikan kita pemahaman bagaimana sikap kita terhadap aliran teologi lain bahkan kepada agama lain. Sebagai seorang teolog yang berdomisili di Indonesia perlu membaca buku ini, karena seperti yang telah kita ketahui Indonesia sebagai negara yang multi kultural dan juga multi religius yang dimana didalam banyak nya kepelbagian, akan mempermudah kita untuk melakukan pendekatan yang obyektif.
2.      Kekurangan
Yang menjadi kekurangan buku ini adalah banyak nya susunan kata yang tidak sesuai dengan EYD, hal ini mungkin kelemahan penerjemah. Didalam buku ini juga banyak digunakan kata-kata yang sulit untuk dipahami dipahami. Jika dibaca dari keseluruhan bab 12 ini, kita akan terah pada sejarah gereja, seakan-akan buku ini adalah buku sejarah gereja. Buku seperti ini juga akan sulit dipahami oleh kaum awam yang tidak berkecimpung dalam dunia teologi, karena untuk memahami isi buku ini deperlukan juga pemahaman awal mengenai apa itu misi dan juga pemahaman sejarah gereja yang sangat mendasar. Kelemahan lain nya juga ialah, adanya pengetikan teks yang salah.

2 comments:

Khotbah semptember 2020

 Minggu, 6 September 2020, 13-Set Trinitatis Tema : Manusia Tidak Untuk Diperjual-belikan Ev : Matius 27: 1-10 Pengantar Era globalisasi...