Mata Kuliah : Teologi Kontekstualisasi
Jangan di Copy bulat-bulat yah?
ini tulisan saya dan asli, sesekali cantumkan nama saya sebagai sumbernya..
heheheheheh
Jangan di Copy bulat-bulat yah?
ini tulisan saya dan asli, sesekali cantumkan nama saya sebagai sumbernya..
heheheheheh
TEF dan Pengkontekstualisasian
Adat Nengget dan Injil
dalam Tradisi
Batak Karo
I.
Pendahuluan
Pada
awal masuknya Injil ke tengah-tengah suku karo sangat berbenturan dengan adat
budaya setempat. Sistem adat yang sebelum masuknya Injil dianggap tindakan
kafir. Hal inilah yang menyebabkan Injil
sulit diterima di hati suku karo. Akan tetapi dengan muncuknya mandat ketiga
dari TEF mulai mempertimbangkan dan membicarakan untuk membuat sebuah istilah
yaitu Kontekstualisasi, dan hal ini sangat berpengaruh pada perkembangan Injil,
karena masyarakat karo dapat menerima Injil tanpa kehilangan jati diri sebagai
orang yang menjunjung nilai-nilai adat dan budaya.
II.
Pembahasan
2.1.
TEF (Theological Education Fund)
Kata
Kontekstualisasi pertama kali muncul dalam terbitan TEF yakni Theological
Education Fund (Dana Pendidikan Teologi). TEF dimulai oleh International Missionary
Council pada persidangannya di Ghana pada tahun 1957-1958. Tujuan Utama
pekerjaan TEF adalah agar Injil diungkapkan dan pelayanan dilakukan. Dan
kontekstualisasi berakar pada ketidakpuasan terhadap model-model pendidikan
teologis yang tradisional.[1]
Kontekstualisasi
mencakup segala sesuatu yang tersirat dalam istilah ‘pempribumian’, namun lebih
daripada itu. Kontekstualisasi berkaitan dengan penilaian kita dengan
konteks-konteks dalam Dunia Ketiga. Kontekstualisasi tidak mengabaikan budaya,
proses sekularisasi, tekhnologi dan perjuangan manusia demi keadilan, yang
menjadi ciri saat ini dalam sejarah bangsa-bangsa Dunia Ketiga. Namun kita
harus membeda-bedakan dengan cermat antara bentuk-bentuk kontekstualisasi
antara yang autentik dan yang palsu. Kontekstualisasi yang autentik bersifat
kenabian, yang selalu muncul dari suatu pertermuan yang sunguh-sungguh antara
Firman Allah dan dunia-Nya, dan bergerak maju menuju tujuan untuk menantang dan
mengubah situasi melalui keberakaran dan komitmen pada suatu saat historis
tertentu.
Suatu
program kontekstualisasi teologi di Dunia Ketiga akan mempunyai
prioritas-prioritasnya sendiri. Mungkin ia harus mengungkapkan tekad untuk
menentukan diri sendiri dengan cara terbuka memilih “teologi perubahan”.
Didalam masing-masing situasi budaya yang berbeda orang harus bergumul untuk
mendapatkan kembali identitas mereka dan menguasai sejarah mereka sendiri namun
masih terdapat saling ketergantungan dengan konteks. Dan pada akhirnya
kontekstualisasi membantu solidaritas semua orang pada ketaatan terhadap Tuhan
yang sama.[2]
2.2.Nengget
2.2.1.
Pengertian
Nengget
Nengget
berasal dari kata Sengget artinya
terkejut[3]. Nengget adalah suatu upacara yang dilakukan menurut
adat Karo, yaitu dengan membuat kejutan (sengget)
ke suatu keluarga tertentu, karena alasan tertentu dan juga tujuan tertentu. Di
sini terdapat unsure kepercayaan, bahwa dengan mengejutkan keluarga itu akan
tercapailah keinginan. Oleh karena itu pelaksanaannya pun dilakukan secara
rahasia, keluarga yang isenggeti
tidak boleh mengetahui hal tersebut. Pelaku nengget tersebut adalah turang dari
masing-masing yang disengget, yang dalam keadaan sehari-hari mereka rebu dan untuk berbicara harus
menggunakan perantara, atau menggunakan kata nina turangku. Ini menunjukkan rasa hormat, sopan, keseganan yang
tinggi di antara mereka yang rebu.
Dalam keadaan biasa mereka akan menghindar bertatapan langsung. Menurut cerita
orang tua dulu, orang yang rebu tidak
bersedia duduk dalam satu papan dalam rumah adat, begitulah penghayatan masalah rebu itu pada masyarakat Karo. Lalu
dalam upacara nengget hal itu
diabaikan sama sekali. Karena rebu-nya
(turangku) malah memanggil namanya
dengan bahasa kasar, seperti menyatakan engko
(engkau), padahal untuk halusnya harus menyatakan “kam”.[4]
2.2.2.
Tujuan Nengget
Nengget adalah upacara yang dilakukan terhadap
suami-istri yang sudah lama berumah tangga tapi belum dikaruniai anak. Atau
kepada suami istri yang jenis kelamin anaknya hanya satu saja. Acara ritus
nengget (membuat terkejut) diharapkan akan menjadi therapy yang membuat
perubahan bagi pasangan tersebut sehingga mendapat anak laki-laki dan wanita.
Namun ada juga dilakukan “nengget”
terhadap orang yang sakit-sakitan agar menjadi sehat walafiat. “nengget” merupakan suatu shock therapy
dalam konseling tradisional Karo untuk satu keluarga atau untuk seseorang.[5]
Pendeta Sada Kata Gintings menyatakan latar belakang nengget ialah tujuan hidup
masyarakat Karo ingin ertuah bayak,
sangap ras mejuah-juah (artinya mendapat anak laki-laki-perempuan dan juga
tidak ada musuh akan tetapi hidup bersama di dalam keluarga).[6]
2.2.3. Peralatan Nengget[7]
Untuk melakukan nengget, diperlukan
peralatan-peralatan sebagai berikut:
1.
Nasi dan
lauk-pauknya
2.
Uis arinteneng
(gendongan)
3.
Uis kapal
(ndawa)
4.
Batu (anak batu)
5.
Tumba beru-beru
6.
Lau simalem-malem:
a.
Air
b.
Ubung-ubung
c.
Lak-lak galuh
sitabar
d.
Besi-besi sangka
sempilet
e.
Beras-beras
f.
Sampe lutut
g. Bunga sapa
h. Bunga
engkiong
7.
Gendang (tidak
menjadi keharusan)
2.2.4. Proses
Pelaksanaan Nengget
Pelaksanaan
nengget diupayakan supaya keluarga
yang disengget benar-benar “sengget” (terkejut, kaget). Karena
kejutan dianggap dapat mengubah takdir. Dalam bahasa karo diungkapkan mbera-mbera ibas erdejeb pusuhna e, robah
padanna, robah pengindona kejumpan tuah lah ia (kalau nanti berubah
hatinya, berubah kehidupannya, berubah keinginannya dan mendapatkan anak.
Strategi nengget dilakukan dengan
proses :
Pertama:
rombongan kalimbubu sudah berkumpul disatu rumah yang ditetapkan menuju rumah
yang dituju. Kedua : dalam keadaan
tenang, layaknya bagi satu keluarga menerima tamu ada percakapan basa-basi,
tiba-tiba datanglah seseorang membentur lantai rumah dengan keras (nggurjih). Pendeta Sada Kata Gintings mengatakan Pada
umumnya keluarga yang disengget menangis histeris dan ada kalanya marah dan
panik. Dalam situasi hiruk-pikuk, datanglah seorang tua menenangkan situasi
dengan kata-kata pengasih: Kai pe labo
ndai anakku, pejuah-juahken nge kami reh. Kerehen kami anakku gelah
kam
pe jumpa pemere Dibata si mbelin, jumpa matawari ras bulan kam (tenanglah
anakku, kedatangan kami membawa kebaikan kami datang membawa harapan supaya
kamu mendapat berkat dari Tuhan memiliki anak laki-laki dan perempuan).[8]
Setelah keadaan menjadi tenang maka pasangan suami isteri Diosei (Dikenakan pakaian adat karo) dan dilanjutkan dengan acara makan bersama.
Sesudah
makan, keluarga yang di sengget mendatangi kalimbubu dengan menyodorkan kampil
(seperangkat sirih) dan rokok. Kalimbubu menanyakan apa saja gerangan yang
menjadi sangkut-sangkut ukur (Kendala
di hati), yang membuat hubungan keluarga ini kurang baik terhadap kalimbubu,
sembuyak dan anak berunya. Selanjutnya juga ditanyakan apakah ada hal-hal yang
mereka inginkan untuk dilakukan atau diberikan. Pada kesempatan ini diupayakan
terjadi “Purpursage” (saling
memaafkan) lahir dan batin sehingga tercapai Salang-sai.[9]
2.3.Pengkontekstualisasian Adat
Nengget dan Injil
Akhir-akhir
ini kegiatan berteologi diwarnai oleh upaya-upaya kontekstualisasi.[10]
Yang dimaksud adalah bagaimana perjumpaan dengan Allah direfleksikan dengan
mempertimbangkan secara serius konteks tertentu dimana perjumpaan itu terjadi.
Hal ini bukan hanya teks Alkitab yang diselidiki dan ditelaah, tetapi juga
konteks. Konteks disini bukan sekedar latar belakang. Pada masa sekarang ini
secara khusus masyarakat kesukuan yang ada di Indonesia menghadapi suatu
masalah yang kompleks, yaitu perbedaan antara konteks gereja dengan konteks
budaya, masalah ini menjadi masalah yang serius mengingat kedua hal ini secara
bersamaan berada ditengah-tengah masyarakat dan jemaat. Disamping itu
masyarakat karo dikenal sebagai masyarakat yang religius dimana di dalam setiap aspek selalu diarahkan kepada Dibata Kaci-kaci yang memberkati setiap
aktivitas tersebut yang diwujudkan dalam kegiatan adat budaya karo dalam
hubungan kedua hal yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan
yang lain.[11]
Permasalahan
mereka ketika Injil bertemu dengan kebudayaan yang telah mengakar
ditengah-tengah masyarakat, dimana Injil ditafsirkan berasal dari yang kudus
sehingga sifatnya kudus, bertemu dengan kebudayaan yang dipandang atas produk
kekafiran. Orang Barat (missionaris) mengasingkan budaya setempat dan
memberikan suatu yang benar baru yang dianggap bersih dan berasal dari Kristus.
Antara adat dan kekristenan terdapat perbedaan yang besar. Tidak dapat bersatu,
serta menilai adat itu akan membawa manusia pada kesia-siaan hidup, sedangkan
Injil memberikan kehidupan yang kekal.[12]
Demikian
halnya dengan budaya nengget di dalam adat karo yang ditolak oleh GBKP karena
dianggap bersifat mistis dan tidak sesuai dengan Injil. Tapi sebenarnya ada
sisi positif yang tidak dilihat GBKP dari acara nengget ini, yaitu dimana
terdapat nilai-nilai sosial yang terselip di dalamnya. Antara lain ada
nilai-nilai kekeluargaan dan rasa solidaritas yang sangat tinggi dalam
pelaksanaan nengget ini. Hal inilah yang perlu dikontekstualisasikan ke dalam
Injil pada masa sekarang, dimana kita dapat mengambil sisi positifnya dan
meninggalkan sisi negatifnya ataupun mengganti tata cara pelaksanaan nengget
ini dari hal yang berbau mistis dengan hal-hal yang di perbolehkan oleh Injil.
Yaitu dengan cara mengakhiri acara nengget tersebut dengan ibadah singkat dan menyampaikan
permintaan atau harapan keluarga yang disenggeti kepada Tuhan melalui berdoa
dan bukan lagi meminta kepada roh-roh nenek moyang atau tuhan lainnya. Dengan
kata lain, proses tata cara pelaksanaan nengget harus di ubah. Karena nengget
adalah sesuatu kegiatan yang sangat positif dalam memberikan Shock Therapy dalam konseling
tradisional karo kepada suatu keluarga.[13]
III.
Kesimpulan
Teologi
Kontekstual adalah teologi yang sangat berkembang di Asia terlebih Indonesia.
Karena dengan mengkontekstualisasikan Injil dan adat budaya Indonesia, tidak
akan ada lagi yang menjadi penghalang dalam penyampaian Injil. Masyarakat
Indonesia terlebih di suku-suku batak (toba, karo, simalungun, angkola dan
pakpak), mereka lebih cenderung menghormati adat daripada Injil pada umumnya.
Dan inilah yang menjadi pokok pergumulan TEF pada dunia ketiga. Injil harus
sejalan dengan adat, begitu juga dengan sebaliknya, kita harus dapat mengambil
sisi positif dari pelaksanaan adat terlebih dalam proses melakukan nengget.
IV.
Daftar
Pustaka
Drewes,
B.F. dan Julianus Mojau, Apa itu
Teologi?, Jakarta: BPK-GM, 2012
Ginting,
E. P., Adat Istiadat Karo, Kabanjahe:
Abdi Karya, 2000
Ginting,
S.K., Ranan Adat, Jakarta: Yayasan
Merga Silima, 1996
Ginting,S.
K., E. P. Ginting, Bujur Surbakti, Kamus Karo
Indonesia, Jakarta: Yayasan Merga Silima, 1995
Hesselgrave,
David J. & Rommen, Edward , Kontekstualisasi:
makna, metode dan model, Jakarta: BPK-GM, 1994
LumbanTobing,
Darwin, Teologia di Pasar Bebas, Pematang
Siantar: L-SAPA, 2007
Prinst, Darwan, Adat
Karo, Medan: Bina Media Perintis, 2012
Schreiner,
Lother, Adat dan Injil: Perjumpaan dengan
ImaN Kristen di Tanah Batak, Jakarta: BPK-GM, 2003
[1] David J. Hesselgrave & Edward Rommen , Kontekstualisasi: makna, metode dan model, (Jakarta: BPK-GM, 1994),
48-49
[3] S. K. Ginting, E. P.
Ginting, Bujur Surbakti, Kamus Karo
Indonesia, (Jakarta: Yayasan Merga Silima, 1995), 293
[8] S.K. Ginting Suka, Ranan Adat, (Jakarta: Yayasan Merga
Silima, 1996), 82-83
[9] E. P. Ginting, Adat Istiadat Karo, (Kabanjahe: Abdi
Karya, 2000), 113
[10] Kontekstualisasi berkaitan dengan penilaian kita terhadap
konteks-konbteks dalam dunia ketiga. Kontekstualisasi dengan tidak mengabaikan
konteks-konteks budaya, memperhitungkan juga proses sekularisasi, teknologi dan
perjuangan manusia demi keadilan, yang menjadi ciri saat ini dalam sejarah
dunia ketiga. David J. Hesselgrave & Edward Rommen , Kontekstualisasi: makna, metode dan model,48-49
[11] Bnd. Darwin Lumban Tobing, Teologia
di Pasar Bebas, (Pematang Siantar: L-SAPA, 2007), 324-325. Budaya atau adat
dipandang sebagai bagaian yang paling luas karena segala segi dari kehidupan
manusia itu baik tentang apa yang baik adan tidak baik dilakukan, bahkan apa
yang menjadi hak dan kewajiban seseorang manusia karo telah diatur dalam adat
dan kebudayaan. Oleh karena itu ketika mereka menerima Injil, tetapi pandangan
mereka terhadap kebudayaan tetap sama dan agama dipandang sebagian dari adat
atau kebudayaan. Hal ini dapat dilihat ketika seseorang lebih tersinggung
dikatakan tidak beradat daripada tidak beragama.
[12] Lother Schreiner, Adat dan
Injil: Perjumpaan dengan ImaN Kristen di Tanah Batak, (Jakarta: BPK-GM,
2003), 7-8
Tulisan ndu seh kel bermamfaatna. Ma baci ku share ?
ReplyDelete