Tuesday, March 7, 2017

Pengkontekstualisasian Adat Nengget dan Injil dalam Tradisi Batak Karo



Mata Kuliah              : Teologi Kontekstualisasi

Jangan di Copy bulat-bulat yah?
ini tulisan saya dan asli, sesekali cantumkan nama saya sebagai sumbernya..
heheheheheh

TEF dan Pengkontekstualisasian Adat Nengget dan Injil 
dalam Tradisi Batak Karo
I.                   Pendahuluan
Pada awal masuknya Injil ke tengah-tengah suku karo sangat berbenturan dengan adat budaya setempat. Sistem adat yang sebelum masuknya Injil dianggap tindakan kafir.  Hal inilah yang menyebabkan Injil sulit diterima di hati suku karo. Akan tetapi dengan muncuknya mandat ketiga dari TEF mulai mempertimbangkan dan membicarakan untuk membuat sebuah istilah yaitu Kontekstualisasi, dan hal ini sangat berpengaruh pada perkembangan Injil, karena masyarakat karo dapat menerima Injil tanpa kehilangan jati diri sebagai orang yang menjunjung nilai-nilai adat dan budaya.
II.                Pembahasan
2.1. TEF (Theological Education Fund)
Kata Kontekstualisasi pertama kali muncul dalam terbitan TEF yakni Theological Education Fund (Dana Pendidikan Teologi). TEF dimulai oleh International Missionary Council pada persidangannya di Ghana pada tahun 1957-1958. Tujuan Utama pekerjaan TEF adalah agar Injil diungkapkan dan pelayanan dilakukan. Dan kontekstualisasi berakar pada ketidakpuasan terhadap model-model pendidikan teologis yang tradisional.[1]
Kontekstualisasi mencakup segala sesuatu yang tersirat dalam istilah ‘pempribumian’, namun lebih daripada itu. Kontekstualisasi berkaitan dengan penilaian kita dengan konteks-konteks dalam Dunia Ketiga. Kontekstualisasi tidak mengabaikan budaya, proses sekularisasi, tekhnologi dan perjuangan manusia demi keadilan, yang menjadi ciri saat ini dalam sejarah bangsa-bangsa Dunia Ketiga. Namun kita harus membeda-bedakan dengan cermat antara bentuk-bentuk kontekstualisasi antara yang autentik dan yang palsu. Kontekstualisasi yang autentik bersifat kenabian, yang selalu muncul dari suatu pertermuan yang sunguh-sungguh antara Firman Allah dan dunia-Nya, dan bergerak maju menuju tujuan untuk menantang dan mengubah situasi melalui keberakaran dan komitmen pada suatu saat historis tertentu.
Suatu program kontekstualisasi teologi di Dunia Ketiga akan mempunyai prioritas-prioritasnya sendiri. Mungkin ia harus mengungkapkan tekad untuk menentukan diri sendiri dengan cara terbuka memilih “teologi perubahan”. Didalam masing-masing situasi budaya yang berbeda orang harus bergumul untuk mendapatkan kembali identitas mereka dan menguasai sejarah mereka sendiri namun masih terdapat saling ketergantungan dengan konteks. Dan pada akhirnya kontekstualisasi membantu solidaritas semua orang pada ketaatan terhadap Tuhan yang sama.[2]
2.2.Nengget
2.2.1.      Pengertian Nengget
Nengget berasal dari kata Sengget artinya terkejut[3]. Nengget adalah suatu upacara yang dilakukan menurut adat Karo, yaitu dengan membuat kejutan (sengget) ke suatu keluarga tertentu, karena alasan tertentu dan juga tujuan tertentu. Di sini terdapat unsure kepercayaan, bahwa dengan mengejutkan keluarga itu akan tercapailah keinginan. Oleh karena itu pelaksanaannya pun dilakukan secara rahasia, keluarga yang isenggeti tidak boleh mengetahui hal tersebut. Pelaku nengget tersebut adalah turang dari masing-masing yang disengget, yang dalam keadaan sehari-hari mereka rebu dan untuk berbicara harus menggunakan perantara, atau menggunakan kata nina turangku. Ini menunjukkan rasa hormat, sopan, keseganan yang tinggi di antara mereka yang rebu. Dalam keadaan biasa mereka akan menghindar bertatapan langsung. Menurut cerita orang tua dulu, orang yang rebu tidak bersedia duduk dalam satu papan dalam rumah adat, begitulah penghayatan masalah rebu itu pada masyarakat Karo. Lalu dalam upacara nengget hal itu diabaikan sama sekali. Karena rebu-nya (turangku) malah memanggil namanya dengan bahasa kasar, seperti menyatakan engko (engkau), padahal untuk halusnya harus menyatakan “kam”.[4]

2.2.2.      Tujuan Nengget
Nengget adalah upacara yang dilakukan terhadap suami-istri yang sudah lama berumah tangga tapi belum dikaruniai anak. Atau kepada suami istri yang jenis kelamin anaknya hanya satu saja. Acara ritus nengget (membuat terkejut) diharapkan akan menjadi therapy yang membuat perubahan bagi pasangan tersebut sehingga mendapat anak laki-laki dan wanita. Namun ada juga dilakukan “nengget” terhadap orang yang sakit-sakitan agar menjadi sehat walafiat. “nengget” merupakan suatu shock therapy dalam konseling tradisional Karo untuk satu keluarga atau untuk seseorang.[5] Pendeta Sada Kata Gintings menyatakan latar belakang nengget ialah tujuan hidup masyarakat Karo ingin ertuah bayak, sangap ras mejuah-juah (artinya mendapat anak laki-laki-perempuan dan juga tidak ada musuh akan tetapi hidup bersama di dalam keluarga).[6]
2.2.3.      Peralatan Nengget[7]
Untuk melakukan nengget, diperlukan peralatan-peralatan sebagai berikut:
1.      Nasi dan lauk-pauknya
2.      Uis arinteneng (gendongan)
3.      Uis kapal (ndawa)
4.      Batu (anak batu)
5.      Tumba beru-beru
6.      Lau simalem-malem:
a.       Air
b.      Ubung-ubung
c.       Lak-lak galuh sitabar
d.      Besi-besi sangka sempilet
e.       Beras-beras
f.        Sampe lutut
g.      Bunga sapa
h.      Bunga engkiong
7.      Gendang (tidak menjadi keharusan)

2.2.4.      Proses Pelaksanaan Nengget
Pelaksanaan nengget diupayakan supaya keluarga yang disengget benar-benar “sengget” (terkejut, kaget). Karena kejutan dianggap dapat mengubah takdir. Dalam bahasa karo diungkapkan mbera-mbera ibas erdejeb pusuhna e, robah padanna, robah pengindona kejumpan tuah lah ia (kalau nanti berubah hatinya, berubah kehidupannya, berubah keinginannya dan mendapatkan anak. Strategi nengget dilakukan dengan proses :
Pertama: rombongan kalimbubu sudah berkumpul disatu rumah yang ditetapkan menuju rumah yang dituju.  Kedua : dalam keadaan tenang, layaknya bagi satu keluarga menerima tamu ada percakapan basa-basi, tiba-tiba datanglah seseorang membentur lantai rumah dengan keras (nggurjih). Pendeta Sada Kata Gintings mengatakan Pada umumnya keluarga yang disengget menangis histeris dan ada kalanya marah dan panik. Dalam situasi hiruk-pikuk, datanglah seorang tua menenangkan situasi dengan kata-kata pengasih: Kai pe labo ndai anakku, pejuah-juahken nge kami reh. Kerehen kami anakku gelah kam pe jumpa pemere Dibata si mbelin, jumpa matawari ras bulan kam (tenanglah anakku, kedatangan kami membawa kebaikan kami datang membawa harapan supaya kamu mendapat berkat dari Tuhan memiliki anak laki-laki dan perempuan).[8] Setelah keadaan menjadi tenang maka pasangan suami isteri Diosei (Dikenakan pakaian adat karo) dan dilanjutkan dengan  acara makan bersama.
Sesudah makan, keluarga yang di sengget mendatangi kalimbubu dengan menyodorkan kampil (seperangkat sirih) dan rokok. Kalimbubu menanyakan apa saja gerangan yang menjadi sangkut-sangkut ukur (Kendala di hati), yang membuat hubungan keluarga ini kurang baik terhadap kalimbubu, sembuyak dan anak berunya. Selanjutnya juga ditanyakan apakah ada hal-hal yang mereka inginkan untuk dilakukan atau diberikan. Pada kesempatan ini diupayakan terjadi “Purpursage” (saling memaafkan) lahir dan batin sehingga tercapai Salang-sai.[9]



2.3.Pengkontekstualisasian Adat Nengget dan Injil
Akhir-akhir ini kegiatan berteologi diwarnai oleh upaya-upaya kontekstualisasi.[10] Yang dimaksud adalah bagaimana perjumpaan dengan Allah direfleksikan dengan mempertimbangkan secara serius konteks tertentu dimana perjumpaan itu terjadi. Hal ini bukan hanya teks Alkitab yang diselidiki dan ditelaah, tetapi juga konteks. Konteks disini bukan sekedar latar belakang. Pada masa sekarang ini secara khusus masyarakat kesukuan yang ada di Indonesia menghadapi suatu masalah yang kompleks, yaitu perbedaan antara konteks gereja dengan konteks budaya, masalah ini menjadi masalah yang serius mengingat kedua hal ini secara bersamaan berada ditengah-tengah masyarakat dan jemaat. Disamping itu masyarakat karo dikenal sebagai masyarakat yang religius dimana di dalam setiap aspek selalu diarahkan kepada Dibata Kaci-kaci yang memberkati setiap aktivitas tersebut yang diwujudkan dalam kegiatan adat budaya karo dalam hubungan kedua hal yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.[11]
Permasalahan mereka ketika Injil bertemu dengan kebudayaan yang telah mengakar ditengah-tengah masyarakat, dimana Injil ditafsirkan berasal dari yang kudus sehingga sifatnya kudus, bertemu dengan kebudayaan yang dipandang atas produk kekafiran. Orang Barat (missionaris) mengasingkan budaya setempat dan memberikan suatu yang benar baru yang dianggap bersih dan berasal dari Kristus. Antara adat dan kekristenan terdapat perbedaan yang besar. Tidak dapat bersatu, serta menilai adat itu akan membawa manusia pada kesia-siaan hidup, sedangkan Injil memberikan kehidupan yang kekal.[12]
Demikian halnya dengan budaya nengget di dalam adat karo yang ditolak oleh GBKP karena dianggap bersifat mistis dan tidak sesuai dengan Injil. Tapi sebenarnya ada sisi positif yang tidak dilihat GBKP dari acara nengget ini, yaitu dimana terdapat nilai-nilai sosial yang terselip di dalamnya. Antara lain ada nilai-nilai kekeluargaan dan rasa solidaritas yang sangat tinggi dalam pelaksanaan nengget ini. Hal inilah yang perlu dikontekstualisasikan ke dalam Injil pada masa sekarang, dimana kita dapat mengambil sisi positifnya dan meninggalkan sisi negatifnya ataupun mengganti tata cara pelaksanaan nengget ini dari hal yang berbau mistis dengan hal-hal yang di perbolehkan oleh Injil. Yaitu dengan cara mengakhiri acara nengget tersebut dengan ibadah singkat dan menyampaikan permintaan atau harapan keluarga yang disenggeti kepada Tuhan melalui berdoa dan bukan lagi meminta kepada roh-roh nenek moyang atau tuhan lainnya. Dengan kata lain, proses tata cara pelaksanaan nengget harus di ubah. Karena nengget adalah sesuatu kegiatan yang sangat positif dalam memberikan Shock Therapy dalam konseling tradisional karo kepada suatu keluarga.[13]
III.             Kesimpulan
Teologi Kontekstual adalah teologi yang sangat berkembang di Asia terlebih Indonesia. Karena dengan mengkontekstualisasikan Injil dan adat budaya Indonesia, tidak akan ada lagi yang menjadi penghalang dalam penyampaian Injil. Masyarakat Indonesia terlebih di suku-suku batak (toba, karo, simalungun, angkola dan pakpak), mereka lebih cenderung menghormati adat daripada Injil pada umumnya. Dan inilah yang menjadi pokok pergumulan TEF pada dunia ketiga. Injil harus sejalan dengan adat, begitu juga dengan sebaliknya, kita harus dapat mengambil sisi positif dari pelaksanaan adat terlebih dalam proses melakukan nengget.
IV.             Daftar Pustaka
            Drewes, B.F. dan Julianus Mojau, Apa itu Teologi?, Jakarta: BPK-GM, 2012
Ginting, E. P., Adat Istiadat Karo, Kabanjahe: Abdi Karya, 2000
Ginting, S.K., Ranan Adat, Jakarta: Yayasan Merga Silima, 1996
            Ginting,S. K., E. P. Ginting, Bujur Surbakti, Kamus Karo Indonesia, Jakarta: Yayasan Merga Silima, 1995
Hesselgrave, David J. & Rommen, Edward , Kontekstualisasi: makna, metode dan model, Jakarta: BPK-GM, 1994
LumbanTobing, Darwin, Teologia di Pasar Bebas, Pematang Siantar: L-SAPA, 2007
Prinst, Darwan, Adat Karo, Medan: Bina Media Perintis, 2012
Schreiner, Lother, Adat dan Injil: Perjumpaan dengan ImaN Kristen di Tanah Batak, Jakarta: BPK-GM, 2003


[1] David J. Hesselgrave & Edward Rommen , Kontekstualisasi: makna, metode dan model, (Jakarta: BPK-GM, 1994), 48-49
                [2] B.F. Drewes dan Julianus Mojau, Apa itu Teologi?, (Jakarta: BPK-GM, 2012),155-156
[3] S. K. Ginting, E. P. Ginting, Bujur Surbakti, Kamus Karo Indonesia, (Jakarta: Yayasan Merga Silima, 1995), 293
[4] Darwan Prinst, Adat Karo, (Medan: Bina Media Perintis, 2012), 157-158
[5] E. P. Gintings, Religi Karo, (Kabanjahe: Abdi Karya, 1999), 112
[6] Sada Kata Ginting Suka, Ranan Adat, (Medan: Yayasan Merga Silima, 2014), 161
[7] Darwan Prinst, Adat Karo, (Medan: Bina Media Perintis, 2012), 159
[8] S.K. Ginting Suka, Ranan Adat, (Jakarta: Yayasan Merga Silima, 1996), 82-83
[9] E. P. Ginting, Adat Istiadat Karo, (Kabanjahe: Abdi Karya, 2000), 113
[10] Kontekstualisasi berkaitan dengan penilaian kita terhadap konteks-konbteks dalam dunia ketiga. Kontekstualisasi dengan tidak mengabaikan konteks-konteks budaya, memperhitungkan juga proses sekularisasi, teknologi dan perjuangan manusia demi keadilan, yang menjadi ciri saat ini dalam sejarah dunia ketiga. David J. Hesselgrave & Edward Rommen , Kontekstualisasi: makna, metode dan model,48-49
[11] Bnd. Darwin Lumban Tobing, Teologia di Pasar Bebas, (Pematang Siantar: L-SAPA, 2007), 324-325. Budaya atau adat dipandang sebagai bagaian yang paling luas karena segala segi dari kehidupan manusia itu baik tentang apa yang baik adan tidak baik dilakukan, bahkan apa yang menjadi hak dan kewajiban seseorang manusia karo telah diatur dalam adat dan kebudayaan. Oleh karena itu ketika mereka menerima Injil, tetapi pandangan mereka terhadap kebudayaan tetap sama dan agama dipandang sebagian dari adat atau kebudayaan. Hal ini dapat dilihat ketika seseorang lebih tersinggung dikatakan tidak beradat daripada tidak beragama. 
[12] Lother Schreiner, Adat dan Injil: Perjumpaan dengan ImaN Kristen di Tanah Batak, (Jakarta: BPK-GM, 2003), 7-8
[13]  E. P. Gintings, Religi Karo, 112

1 comment:

Khotbah semptember 2020

 Minggu, 6 September 2020, 13-Set Trinitatis Tema : Manusia Tidak Untuk Diperjual-belikan Ev : Matius 27: 1-10 Pengantar Era globalisasi...