Nama : Johannes Nababan
M. Kuliah : Oikumenika
Judul Buku : Tranformasi
Misi Kristen
(Khususnya Bab 12)
Penulis : David J. Bosch
Penerbit : BPK Gunung Mulia
Kota Terbit :Jakarta
Tahun Terbit :1997
Jumlah Halaman :565-765
Jangan di Copy bulat-bulat yah?
ini tulisan saya dan asli, sesekali cantumkan nama saya sebagai sumbernya..
heheheheheh
Jangan di Copy bulat-bulat yah?
ini tulisan saya dan asli, sesekali cantumkan nama saya sebagai sumbernya..
heheheheheh
Buku Tranformasi Misi Krinten ini ditulis oleh David J. Bosch. Buku ini
banyak memuat bagaimana cara bermisi yang relevan dilakukan dimasa modern ini.
Terkhusus dalam bab 12, David J. Bosch banyak memberikan metode Misi yang
Oikumenis dan pandangan missioner yang sedang berkembang. Penulis juga
membicarakan bagaimana refleksi tentang peranan gereja di dalam misi,
pertama-tama David J. Bosch menjelaskan pandangan Avery Dulles mengenai Gereja
sebagai tubuh Kristus.
Didalam sebuah studi yang tajam
Avery Dulles (1876) mengidentifikasikan lima tipe utama gereja. Gereja katanya,
dapat dipandang sebagai lembaga, sebagai tubuh yang mistis dari Kristus,
sebagai sakramen, sebagai bentara atau sebagai hamba. Masing-masing dari tipe
ini menyuratkan penafsiran yang berbeda tentang hubungan antara gereja dan
misi. Untuk mendapatkan pemahaman mengenai pergeseran-pergeseran dalam
pemikiran Protestan mengenai hubungan antara gereja dan misi,
sumbangan-sumbangan dari konferensi-konferensi sedunia menurut David J. Bosch
sangatlah penting dipahami, misalnya konferensi-konferensi dari Edinburgh 1910.
Di Edinburgh perhatian yang besar ditunjukan pada tidak adanya entusiasme
missioner di antara gereja-gereja di Barat, pernyataan teologis tentang
hubungan antara gereja dan misi nyaris disentuh, akan tetapi dalam konferensi
IMC di Yerusalem, hubungan antara gereja tua dan gereja muda mendapatkan
perhatian yang cukup besar dan dibagi dalam suatu wilayah geografis yang besar.
padatahun 1938 hubungan antara
gereja dan misi serta antara gereja tua dan gereja muda dalam cara yang
teologis. Pembedaan antara negara-negara Kristen dan yang non-Kristen pada
prinsipnya di tinggalkan. Hal ini berarti bahwa Eropa dan Amerika Utara juga
harus dianggap sebagai ladang misi. Garis-garis pemisa tidak lagi membentang
antara Kekristenan dan kekafiran, antara gereja dan dunia, akan tetapi menurut
penulis tidak menutup kemungkinan bahwa di dalam gereja juga ada orang Kristen
yang kafir. David J. Bosch juga
menyunggung mengenai ketegangan di Perang Dunia I yang bangkitnya
ideologi-ideologi radikal seperti Naziisme dan juga teologi yang antroposentris
dan juga Protestanisme liberal, yang mmpengaruhi perkembangan gereja dan
misinya.
Hakekat Misioner
Ekliseiologi ataupun gereja pada
hakikatnya dipandang harus misioner yang dimana memang benar adanya dapat kita
temukan dalam kitab Perjanjian Baru tepatnya dalam kitab 1 Petrus 2:9 “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat
yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu
memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu
keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib.” Disini gereja bukanlah
yang mengutus melainkan yang diutus
misinya (pengutusan gereja itu sendiri),. Gereja dalam pengutusannya harus
membangun dirinya demi terwujudnya misi gereja itu sendiri yang tidak lain juga
sebagai misi Allah. Oleh karena itu menurut David J. Bosch Eklesiologi tidak
mendahului misiologi, misi bukanlah suatu kegiatan pengiringan dari sebuah gereja yang mapan dan
menjadi lebih kuat, akan tetapi suatu usaha yang saleh, kegiatan misioner
bukanlah berbicara mengenai keutamaan karya gereja melainkan gereja yang
berkarya. Inilah tugas yang berkaitan dengan seluruh gereja, karena Allah
adalah Allah yang misioner sehingga umat Allah juga harus misioner. Ketika kita
berbicara mengenai gereja disaat yang sama juga kita sudah berbicara mengenai
misi, dengan kata lain gereja dan misi tidak dapat dipisahkan, karena gereja
pada hakikatnya misioner dan misi pada hakikatnya gerejawi. Gereja dan misi
sudah terikat sejak semula, sebuah gereja tanpa misi atau misi tanpa sebuah
gereja adalah suatu yang kontradiksi karena hal sperti itu tidak ada.
Prespektif-prespektif sperti ini mempunyai implikasi-implikasi bagi pemahaman
kita tentang katolisitas gereja. Tanpa misi, gereja tidak dapat disebut
katolik. Semuanya ini tidak bermaksud mengatakan bahwa selalu dan secara
terbuka dimanapun terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang berbau misi. Akan
tetapi dapat dibedakan dari dimensi misionernya dan maksud misionernya.
Umat
Allah Berziarah
Gereja
sebagai perskutuan orang percaya dipandang sebagai umat Allah, dan memiliki implikasi sebagai gereja yang
berziarah. Dalam Protestanisme masa kini, gagasan ini pertama kali muncul
dengan jelas dengan pandangan seorang teolog Dietrich Bonhoeffer pada konferensi IMC di Willingen pada tahun
1952. Dalam hal Katolokism, pemahaman ini telah dikembangkan oleh Yves Congar
sejak tahun 1937 akan tetapi kurang disukai oleh banyak orang khususnya
kalangan hierarki dari masa pra-konsili. Acuan-acuab konsili yang klasik adalah gereja sebagai umat Allah dapat
dipandang sebagai satu-satunya model gereja yang hanya menrut konsili.
Yang menjadi dasar Alkitabiahnya
disini adalah umat Allah yang mengembara, yang begitu mencolok dalam surat
kepada orang-orang Ibrani. Gereja adalah peziarah bukan semata-mata karena
alasan praktis bahwa dalam zaman modern ia tidak dapat lagi menjadi penentu
arah dan di mana-mana menemukan dirinya dalam situasi diaspora; sebaliknya,
menjadi peziarah didalam dunia pada hakikatnya tergolong pada posisi gereja yang
eks-sentris. Ia adalah ekklesia, yang
dipanggil keluar dari dunia dan diutus kembali kedalam dunia. Sifat asing
adalah unsur-unsur dari pembentukannya. Umat Allah yang berziarah hanya
membutuhkan dua hal, yaitu dukungan selama perjalanan dan tujuan akhir. Gereja
tidak mempunyai tempat yang tetap, dimana dunia hanya sebuah paroikia dan sebuah alamat yang
sementara. Gereja haruslah terusmenerus berada dalam perjalanan menuju akhir
dunia dan akhir zaman, dengan kata lain gereja tidak terjembatani antara tujuan
akhirnya yaitu pemerintahan Allah. Gereja sudah terpanggil untuk mewujudkan,
bahkan saat ini dan dimanapun juga dan sampai kapanpun, gereja harus berziarah
menuju masapedan yang Allah kehendaki.
Gereja,
sakramen sebagai tanda dan Allat.
Dalam eklesiologi
kontemporer gereja semakin dilihat sebagai sakramen, tanda dan alat. Dalam bab
4 dari buku ini sudah diperlihatkan Paulus dengan misinya sebagai pelayanan imamat terhadap injil yang
menantang komunitas Kristen yang menyuarahkan untuk mempersembahkan dirinya
sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkesan kepada Allah.
Kitab Perjanjian Baru mendaftarkan banyak karunia yang diberikan kepada
individu-individu demi kebaikan semua pengajaran, penyembuhan, kerasulan dan
lain-lain. Akan tetapi, karunia imamat tidak pernah disebutkan; sebaiknya Allah
mempercayakan karunia ini kepada komunitas sebagai suatu kesatuan.
Gambaran-gambaran Perjanjian Baru lainnya tentang gereja mewakili yang sama
ialah sebagai garam, terang, ragi, hamba dan nabi. Namun pada abad-abad
brikutnya pemahaman-pemahaman ini lambat laun kian memudar bahkan hampir tidak
kedengaran. Dan pazaman akhir-akhir ini pemahaman-pemahaman sperti itu muncul
dengan gambaran yang sedikit berbada yaitu gereja sebagai sakramen, tanda dan
alat.
Istilah yang baru ini mungkin dapat
dipahami dari pemahaman katolik yang semakin luas berbedah dengan pemahaman
Protestan. Ketika Vatican II dalam pernyataannya menyebutkan gereja suatu jenis
sakramen tanda dan alat, artinya sebagai sepagai penyatu persekutuan dengan
Allah dan kesatuan diantara semua jemaat. Ditempat lain gereja disebut sebagai
sakramen yang kelihatan dari kesatuan yang menyelamatkan dan bahkan keselamatan
yang universal. Dari berbagai dokumen Katolik yang dibahas oleh penulis penulis
buku ini, David J. Bosch menemukan suatu himbauan kerasulan yaitu pada tahun
1975, Evangeli Nuntiandi, dimana disana dengan tegas dikatakan bahwa
gereja harus memberitakan kerajaan Allah dan membangunnya dan sekaligus
menempatkan dirinya ditengah-tengah dunia dan sekaligus sebagai tanda dan alat dari kerajaan Allah tersebut. Pada sebuah konsultasi di Roma,
tahun 1982 dibentuk komunitas Kriten koinonia yang konkret dlam melaksanakan
kegiatannya setiap hari, hal ini didevinisikan oleh David J. Bosch sebagai
tanda dan alat keselamatan.
Pada
tahun 1986 Gassmann telah menunjukan istila yang sama dan sekaligus
dipergunakan oleh kalangan Protestan, khususnya dalam wadah Iman dan tata
gereja. Hal ini terjadi sejak Sidang Raya DGD di Uppsala pada tahun 1968.
Sebenarnya acauan yang semacam itu sudah dapat ditemukan dalam pertemuan FO
tahun 1927 di Lasane dan di Oxford pada tahun 1937. Rumusan kuncinya yang
sering dikutip adalah rumusan yang disusun di Uppsala: “Gereja dengan berani
menyebut dirinya sebagai tanda dari kesatuan yang akan datang dari umat
manusia”. Konferensi-konferensi dan dokumen-dokumen FO yang berikutnya berusaha
menjelaskan apa yang dimaksud dengan istila tersebut. Dua dari laporan sesksi
dalam konferensi CWME di Melbourne pada tahun 1980 juga mengacu kepada gereja
dalam pergantian-pergantian seperti ini, yaitu sebagai sakramen, tanda dan alat
dari kerajaan Allah. Gassmann menimpulkan:
Penerimaan
yang luar biasa lua terhadap penggunaan eklesiologis istila-istila Sakramen,
tanda dan alat dalam perdebatan oikumenis menunjukkan bahwa istilah ini
ternyata menolong dalam menggambarkan tempat dan panggilan gereja yang
keesaannya dalam rencana keselamatan yang Allah rencanakan.
Gereja
Sebagai Hadir di Tengah-tengah Dunia
Pemahaman
trntang gereja sebagai sakramen, tanda dan alat membawa kesuatu presepsi baru
tentang hubungan gereja dengan dunia. Misi dipandang sebagai tindakan Allah
kepada dunia. Hal ini sesuai dengan pendekatan yang secara hakiki dan baru
dalam teologi. Selama berabad-abad konsep tentang gereja telah berlaku, dimana
dunia diluar gereja dipandang sebagai kekuatan yang memusihi gereja. David J.
Bosch mengkaji tulisan-tulisan para teolog yang berada di dalam sejarah gereja,
dimana seakan-akan yeng paling penting adalah gereja itu sendiri tapi tidak diluarnya
termasuk dunia. Dengan kata lain gereja adalah dunia yang tersendiri. Diluar
gereja hanyalah gereja yang ambigu, maksudnya adalah pelayanan dan kehidupan
Kristen didefinisikan semata-mata dalam pengertian pemberitaan, ibadah publik,
pengembalaan dan amal semata. Orang-orang Kristen yang menjalankan imanya
didefenisiskan sebagai pengunjung gereja yang formalitas. Namun perubahan
perlahan-lahan mulai terjadi, dimana Karl Bart memandang ini sebagai pemulihan
doktrin jabatan kenabian Kristus dan gereja. Ia menelusuri jejak pergeseran ini
dengan enam tahap dalam sejarah protestanisme. Sesudah perang dunia ke II
orientasi hakiki gereja terhadap dunia mulai diterima secarah lebih luas
dikalangan Protestanisme. Gereja sebagai penakluk dunia menjadi gereja yang
solidaritas dengan dunia. David J. Bosch menyebutkan teologi Apostolat Belandayang berkembang padada
akhir tahun 40-an dan awal 50-an juga mulai memandang gereja terutama dengan
hubungannya dengan dunia. Sama halnya dengan orang tidak dapat berbicara tentang
gereja tapa berbicara tentang misinya,
kita pun tidak mungkin berfikir tentang gereja tanpa memikirkan dalam saat yang
sama, dunia yang kedalamnya gereja diutus.
Kembalinya
Gereja Lokal
Gereja dimulai dalam misi, dimana
gereja yang pertama melakuknnya jauh didalam sejarah ialah gereja lokal menuju
pada segala tempat di dunia ini. Prespektif ini bergandengan dengan anggapan
bahwa tak satu pun gereja lokal yang boleh berdiri dalam posisi lebih beribawah
terhadap gereja lokal lainnya, kedua-duanya didasari bagi Perjanjian Baru
terutama dalam surat-surat Paulus, hal seperti ini lebih banmyak diabaikan
dalam sejarah Kristen. Dalam katolisme, gereja serta misa menjadi semakin jelas
berpusat pada Paus, sehingga gereja-gereja muda diremehkan dan di anggap belum
dewasa oleh kalangan gereja yang lebih tua ataupun himpunan dari lembaga misi.
Proses kemerdekaanya adlah proses pedagogis, disuatu pihak sang wali yang
mengangkat dirinya sendiri untuk memutuskan apakah layak untuk pemerintahannya
sendiri. Gereja-gereja di badan misi Barat menganggap diri mereka sebagai
gereja yang sangat dibutuhkan oleh gereja lain.
Orany pertama yang penyuarakan
keseluruhan konsep ini adalah Roland Allen. Ia mmperingatkan para pembaca
tulisannya akan perbedaan-perbedaan yang mencolok antar metode-metode misi
Paulus dan metode-metode badan-badan misi masa kini. Allen berpendapat bahwa
perbedaannya adalah pada dasrnya Paulus yelah mendirikan jemaat-jemaat sedankan
kita mendirikan misi dalam penegrtia organisasi yang tergantung. Paulis menulis
suratnya yang pertama kepada sebuah jemaat di Tesalonika, disana ia hanya
tinggal sekita lima bulan, dan ia menulis bukan kepada badan misimelainkan
kepada sebuah jemaat. Jemaat yang mengutus, Anthiokia sama sekali tidak
mempunyai kekuasaan atas komunitas-komunitas iman yang baru bertumbuh di
Efesus, Korintus dan di tempat-tempat lain, sejak sejak pertama mereka adalah
jemaat-jemaat yang penuh dengan fierman dan sakramen-sakramen, Cuma itulah yang
mereka butuhkan supaya benar-benar dapat berhasil menjadi jemaat Krisus.
Keberhasilan Paulus demikian menurut Allen, disebakan bahwa ia mempercayai
kemandirian jemaat-jemaat yang baru tumbuh tersebut.
Paradigma yang baru telah membawa
pada keterangan yang kekal antara dua pandangan gereja yang tampaknya sama
sekali tidak dapat dipertemukan. Disisi lain gereja memandang dirinya sebagai
pengemban tunggal berita keselamatan yang di usahakannya, disis lain juga
gereja memandang dirinya sebagai sebuah ilustrasi dalam perbuatan dan kata-kata dari keterlibatan Allah dengan dunia ini.
Bilah orang memilih model yang pertama, gereja dipandang sebagai relasi dari
pemerintahan Allah di muka bumi dan misi sebagai aktivitas ynag dengan para
mualaf secara individau dipindahkan dari kematian kekal kepada kehidupan. Bila
orang minili prespektiif alternatifnya ataupun pilihan yang kedua, gereja
paling-paling hanyalah sebuah penunjuk kearah Allah yang bertindak sehubungan
dengan dunia dan misi sumbanga terhadap usaha humanis masyarkat, dengan kata
lain sebuah proses dimana gereja mungkin dapat terlibat dalam peranan
pembangkitan kesadaran akan Allah. Pertanyaan nya adalah apakah kedua gambaran
tentang gereja ini harus saling eksklusif. Beberapa refleksi tentang pokok ini
mungkin dibutuhkan. Masalahnya jika demikan akanya muncul ketika seseorang
tidak mampu mengintegrasikan kedua visi itu dengan cara sedemikian rupa
sehingga ketegangan diantara kedua menjadi kreatif bukan destruktif.
Intregritas semacam itu jarang tercapai. Para sarja Katolik, dalam hal ini
telah mengacu pada ketidakmampuan Ad
Gentes mengatakan untuk tetap
mempertahankan ketegangan yang konstruktif yang begitu jelas tampak dalam Lumen Gentium. Setelah mulai dengan
satu pandangan dinamis dan segar tentang dunia.
Misi
Allah
Sekitar setengah abad yang lalu
telah terdapat suatu pergeseran yang samar-samar, namun menetukan pemahaman
tentang misi sebagai misi Allah. Pada abad-abad sebelumnya, misi di pahami
dalam berbagai cara. Kadang-kadang misi ditafsirkan terutama dalam pebgertian
soteriologi, sebagai penyelamatan individu dari hukuman yang kekal.Atau dalam
pengertian budaya: sebagai usaha memperkenalkan orang –orang dari timur dan
selatan dengan berkat-berkat dan hak-hak istimewa dalam dunia barat yang
kristen. misi dipahami dalam ketegori gerejawi,sebagai perluasan gereja atau
denominasi tertentu.Kadang-kadang misi di defenisikan dalam pengertiaan sejarah
keelamatan dimana proses yang denganya dunia secara evolusioner melalui
peristiwa yang sangat dahsyat sehingga akan di transformasikan menjadi Kerajaan
Allah. Dalam semua contoh ini dan dalam berbagai cara Seringkali bertentangan,
saling keterkaitan intrinsik antara kristologi,soteriologi dan doktrin
Tritunggal yang demikian penting bagi gereja mula-mula akan tetapi digantikan
oleh salah satu beberapa versi doktrin tentang kasih karunia.
Setelah
perang dunia pertama para misioner mulai mencatat perkembangan mutakhir dalam
teologi biblika dan sistematika.dalam sebuah makalah yang dibacakan pada
konferensi misi di bradenburg pada tahun 1932 dimana Karl Barth mengatakan
menjadi salah satu teolog yang sekaligus mengartikulasikan misi sebagai suatu
aktivitas Allah sendiri . Dari sudut pandangan teolog lain yaitu Karl
Hartenstein mengatakan pernyataan yang serupa. Secara keseluruhan pengaruh
Barth sangat manentukan sebagai eksponen yang jelas tentang paradikma teologis
baru secara radikal meninggalkan pendekatan pencerahan terhadap teologi.
Pengaruhnya terhadap pemikiran misi mencapai puncak pada konferensi IMC di
Willingen pada tahun 1952. Disinilah gagasan Misi Dei pertama kali muncul
dengan jelas dimana misi dipahami berasal dari Allah itu sendiri. Dengan
demikian misi diletakkan dalam konteks doktrin Tritunggal, bukan eklesiologi
atau soteirologi. Dimana Allah Bapa mengutus Anaknya dan Allah Bapa Dan Anak
mengutus Roh Kudus dan kemudian mengutus gereja ke dalam dunia. Sejauh
menyangkut Pemahaman Misioner pengaitan dengan doktrin tentang Tritunggal ini
merupaka sebuah inovasi penting .Misi manusia tidak untuk kehidupanya sendiri
akan tetapi untuk Allah yang mengutus misi dapat menjadi misi yang benar
khususnya inisiatif misioner itu datang dari Allah itu sendiri.Tetapi misi
tidak dipandang dalam kategori Triumfalistik. Wllingen mengakui hubungan yang
erat antara misi Allah dan misi sebagai solidaritas dengan Kristus yang menjadi
manusia dan disalibkan.
Misi
Sebagai Perantara Keselamatan
Beberapa tahun lalu
jurnal khatolik mempersembahkan dua terbitan untuk membahas tema keselamatan
dalam Agama-Agama dunia. Keselamtan sugguh-sungguh adalah suatu keprihatinan
dasariah dari setiap Agama. Bagi orang-orang Kristen keeyakinan bahwa Allah
telah secara pasti mengerjakan keselamatan bagi semua orang di dalam dunia
melalui Yesus Kristus sebagai juruselamat manusia. Dari keyakinan ini muncullah
misioner Kristen yang telah dimotivasi, dalam sepanjang sejarahnya, oleh
kehendak untuk memperantarai bagi semua orang. “motif soteriologis” ini barang
kali memang dapat disebut sebagai jantung yang berdebar dari misiologi karena
ia berkaitan dengan pertanyaan yang terdalam dan paling dasariah dari umat
manusia. Karenanya sugguh masu akal bahwa konferensi-konferensi misi
internasional dipergunakan keseluruhannya untuk membahas tema ini. Orang
mungkin terningat misalnya, akan konferensi CWME di Bangok yang temanya adalah
“Keselamtan Masa Kini”. Yang lebih mutakhir, oktober 1988 kongregasi untuk
penginjilan bangsa-bangsa, dari GKR. Berkumpul di Universitas Urbana di Roma
untuk mengadakan konsultasi satu minggu tentang pokok yang sama. Bahwa semua
ini adalah konsultas-konsultasi Misioner
menunjukan suatu pengertian yang mencolok, karena teologi misi seseorang selalu
erat bergantung pada teologinya tentang keselamatan: karenanya tepatlah bila
kita mengatakan bahwa cakupan keselamatan, betapapun kita mendefinisikan
keselamatan itu menentukan cakupan uasaha misioner. Seperti halnya telah
terjadi pegesaran paradigma sehubungan dengan pemahaman tentang hubungan atara
gereja dan misi telah terjadi pula pula pergeseran-pergeseran dalam pemahaman
tentang sifat keselamatan yang harus diperantarai gereja dalam misinya.
Refleksi-refleksi kita tentang misi dalam gereja mula-mula telah mengungkapkan
bahwa keselamatan ditafsirkan dalam pengertian yang komverensif. Ini tidak
berarti bahwa saya ingin mengatakan bahwa semua pengarang perjanjian baru
mempuyai pemahaman yang persis sama dalam hubungan ini, misalnya
Lukasmenggunakan bahasa keselamatan dalam hubungannya dengan suatu spektrum
keadaan-keadaan manusia yang sangat luas tentang penghapusan kemiskinan,
diskriminasi, penyakit, kerasukan roh jahat, dosa dan seterusnya, atau seperti
dikatakan oleh Scheffler pada tahun 1988 sehubngan dengan penderitaan ekonomi,
sosial, politik, fisik, psikologis dan rohani. Lebuh jauh bagi Lukas
keselamatan, terutama sekali adalah sesuatu yang mewujudkan dirinya dalam
kehidupan ini hari ini juga.
Dalam paulus, tekanannya tanpaknya
di tempat lain ia memberikan penekanan yang lebih besar pada hakikat
keselamatan yang belum berbentuk keselamatan baru mulai dalam kehidupan ini.
Keselamatan adalah sebuah proses, yang dimulai oleh perjumpaan seseorang dengan
Kristus yang hidup, tetapi keselamatan yang sempurnah masih belum terpenuhi.
Roh Kudus adalah karunia pertama Allah kepada kita. Pendamaian memang terjadi
disini dan sekarang juga, tetapi Paulus biasanya mengacu pada keselamatan dalam
bentuk waktu yang akan datang: “sebab jikalau kita, ketika masih seteru,
diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita yang
sekarang diperdamaikan pasti akan diselamatakan oleh hidup-Nya”. Nuansa-nuansa yag halus ini jelas berkaitan
dengan kenyataan bahwa paulus berfikir dalam kategori-kategori apokaliptik dan
ingin menekankan bahwa keselamatan yang menyeluruh baru akan terjadi dengan
kemenangan Allah yang akan datang, untuk sementara ini Paulus masih menantikan
Yesus Kristus sebagai juru selamat. Namun penantian ini tidak membelokkan kita
dari realitas pembaharuan yang radikal baik pribadi maupun sosial yang telah
dapat di alami oleh orang-orang percaya disini dan sekarag juga.
Keselamatan dalam Pemahaman Modern
Para kritikus modern terhadap agama
mengambil titik berangkat mereka disini. Agama sebagai ungkapan ketergantungan
total terhadap Allah dan sebagai keselamtan kekal dalam hidup yang akan datang
adalah suatu anakhronisme dan sisa-sisa dari periode kanak-kanak umat manusia.
Keselamatan ini berarti pembebasan takhyul keagamaan, perhatian terhadap
kesejahteraan manusia dan peringkat moral umat manusia. Muncul suatu
soteriologi alternatif, suatu pemahaman tentang keselamatan dimana umat manusia
menjadi agen-agen yang aktif dan bertanggung jawab yang memamfaatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi guna menghasilkan perbaikan-perbaikan material dan
mendorong perunhan sosial, polittik dimasa kini. Dalam hubungan ini, para
pengkritik agama pada hakikatnya menjadi pengkritik sosiologi.
Krisis
Dalam Paradigma Modern Tentang Keselamatan
Namun selama tahun 1970-an, defenisi
sekularis maupun liberasionis memdapatkan tekanan. Penulis mengacu pada suasana
yang lebih sadar yang telah mencirikan pertemuan-pertemuan DGD sejak SR Nairobi
pada tahun 1975. Hal yang lebih kurang sama pun terjadi pada katolisisme sejak
sinode para Uskup 1934 dan penerbitan Evangelii Nuntiandi pada tahun 1975.
Perlahan-lahan menjadi jelas bahwa model horisontalis diwarnai oleh inkonsistensi,
baik teologis maupun praktis. Adalah suatu penipuan diri sendiri bila kita
mulai berfikir dan bertindak seolah-olah keselamtan terletak didalam genggaman
kita, ada di tangan kita atau merupakan sesuatu yang dapat kita hadirkan kita
mulai menyadari sekali lagi bahwa meskipun kita mepunyai kesadaran sesat yang
sangat mendalam bahwa kita dapat menghadirkan keselamatan melalui kaya-karya
baik kita, bahkan orang Kristen pengampunan tidak mempunyai jawaban yang siap
pakai bagi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Orang Kriste terlalu banyak
menjanjikan diri sendiri misalnya di Uppsala. Ketika pernyataan-pernyataan
dibuat sedemikan rupa sehingga dalam masa depan yang dapat dilihat semua
ketidak adilan, semua kemiskinan dan semua bentuk perhambaan akan menjadi
sejarah dan bahwa keselamatan sudah di ambang pintu. Thomas wieser anggota staf
DGD yang bertanggung jawab dalam mengkordinasi proyek Keselamatan Masa Kini,
dimana ia menyakan peringtan sebagai berikut.
Tugas
mengindentifikasikan maksud pernyataan Allah ditengah-tengah
peristiwa-peristiwa sejarah menuntut kriteria teologis yang mantap, yang
dengannya penilaian-penilaian kritis dapat dibuat. Disini terdapat tugas
penting yang masih harus dilaksanakan untuk memastikan bahwa krediblitas Gereja
tidak akan lenyap dalam pembaharuan relevansi yang berumur pendek.
Misi
dan Perjuangan Demi Keadilan
Dalam bagian berkut ini
akan diperdebatkan bahwa meskipun penginjilan tidak boleh begitu saja disamakan
degan usaha demi keadilan, ia pun tidak pernah boleh dipisahkan daripadanya.
Hubungan antara dimensi-dimensu penginjian dan kemasyarakatan dari misi Kristen
merupakan salah satu bidang paling berduri dalam teologi dan praktik misi.
Dalam bagian-bagian yang paling berduru dalam teologi dan praktek misi. Dalam
bagian-bagian yang berikutnya kita akan kembali berulang-ulang pada pokok ini.
Tidak dapat diragukan bahwa keadilan sosial berada pada ini. Tidak dapat
diragukan bahwa keadilan sosial berada pada inti tradisi kenabian Perjanjian
Lama. Karena kebanyakan raja Israel setidak-tidaknya mengaku percaya kepada
Yahwe, nabi-nabi seperti Amos dan Yeremia, didalam nama Allah, dapat menantang
mereka sejauh mereka telah mentolerir atau melakukan ketidakanadilan di dalam
kerajaan-kerajaan mereka. Namun, konteks sosial-politik di mana geraja
mula-mula muai terlibat dalam misi, sama sekali berbeda. Kekristenn adalah
sebuah Riligio Illijito di kekaisaran romawi dimana sikap tolerir dalam keadaan
yang buruk sebagai penganiayaan. Tak seorang kristenpun yang dapat berbicara
kepada penguasa berdasarkan Iman mereka keadaan ini telah membawa banyak orang
kristen dari generasi di kemudian hari kepandangan yang keliru bahwa Perjanjian
Baru lebih bersifat rohani daripada Perjanjian Lama.
Misi
Sebagai Penginjilan.
Percakapan Tentang
Makna dan cakupan Keselamtan Tentang Misi Gereja sehubungan dengan keadilan
sosial membawa pada Refleksi-refleksi tentang Hakikat penginjilan. Konsep
penginjilan sesungguhnya telah lama hadir daripada misi hal itu dapat ditemukan
dalam Konsep Perjanjian Baru. Namun istilah-istilah ini nyaris tidak
dipergunakan pada Abad pertengahan. Bahkan dimasa kini kata-kata ini nyaris
digunakan dalam terjemahan Alkitab bahasa Inggris. Namun karena pada awal abad
ke-19 kata kerja menginjili dan turunannya penginjilan diperbaharui di gereja
dan kalanga misi. Mereka menjadi menonjol khususnya disekitar perlian abad ini
karena ada selogan Penginjilan dunia dalam generasi ini.
Misi Sebagai Pembebesan
Teologi
pembebasan adalah sebuah gejala yang berwajah banyak yang menempatkan dirinya
sebagai teologi hitam, di Amerika Latin sebagai Teologi feminis serta sebagai
gerakan Teologi yang analog di Afrika. Dengan berbagai pertimbangan semua
Teologi tentang pembebasan dan Inkulturasi. Sampai pada suatu batas yang penting
Teologi pembebasan berkembang dalam protes terhadap ketidakmampuan gereja dan
kalangan misi barat, baik katolik maupun prostestan untuk menghadapi
masalah-masalah ketidak adilan yang sistematik.
Inkulturasi
mewakili suatu model teologi kontekstual yang sangat penting demikian halnya
dengan Teologi pembebasan. Inkulturasi adalah pola yang dengannya sifat yang
ganda kekristenan masa kini menempatkan dirinya. Iman kristen tidak pernah
hadir kecuali sebagai sesuatu yang dimasukkan kedalam Budaya. Keadaan ini yang
merupakan ciri yang terbaru dari kekristenan sejak mulanya.
Penulis
memahami bahwa misi lebih luas daripada penginjilan. Evangelisasi adalah misi
tetapi misi tidaklah sekar evangelisasi, misi berarti keseluruhan tugas yang
telah Allah berikan kepada gereja demikeselamatan dunia tetapi selalu tekait
dengan suatu konteks khusus kuasa jahat, keputus asaan dan ketersesakan. Misi
mencakup semua kegiatan yang menolong membebaskan manusia dari perbudakannya
dihadapan Allah yang sedang datang. Perbudakan yang meluas dari kebutuhan
ekonomi sampai keberadaan tanpa Allah. Misi adalah gereja yang di utus kedalam
dunia, untuk mengasihi, mellayani, memberitakan, mengajar, menyembuhkan dan
memebebaskan. Karenanya adalah lebihbaik bila kita mempertahankan kekhususannya
penginjilan didalam misi gereja yag lebih luas. Namun tidaklah mungkin kita
memisahannya dari misi gereja yang lebih luas itu. Penginjilan adalah bagian
yang integral dari misi. Orang tidak boleh sekali-kali menyisikannya dan
memperlakukannya sebagai suatu kegiatan yang sama sekali terpisah dari gereja.
Misi Sebagai Kesaksian
Bersama
Sejauh
menyangkut Protestanisme gagasan Oikumenis adalah sebuah kegiatan dari
pembangunan dan keterlibatan dari Gereja-gereja di barat dalam usaha misi
diseluruh dunia. Contoh utama yang paling jelas tentang hal ini adalah
munculnya gerakan Piestis pada permulaan abad ke-18. Orang-orang Lutheran,
Kalfinis dan Angglikan melakukan persatuan dalam suatu kesatuan Umat Allah
namun pada dekade abad ke-19 semangat untuk misi dan kerjasama telah merosot
tanda-tandanya dibentuknya LMS sebagai sebuah perhimpunan Non-Denominasional
yang dimana Angglikan menarik diri untuk membentuk CMS untuk kalangan mereka
sendiri.
Sejak
Vatikan II banyak hal yang sama banyak dapat disebutkan tentang Katolisisme.
Kini tidak mungkin menyebut gereja tanpa pada saat yang sama menyebut misi,
dengan pengertian yang sama tidak mungkin pula kita menyebut gereja atau misi
tanpa pada saat yang sama berbicara tentang misi yang esa dari gereja yang esa.
Hal ini mewakili suatu pergeseran paradigma dengan proporsi-proporsi yang
penting. Ini tidak terjadi karena adanya akumulasi wawasan yang baru tapi
karena adanya suatu pemahaman diri yang baru. Ini adalah bagian dari pencarian
yang baru akan keutuhan dan keesaan dan untuk mengatasi dualisme dan
keterpecahan ini bukanlah akibat dari toleransi yang malas, katidak pedulian
dan relativisme melainkan dari suatu pemahaman yang baru tentang apa artinya
menjadi orang kristen di dalam dunia. Karena alasan ini semua penyatuan gereja
yang telah terjadi sejak 1920-an dan semua dewan gereja-geraja nasional yang
telah terbentuk selama kurang lebih setengah abad ini, hanya bermakna apabila
mereka melayani missio Dei oikumenisme bukanlah suatu usaha kumpulan yang pasif
dan setengah hati melainkan suatu kehidupan dan kerja sama yang aktif dan
sengaja.
Misi Sebagai Pelayanan
Oleh Seluruh Umat Allah
Gerakan
yang meninggalkan pelayanan sebagai orang-orang yang ditahbiskan pada pelayanan
dan tanggung jawab seluruh umat Allah adalah salah satu pergeseran yang paling
dramatis didalam gereja dimasa kini. Krisis yang dihadapi sehubungan dengan
pelayanan adalah bagian yang utuh dari krisis yang dihadapi oleh ketika praktis
setiap unsur tradisional dari iman dan tata gereja mengalami tekanan yang
hebat. Tidak dapat diragukan bahwa Yesus dari Nazaret memisahkan diri dari
keseluruhan tradisi Yahudi ketika Ia memilih murid-murid dari kelas Imamat
melainkan dari kalangan Nelayan, Pemungut cukai, dll. Ini adalah bagian dari
pelayanan dari ciri keterbalikan dalam pengajaran Yesus dari pembalikan
prioritas pada zaman tersebut yang dibelokkan dengan mengambil langkah yang
bertentangan dengan harapan manusia yang normal.
Misi Sebagai Kesaksian
Kepada Orang-Orang Yang Berlainan Iman
Teologi tentang Agama-agama adalah
sebuah disiplin yang telah berkembang sejak Tahun 1960. Dimana orang kristen
membuat dari suatu Denominasi teologis tertentu bertanya Siapakah orang-orang
Katolik Roma, Angglikan, Metodis ini ?. Siapakah orang-orang yang berkepercayaan
lain ini, orang Hindu, Buddha dan Muslim ?. Sudah tentu masalah sikap yang
harus diambil oleh orang kristen dan misinya terhadap kepercayaan Agama lain.
Misi pada hakikatnya untuk menaklukkan dan menyingkirkan dimana kekristenan
dipahami sebagai sesuatu yang unik, Eksklusif, Unggul, Pasti, Normatif dan
Mutlak, satu-satunya agama yang mempunyai hak Ilahi untuk Eksis dan memperluas
dirinya. Dalam paradigma pencerahaan Agama diharapkan akhirnya akan menemukan
bahwa apa yang mereka butuhkan untuk bisa bertahan bersama dengan Agama-agama
lainnya dengan dialog.
Dalam mempercakapkan hal ini dialog
sangatlah berperan untuk mempersatukan dari keperbagaian Agama-agama yang
berada di dunia ini. Diharapkan dari setiap Agama-agama untuk saling membuka
diri atas kepercayaan agama lain. Dengan demikian dari Reailita kepelbagaian
Agama akan menemukan titik temu dari setiap Agama dimana hal itu sangatlah
berperan untuk kerukunan antar umat beragama sehingga dengan kesatuan itu akan
mewujudkan mimpi-mimpi dan cita-cita bersama.
Misi
Sebagai Teologi
Dalam seluruh periode pra-modern,
teologi dipahami terutama dalam dua pengertian. Pertama ini adalah istilah
untuk pengakuan individu yang sesungguhnya tentang Allah dan hal-hal yang
berkaitan dengan Allah. Dalam pengertian ini, teologi adalah sebuah habitus
suatu kebiasaan dari jiwa manusia. Kedua, ini adalah istilah untuk suatu
displin, suatu usaha yang sadar akan dirnya sebagai suatu yang ilmiah. Selama
berabad-abad hanya ada suatu disiplin teologi tanpa sub bagiannya. Sudah tentu
adapembedaan-pembedaan tetapi mereka semua diacuh kembali pada suatu kebiasaan
teologi, pengetahuan tenatang Allah dan hal-hal yang berkaitan dengan Allah.
Namun dibawah pengaruh pencerahan satu disiplin ini pertama-tama dibagi kedalam
dua sub bagian. Teologis sebagai pengetahuan praktis yang perlu untuk pekerjaan
rohaniawan dan teologi sebagai satu usaha teknis dan ilmiah diantara yang
lain-lainnya atau bial orang ingin mengatakannya teologi sebagai praktik dan
sebagai teori. Darisini berlahan-lahan teologi berkembang kedalam apa yang
disebut farle atau pola emapt lapis: dsiplin alkitab, sejarah gereja teologi
sitematik dan teologi praktika. Masing-masing daripanya mempunyai paralelnya
didalam ilmu-ilmu sekular.
Sementara usaha misioner luas dan
realitas misi dan keberadaan gereja muda diwilayah-wilayah misi semakin
mendesakkan diri pada gereja digaris belakang, muncullah kebutuhan utuk
melakukan perbahan-perubahan.
Misi sebagai Aksi didalam Pengharapan
Tidak perluh mengherankan bahwa penemuan
kembali dimensi eskatologi diwujudkan terutama secara jelas dikalangan-kalangan
misionaris. Sejak awal mula gereja Kristen telah muncul suatu kedekatan yang
khusus antara usaha misi dan pengharapan-pengharapan akan suatu perubahan yang
dasariah dimasa depan umat manusia. Namun baru pada jaman kita, kita mulai
menemukan kembali hakikat pada dasarnya historis tentang iman alkitabiah dan
eskatologi.
Penemuan kembali eskatologi sebagai
ramuan dari Agama adalah sebuah fenomenon yang sama sekali berada dengan
pandangan-pandangan newtonian tentang waktu dan ruang sebagai mana di asumsikan
dalam metode kritis-historis yang klasik tentang paradigma mekanis. Eskatologi
mengwakili unsur pengharapan didalam agama. Pencerhanan, sejauh yang dapat kita
timbang telah menghancurkan kategori pengharapan. Seperti membuang teologi dan
beroperasi hanya berdasarkan sebab-akibat, bukan berdasarkan maksud. Dewa
fisikamemberikan kita yang kita inginkan. Tetapi ia tidak mengatakan kepada
kita apa yang seharusnya kita inginkan. Kata Georg Santayana hanya agama yang
dapat mengatakan hal itu kepada kita.
Namun jawaban agama terhadap
pertayaan ini bersifat ganda. Sebuah jawabanya secara klsik telah dirumuskkan
oleh Mircea Eliade sebagai mitos kepulangan yang kekal, apa yang kita harapkan
tidak lain dari pada yang telah lenyap. Pada mulahnya ada sebuah firdaus, suatu
keadaan suka cita yang bebas dari ketegangan, yang lenyap dari kita.
Keselamatan berarti mendapatkan kembali firdaus tersebut, jawaban Yahudi dan
Kristen berbeda dengan itu, masa depan yang kita harapkan bukanlah semata-mata
suatu pengulangan dari atau kepulangan ke yang mula-mula. Sebaliknya masa depan
terbuka bagi suatu permulaan yang baru yang akan jauh melampaui yang pertama.
Evaluasi terhadap Buku yang di Resensi.
1.
Kelebihan
Yang
menjadi kelebihan buku ini adalah banyak nya pemahaman baru yang kita dapatkan terkhusus
mengenai misi. Misi yang saya maksud adalah mencakup pada pembumian teologi dan
juga pengenalan akan Kristus kepada dunia. Buku ini juga mencakup kepada
pemahaman Oikumenis dimana dunia sebagai tubuh Kristus. dengan membaca buku ini
juga memberikan kita pemahaman bagaimana sikap kita terhadap aliran teologi
lain bahkan kepada agama lain. Sebagai seorang teolog yang berdomisili di
Indonesia perlu membaca buku ini, karena seperti yang telah kita ketahui
Indonesia sebagai negara yang multi kultural dan juga multi religius yang
dimana didalam banyak nya kepelbagian, akan mempermudah kita untuk melakukan
pendekatan yang obyektif.
2.
Kekurangan
Yang
menjadi kekurangan buku ini adalah banyak nya susunan kata yang tidak sesuai
dengan EYD, hal ini mungkin kelemahan penerjemah. Didalam buku ini juga banyak
digunakan kata-kata yang sulit untuk dipahami dipahami. Jika dibaca dari
keseluruhan bab 12 ini, kita akan terah pada sejarah gereja, seakan-akan buku
ini adalah buku sejarah gereja. Buku seperti ini juga akan sulit dipahami oleh
kaum awam yang tidak berkecimpung dalam dunia teologi, karena untuk memahami
isi buku ini deperlukan juga pemahaman awal mengenai apa itu misi dan juga
pemahaman sejarah gereja yang sangat mendasar. Kelemahan lain nya juga ialah,
adanya pengetikan teks yang salah.
Izin mengcopy komandan hehe
ReplyDeleteIjin copy boskuh
ReplyDelete