Nama :
Johannes Nababan
M. Kuliah :
Teologi Agama-agama
STT. Abdi Sabda Medan
MODEL MUTUALITAS
JEMBATAN FILOSOFIS
Jangan di Copy bulat-bulat yah?
ini tulisan saya dan asli, sesekali cantumkan nama saya sebagai sumbernya..
heheheheheh
Jangan di Copy bulat-bulat yah?
ini tulisan saya dan asli, sesekali cantumkan nama saya sebagai sumbernya..
heheheheheh
I.
Pendahuluan
Indonesia
merupakan negara multikultural dan multireligius, realitas ini tidak dapat
disangkal lagi.Didalam masyarakat majemuk kita dapat melihat banyaknya keberagaman.
Baik budaya, bahasa, suku, adat, agama dan sebagainya. Didalam
perbedaan ini hal yang sangat menarik dibicarakan adalah agama. Dengan
perbedaan keyakinan kita sebagai manusia sosial mencari titik temu yang akan
menyababkan hubungan harmonis sesama manusia walaupun berbeda agama. Tentu saja
hal ini bukanlah hal yang muda, hal itu dikarenakan setiap agama memiliki
pengajaran dan cara pandang yang berbeda.
Pada
kesempatan kali ini saya selaku penyaji akan membahas Model Mutualitas Jembatan
Filosofis. Ini adalah sebuah model dialog antara umat beragama untuk mengambil
sikap saling menghargai dalam perbedaan keyakinan tersebut. Semoga pembahasan
kali ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan kita bersama. Tuhan Yesus
Meberkati.
II.
Pembahasan
2.1.Pengertian Model
Mutualitas
Model
adalah sebuah contoh, pola, acuan dan ragam.[1]
Sedangkan mutualias adalah hubungan dan percakapan dua arah yang memungkinkan
kedua belah pihak saling berbicara dan saling mendengarkan, terbuka untuk
saling belajar.[2]
Jadi model Mutualitas adalah suatu sikap mutual yang dikembangkan dalam pola
hidup manusia bukan hanya sebagai wacana tetapi juga sebagai komitmen dan sikap
yang harus diimplementasikan dalam hidup manusia.[3]
2.2.Pengertian Jembatan
Filosofis
Jembatan
filosofis ialah hal-hal yang menyangkut persoalan ralatifitas, yang mencoba
mengetengakan bagaimana kaum pluralis menyadari keterbatasan semua pengetahuan
dan keyakinan religius sehingga tidak memungkinkan kita menilai kebenaran
budaya atau agama lain atas dasar keyakinan seseorang[4]
2.3.Agama dalam Masyarakat
Majemuk
Kepelbagaian atau keanekaragaman yang menjadi realitas
dalam kehidupan beragama telah dirasakan oleh semua suku bangsa di berbagai
belahan dunia. Termasuk dengan Indonesia bahwa kenyataan kepelbagaian itu
justru merupakan ciri khas tersendiri. Ragam suku meliputi ragam budaya dan
bahasa, termasuk di dalamnya ragam penganut agama yang diakui oleh pemerintah
turut mewarnai kepelbagaian tadi. Memang kepelbagaian apalagi dalam hal
keagamaan terkadang dapat bersifat fenomenal, karena dalam pelbagai perjumpaan
kehidupan di antara para penganut agama sering terjadi desintegrasi.
Sebagaimana konflik yang dialami oleh sebagian besar masyarakat di daerah
tertentu di Indonesia, kelihatannya seperti dimotivasi oleh agama tertentu.
Upaya untuk mengentaskan persoalan-persoalan dibidang
keagamaan, terlebih bagi para penganut agamanya secara berkesinambungan telah
dilakukan oleh berbagai pihak dalam berbagai upaya dan metode. Salah satu upaya
tersebut disebut dengan upaya Dialog Antar Umat Beragama[5]
2.4. Perlunya Dialog dalam
Masyarakat Majemuk[6]
Gereja
dan Kekristenan yang di perkenalkan oleh teologi Barat yang kemudian dibawa
oleh para misionar yang selalu menekankan keutamaan dan kemutlakan ajarannya
terhadap agama dan kepercayaan yang lain. Gereja dan kekristenan Barat dipahami
sebagai satu-satunya kebenaran dan pemilik kebenaran itu. Pemehaman ini
menempatkan gereja dan kekristenan Barat sebagai tolak ukur dan norma kebenaran
untuk mengukur kebenaran agama dan kepercayaan yang lain. Agama dan kepercayaan
dipahami tidak memiliki nilai-nilai kebenaran dan kalaupun ada kebenaran di
dalamnya maka harus diukur dan dinilai dengan norma kebenaran yang ditentukan gereja
dan kekristenan Barat.
Pemahaman
ini lambat laun berubah, terlebih sejak dekade 1970-an, ketika gereja semakin
intensif melakukan dialog antar umat beragama. Semakin dipahami pula bahwa
setiap agama dan kepercayaan sebenarnya mempunyai nilai-nilai kebenaran, menuju
kebenaran yang hakiki, kebenaran yang universal. Sebab, kebenaran universal itu
sebenarnya tidak ada.[7]
Paradigma baru ini lahir dari kesadaran bahwa manusia postmodern berada
ditengah-tengah kepelbagaian, agama, pandangan hidup, budaya, suku bangsa,
warisan tadisi pola dan anasir kehidupan. Hal yang sama terjadi pada gereja
kekristenan. Ia sebenarnya berada ditengah-tengah agama dan kepercayaan yang
lain, yang mempunyai nilai-nilai kebenarannya sendiri.
2.5.Model Mutualitas
Dialog
dengan agama lain merupakan kewajiban etis. Kita tidak mungkin mengasihi orang
lain kecuali kita bersedia mendengarkan mereka, menghormati mereka dan belajar
dari mereka, begitulah mutualitas. Model mutualitas menghindari pendapat bahwa
semua agama scara esensial sama atau hanya berbicara tentang masalah yang sama.
Tetapi harus ada sesuatu yang sama antara agama-agama sehingga memungkinkan
adanya dialog.[8]
Model
mutualitas ini mempertahankan keberagaman dan benar-benar memandang
kebearagaman sebagai alasan terlibat dalam dialog antar pemeluk agama.
Karenanya perlu orang harus menghindari ide yang menyatakan seluruh agama
berbicara dengan penuh kebenaran tentang satu hal yang sama, tetapi mereka
harus menyadari gama-agama memiliki sesuatu yang sama. Dan melalui dialog kita
menguji prasangka yang valid dan yang kita perlukan adalah menunda opini dan
kalim kebenaran kita.[9]
2.6.Model Mutualitas
Jembatan Filosofis
Dari
sekian banyak dan tawaran yang dikemukakan Model Mutualitas bagi teologi
agama-agama, yang sangat inovatif dan kontroversial adalah yang berhubungan
dengan pandangan tentang Yesus.[10]
Model dialog ini memberikan tiga konsep yang harus dipedomi untuk melakukan
dialog dengan agama lain.
1.
Cara
umat kristen bisa berdialog lebih autentik dengan agama lain[11]
Kita harus mengakui bahwa keprihatinan
model ini yang paling mendasar ialah bagaimana membangun dialog yang benar
dengan agama-agama lain. Bagi umat kristen yang menganut model ini,
keprihatinan ini mendalam dan mendasar seperti halnya mereka mengikuti Yesus
dan tetap setia kepada Injil. Kedua keprihatinan ini harus saling mendukung.
Mereka tidak bisa membayangkan mengikuti Yesus tanpa berdialog dengan umat
beragama lain, dan sebaliknya. Bagi mereka dialog dengan agama-agama lain
merupakan suatu kewajiban etis. Oleh karena itu apa yang dijumpai umat
Kristiani di dalam berbagai tradisi agama lain yang begitu luas bukan hanya
keragaman tetapi mitra dialog yang potensial. Apa yang mereka temukan bukan
hanya multiplisitas dan identitas dari agama-agama lain, tetapi teristimewa juga
percakapan di antara mereka. Hubungan semacam ini harus mutual.
2.
Menciptakan
Medan Main Yang Setara Dengan Dialog[12]
Maksud menciptakan medan main yang
setara ialah, dialog harus dilakukan “di antara yang setara”. Kalau salah satu
mitara memasukin medan main dengan peralatan yang lebih baik daripada yang
lainnya, atau memiliki “hubungan khusus” dengan wasit, maka dialog yang
dilaksanakan tidak berlangsung dengan jujur. Semua agama memiliki “hak
sederajat” yang sama untuk berbicara dan didengarkan, berdasarkan nilai yang
melekat di dalam mereka. Jadi, model ini tidak setuju dengan, dan berusaha
menghindari anggapan bahwa ada gama yang memiliki superioritas yang diberikan
(khususnya diberikan Tuhan) atas semua agama lain sehingga agama itu menjadi final atau absolut atau tak tertandingi.
3.
Memahami
dengan Jelas Keunikan Kristus Sehingga Dialog Bisa Terus Dipertahankan.[13]
Kristiani maupun umat beragama lain,
merasa bahwa tidak mungkin tercipta medan main yang seimbang dalam dialog
dengan agama Kristiani adalah karena adanya pemahaman tentang Yesus yang
diimani oleh umat Kristiani. Kalau umat Kristiani masuk ke arena dialog sambil
mengatakan bahwa Yesus adalah satu-satunya juru selamat umat manusia dan bahwa
Firman Tuhan yang ada di dalam Dia adalah final bagi semua orang, maka walupun
sikap saling memberi dan menerima terjadi dalam dialog itu, saat peluit
dibunyikan, atau pada akhir pertandingan (eskatologis) maka, agam Kristen akan
menang. Agama-agama lain bisa saja menciptakan gol yang mengesankan, tetapi
pada akhirnya (sepanjang perjalanan sejarah) hanya tim Kristuslah yang menang.
Dengan kata lain, kalaulah memang Tuhan hanya menggunakan satu orang atausatu
agama sebagai saluran kasihdan rahmat keselamatan-Nya untuk semua, maka dialog
mutual yang sejati, dimana setiap peserta belajar sebanyak yang dipelajari yang
lain, tidak akan mungkin terjadi.
Inilah rupanya umat Kristen mau bereksprimen
dengan memakai model mutualitas ini untuk memahami agama-agama lain. Bagi
mereka gereja harus meninggalkan barbagai rintangan doktrinal agar kewajiban
etika berdialog dengan umat beragama lain dapat terwujud.
2.7. Tokoh Utama Model
Mutualitas Jembatan Filosofis[14]
Pemandu
utama kita dalam menyebrang dengan jembatan ini adalahsalah seorang teolog
Kristiani pertama yang telah menyebranginya dan mendesak lainnya untuk
mengikuti dia. Namanya Jhon Hick, seorang teolog Inggris dan sudah lama tinggal
di Amerika Serikat.[15] Jhon
Hick memiliki gagasan teologi yang diperhadapkan dengan konteks pluralitas
agama. Gagasannya dirangkum dengan tema besar “Copernican Reovolution in Theologi”. Tema ini diambil dari penemuan
Galilea Galileo tentang perputaran rotasi bumi da matahari, bahwa bukan
matahari yang mengelilingi bumi sebagaimana sudah lama dipahami gereja
berdasarkan kesaksian Alkitab, melainkan bumilah yang mengelilingi matahari.
Hick
mengatakan bahwa gereja dan kekristenan akhirnya jauh menyimpang dari pemahaman
Alkitab, yaitu ketika ajarannya di dasarkan kepada kristosentris, bahkan akhirnya cendrung menjadi ekklesiosentris.Penyimpangan ini harus
dikembalikan kepada pemahaman theosentris,
sesuai dengan pesan dan ajaran Alkitab. Hick juga mengatakan agar
Kristologi dijelaskan dalam pemahaman teosentris
tersebut, sehingga orang-orang yang bukan Kristen dapat terjangkau oleh keselamaan yang
diperbuat Yesus, sesuai dengan maksud tujuan kedatangan-Nya ke dunia ini (Yoh
3:16).
III.
Kesimpulan
Dialog
dengan agama lain merupakan kewajiban etis. Kita tidak mungkin mengasihi orang
lain kecuali kita bersedia mendengarkan mereka, menghormati mereka dan belajar
dari mereka. Dialog dengan pemahaman Model mutualitas ini mempertahankan
keberagaman dan benar-benar memandang kebearagaman sebagai alasan terlibat
dalam dialog antar pemeluk agama. Karenanya perlu orang harus menghindari ide
yang menyatakan seluruh agama berbicara dengan penuh kebenaran tentang satu hal
yang sama, tetapi mereka harus menyadari gama-agama memiliki sesuatu yang sama.
Model mutualitas ini sangatlah menghindari pendapat bahwa semua agama scara
esensial sama atau hanya berbicara tentang masalah yang sama. Tetapi harus ada
sesuatu yang sama antara agama-agama sehingga memungkinkan adanya dialog.
IV.
Daftar
Pustaka
W.J.S. Poerwadaminta, Kamus Umum
Bahasa Indonseia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1979), 653
Paul F. Knifter, Pengantar
Teologi Agama-agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), 130
W.J.S. Poerwadaminta, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), 655
Joas Adiprasetya, Mencari Dasar
Bersama, (Jakarta: BPK-GM, 2012), 80
http://www.gkpi.or.id/news/read/15/dialog_antar_umat_beragama/
diakses pada tanggal 27 september 2016
Darwin Lumbantobing, “Mengkaji Ulang Pendekatan Raimando
Panikkar dan John Hick tentang Kehadiran Gereja di Tengah Kepelagaian Agama”
dalam Merawat Kemajemukan Melestarikan
Kerukunan Buku Ucapan Syukur 65 Tahun
Pdt. Jamilin Sirait, Victor Tinambnan,dkk (ed), (Pematangsiantar: L-SIRANA,
2015), 133-134
Mega Hidayati, Jurang di Antara
Kita, (Yogyakarta: Kanisius, 2008),118-119
[1] W.J.S. Poerwadaminta, Kamus Umum
Bahasa Indonseia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1979), 653
[2]Paul F. Knifter, Pengantar
Teologi Agama-agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), 130
[3]W.J.S. Poerwadaminta, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), 655
[4]Joas Adiprasetya, Mencari Dasar
Bersama, (Jakarta: BPK-GM, 2012), 80
[5]http://www.gkpi.or.id/news/read/15/dialog_antar_umat_beragama/diakses
pada tanggal 27 september 2016
[6]Darwin Lumbantobing, “Mengkaji
Ulang Pendekatan Raimando Panikkar dan John Hick tentang Kehadiran Gereja di
Tengah Kepelagaian Agama” dalam Merawat
Kemajemukan Melestarikan Kerukunan Buku Ucapan Syukur 65 Tahun Pdt. Jamilin Sirait, Victor
Tinambnan,dkk (ed), (Pematangsiantar: L-SIRANA, 2015), 133-134
[7]Menurut postmodernist, Jean-Francois
Lyotard. Kebenaran yang sebenarnya adalah hanyalah berupa ‘mutual understanding’. Artnya, kebenaran itu hanya sesuatu hal
yang dapat diterima oleh banyak orang sebagai kebenaran. Jadi tidak ada sesuatu
kebenaran yang dapat diterima oleh semua pihak. Lih,Darwin Lumbantobing, “Mengkaji Ulang Pendekatan Raimando
Panikkar dan John Hick tentang Kehadiran Gereja di Tengah Kepelagaian Agama”
dalam Merawat Kemajemukan Melestarikan
Kerukunan Buku Ucapan Syukur 65 Tahun
Pdt. Jamilin Sirait, Victor Tinambnan,dkk (ed),133
[8]Paul F. Knifter, Pengantar
Teologi Agama-agama,131
[9]Mega Hidayati, Jurang di Antara
Kita, (Yogyakarta: Kanisius, 2008),118-119
[10]Paul F. Knifter, Pengantar
Teologi Agama-agama, 179
[11]Ibid,130
[12]Ibid, 130
[13]Ibid, 130-131
[14]Darwin Lumbantobing, “Mengkaji
Ulang Pendekatan Raimando Panikkar dan John Hick tentang Kehadiran Gereja di
Tengah Kepelagaian Agama” dalam Merawat
Kemajemukan Melestarikan Kerukunan Buku Ucapan Syukur 65 Tahun Pdt. Jamilin Sirait, Victor
Tinambnan,dkk (ed),135-136
No comments:
Post a Comment