Arti
Dan Makna
Perkawinan
Kudus Dalam Perjanjian Lama
Jangan di Copy bulat-bulat yah?
wkwkwkwkwkw
Jangan di Copy bulat-bulat yah?
wkwkwkwkwkw
I.
Pendahuluan
Perkawinan adalah hal yang sudah ditetapkan oleh Allah
dari sejak awal penciptaan. Allah menetapkan suatu hubungan perkawinan tentunya
memiliki makna dan tujuan khusus yang tentunya sesuai dengan kehendak Allah.
Allah menginginkan agar manusia ketika sudah memasuki tahap pernikahan, tidak
lagi terjadi perceraian karena menurut Allah perkawinan itu hal yang sangat
kudus dan sakral. Untuk itulah saya sebagai penyaji mencoba membahas sajian
kali ini dengan judul Arti dan makna perkawinan kudus dalam Perjanjian lama.
Semoga pembahasan ini dapat menambah wawasan kita bersama.
II.
Pembahasan
2.1.
Pengertian
Kekudusan
Emile
Durkheim berpendapat bahwa hal-hal yang kudus adalah hal-hal yang dilindungi
dan disendirikan oleh larangan-larangan, hal-hal yang dikenai larangan-larangan
itu dan harus jauh dari yang pertama.[1]
Yang “Kudus” dapat juga dikatakan sebagai sesuatu yang sakral. Manusia menjadi
sadar akan keberadaan yang sakral karena memanifestasikan atau menunjukkan
dirinya sebagai sesuatu yang berbeda.[2]
Dalam pengertian yang lebih luas, yang kudus adalah sesuatu yag terlindungi
dari pelanggaran, pengacauan dan pencemaraan. Yang kudus adalah sesuatu yang
dihormati, dimuliakan dan tidak dapat dinodai. Dalam hal ini pengertian tentang
yang kudus tidak hanya terbatas pada agama, maka banyak objek, baik yang
bersifat keagamaan maupun bukan, tindakan-tindakan maupun tempat dapat dianggap
sebagai kudus.[3] Jadi
secara umum kekudusan adalah kehidupan yang jauh dari pelanggaran-pelanggaran,
kekacauan dan pencemaran dari noda-noda kekotoran. Dalam bahasa Ibrani kata
Kudus disebut dengan kata קׇנּשׁ. Qados menyangkut tentang pribadi yang
kudus, pikiran, tempat atau waktu yang diabdikan kepada Tuhan.[4]
2.2.
Pengertian
Perkawinan
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa kata pernikahan berasal dari kata
“nikah” yang artinya perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami
isteri dengan resmi. Didalam acara pernikahan ini harus ada wakil dari kedua
belah pihak dan ada saksi-saksinya.[5]
Menurut Martiman, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga).[6]
Sementara di dalam KBBI perkawinan
diartikan sebagai ikatan suami isteri untuk menjadi pasangan suami isteri.[7]
Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa perkawinan adalah penyatuan dua
pribadi dalam satu ikatan batin yaitu ikatan suami isteri, hubungan yang
menyebabkan laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai hak dan kewajiban dalam
suatu keluarga. Dan yang sudah dipersatukan Tuhan tidak dapat diceraikan oleh
manusia karena Tuhan tidak menyetujui adanya perceraian.
2.3.
Pengertian
Perkawinan Kudus Menurut Perjanjian Lama
Perkawinan
kudus ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri degan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan adalah tahap
kehidupan yang dalamnya laki-laki dan perempuan boleh hidup bersama-sama dan
menikmati seksual secara sah. Berita penciptaan Hawa (Kej 2;18-24) menunjukkan
hubungan yang unik antara suami dan isteri juga menyajikan hubungan antara
Allah dengan umat-Nya (Yer 3; Yeh 16; Hos 1-3).[8]
Di dalam PL perkawinan lebih mengarah kepada hubungan dua orang yang disebut
pengantin. Dalam PL dikatakan bahwa perkawinan merupakan bagian dari maksud
Allah menciptakan manusia. Perkawinan merupakan peraturan yang merupakan
ditetapkan oleh Allah sebagai tata tertib suci untuk mengatur hubungan
laki-laki dan perempuan.[9]
Perkawinan merupakan suatu perjanjian kudus yang diberkati oleh Allah dan
merupakan persatuan yang terhormat antara pria dan wanita untuk tujuan
persekutuan dan membangun kehidupan berkeluarga (Kej 2:24; Yeh 16:8; Hos 2:19).[10]
Dalam
konsep PL, ditinjau dari Kej 2:24 kata yang lebih tepat dengan perkawinan
adalah kata Yada yang berarti
bersatu. Laki-laki meninggalkan ayah dan ibunya, bersatu dengan isterinya
menjadi satu daging. Allah menciptakan laki-laki dan perempuan serta
memberkatinya sehingga pernikahan mereka suci. Satu daging berarti ada hubungan
seksual, dengan kata lain hubungan seksual menghasilkan kesatuan (manusia secara lahiriah) yang baru, suatu
etnis baru dan membongkar yang lama.[11]
Dalam PL ada bentuk pernikahan yang dilarang yaitu dilarang mengambil isteri
kedua selama iateri pertama masih hidup, maupun larangan menikah lagi sesudah
kematian isteri kecuali menikah dengan adik istri almarhumah sebab Imamat 18:18
berkata bahwa adik si isteri masih hidup berarti bahwa sang adik itu boleh
dinikahi sesudah isterinya meninggal.[12]
2.4.
Hakekat
Perkawinan Kudus
Hakekat
Perkawinan bisa terbagi menjadi beberapa yaitu:
- Perkawinan Kristen adalah inisiatif Allah (dari Allah)
Pada
awal penciptaan manusia, Allah sudah mempunyai rencana agar Laki-laki/Peremupan
dapat bersatu untuk saling melengkapi dan beranak cucu memenuhi bumi (Kej 2:18;
1:28).
- Perkawinan Kristen adalah Kudus (sejati)
Perkawinan
Kristen adalah sesuatu yang kudus dimata Allah itulah sebabnya Allah menganggap
dosa bagi mereka yang mencerminkan ikatan pernikahan dengan melakukan
perzinahan (Im 18, 19, 20), penulis Ibrani juga kembali menegaskan bahwa
perkawinan itu adalah sesuatu yang kudus dan tidak boleh dicemarkan. Didalam
kitab Maleakhi dijelaskan bahwa maksud Allah dengan menjadikan manusia adalah
untuk menghasilkan keturunan yang ilahi (Mal 2:15; Ibr 13:14).
- Perkawinan Kristen bersifat Monogami
Dari
awal Allah sudah menetapkan bahwa perkawinan Kristen adalah perkawinan yang
monogami, yaitu seorang suami hanya mempunyai seorang isteri dan sebaliknya.
Perkawinan Kristen tidak mengenal poligami, dimana Paulus juga menekankan bahwa
setiap laki-laki harus mempunyai isterinya sendiri. Demikian juga isteri
mempunyai suaminya sendiri. (Kej 2:24; Mat 19:4-6; 1 Kor 7:10-11, 39).
- Perkawinan Kristen tidak dapat diceraikan (bersifat seumur hidup)
Perkawinan
Kristen adalah suatu ikatan yang kudus dimata Allah yang tidak boleh diceraikan
manusia (Mark 19:9; Mal 2:16; 1 Kor 7:10-11,39).[13]
2.5.
Makna
Perkawinan Kudus
Ada
beberapa makna perkawinan dalam PL adalah sebagai berikut:
- Perjanjian
Perkawinan
disebut suatu perjanjian atau dalam bahasa inggris convenant. Dalam bahasa Ibrani disebut berith yang artinya perjanjian. Perjanjian yang dimkasud adalah
perjanjian dasar perkawinan.[14]
Pertama sekali kata perjanjian digunakan dalam Alkitab adalah dalam Kejadian
6:18 yaitu perjanjian Allah dengan Nuh.[15]
Perjanjian Lama menjelaskan, Allah yang membuat perjanjian dengan Abraham (Kej
17:3-8) dan Musa (Kel 19:3-6), Allah menegaskan perjanjia-Nya dengan Daud dan
nabi-nabi sering mengingatkan perjanjian mereka dengan Allah (Yer 31; Yeh 37; Hos 2). Perkawinan juga dipandang sebagai
perjanjian antara laki-laki dan perempuan. Karena Allah sering menggambarkan
hubungan-Nya dengan Israel sebagai hubungan perkawinan perjanjian (Yeh 16:60).
Dasar perkawinan disebut perjanjian karena ada pengakuan antara dua orang yang
berjanji dan membuat syarat sanksi.[16]
- Kesetiaan
Kasih
setia merupakan padanan kata Ibrani khesed
(kesetiaan) atau kasih setia. Dalam hubungan ini yang menjadi penekanan adalah
kasih suami kepada istri dan usaha serta kesediaan suami untuk mengasihi
istrinya, meskipun istrinya melacurkan diri. Demikianlah hubunngan antara Allah
dan bangsa Israel beberapa kali beribadah kepada dewa Kanaan, namun Israel
tidak pernah diceraikan oleh Allah (Yes 50:1). Sifat kesetiaan adalah inti
perkawinan perjanjian yang lebih mendalam, artinya adalah kasih yang tidak
berkesudahaan, kemurahaan hati dan kebaikan yang erat hubunganya dengan dua
pengertian perjanjian dan kesetiaan.[17]
Perjanjian dan kesetiaan dirangkum dalam kasih yang mantap, teguh atas dasar
perjanjian yang telah dibuat. Dalam perkawinan, perjanjian masing-masing pihak
memiliki kerelaan mengampuni tetapi pengampunan tidak bisa dialami kecuali
dengan mau bertanggung jawab atas tindakan serta mengakui kesalahan dan
kegagalan. Perkawinan ditandai dengan koimitmen untuk menjalani hidup yang
bertanggung jawab dan mengampuni pasanganya bila pasanganya gagal.[18]
- Kudus
Perkawinan
adalah kudus, suci karena Allah juga suci maka umat-Nya juga harus suci.
Kuduslah kamu sebab Aku Tuhan Allahmu adalah kudus (Imamat 19:2). Jadi
perkawinan harus kudus dan suci tidak dapat dikotori oleh ketidaksetiaan. Kekudusan
dalam perkawinan berkaitan erat dengan perkawinan monogami, dan perkawinan
monogamilah yang diharapkan oleh Tuhan dalam perkawinan umat-Nya.
2.6.
Tujuan
Perkawinan Kudus
Tujuan
perkawinan kudus adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk
itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadianya membantu dan mencapai kesejahteraan spritual dan
materil.[19] Di
dalam perkawinan motivasi ekonomi lebih penting daripada alasan romantik.
Tujuan utama dari perkawinan adalah untuk mempunyai dan membesarkan anak. Di
Israel kuno, perkawinan bersifat patriakhkal, dengan otoritas berada di tangan
ayah dan status sosial yang berbeda diberikan bagi laki-laki dan perempuan. Istri
memanggil atau menyapa suaminya sebagai sang majikan atau tuan. Dengan
menyerahkan anak gadisnya untuk dinikahi, si ayah menerima mahar pengantin
berupa sejumlah uang atau barang lain yang harganya sama yang harus dibayar
oleh si calon suami kepada ayah pengantin perempuan (Kej 34:12; Kel 22:15-17; 1
Sam 18:25). Mahar itu dianggap sebagai ganti rugi bagi hilangnya anak
perempuan. Praktik si ayah pengantin perempuan memberikan hadiah atau mas kawin
(uang atau barang) sebagaimana pernah dilakukan Firaun Mesir memberikan Gezer,
wilayah pantai tengah, kepada anak perempuannya ketika ia menikah dengan Salomo
(1 Raj 9:16).[20]
III.
Refleksi
Teologis
Pernikahan adalah sesuatu hal yang ditetapkan Allah
dari sejak awal ketika Allah menciptakan dunia ini beserta isinya, dan juga manusia.
Sejak saat itu Allah telah menetapkan pernikahan kepada manusia itu. Allah
menyatakan bahwa tidak baik kalau manusia itu hanya seorang diri saja, sehingga
Dia menetapkan pasangan bagi manusia pertama itu. Allah menetapkan perkawinan
itu dan menjadikannya menjadi penolong yang sepadan dengannya. Allah memberikan
tanggung jawab yang besar kepada manusia itu dan menjadikan mereka sebagai
mandataris daripada Allah. Allah menetapkan suatu pernikahan dengan pernikahan
yang kudus, di dalamnya terjadi suatu ikatan perjanjian antara Allah dan
manusia. Allah menetapkan pernikahan itu dan tidak mengjinkan terjadinya
perceraian, karena pernikahan hanya sekali seumur hiidup. Dan apa yang telah
dipersatukan oleh Allah tidak dapat diceraikan oleh manusia. Sebagaimana
tertulis dalam Matius 19: 6 menyatakan bahwa “demikianlah mereka bukan lagi dua
melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh
diceraikan manusia”.
IV.
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga). Dalam PL dikatakan
bahwa perkawinan merupakan
suatu
perjanjian kudus yang diberkati oleh Allah dan merupakan persatuan yang terhormat
antara pria dan wanita untuk tujuan persekutuan dan membangun kehidupan
berkeluarga. Dalam Perjanjian Lama, hakikat perkawinan itu
adalah kudus, perkawinan yang monogami, dan juga perkawinan yang terjadi atas
inisiatif Allah.
V.
Daftar
Pustaka
......, Kamus Besar Bahasa Indonesia¸ Jakarta:
PT. Gramedia, 1976
Brewer David Instone, Divorce And Murriage, Michigan:
Cambarago, 1989
Chappman Gary, Buillding Comunication & Intimacy Convenant Marriage, Nasville:
Broadman & Holman, 2003
Dhavamony Mariasusai, Fenomenologi Agama, Yogyakarta:
Kanisius, 1995
Durkheim Emile, The Elementary Forms of Religios Life,
New york: Free Press, 1992
Hill Andrew E. &
Walton Jhon H., Survei Perjanjian Lama,
Malang: Gandum Mas, 2004
King Philip J. & Lawrence Stager E.,
Kehidupan Orang Israel Alkitabiah,
Jakarta: BPK-GM, 2010
Pals Daniel L., Seven Theories of Religion, Yogyakarta:
Qalam, 2001
Prodjojo Martiman, Undang-Undang Perkawinan Dan Pelaksanaannya, Jakarta: Rineka Cipta,
1974
Unarto Erich, Hidup Dalam Etika Kristen, Jakarta:
Pustaka Sorgawi, 2007
Verkuly J., Etika Bagian Seksuil, Jakarta: BPK-GM,
1998
Saudar Sono, Hukum
Perkawinan Warisan, Yogyakarta: Widyatama, 2004
W. J. S. Poerwadimanta,
Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1990
Willem A. Van Gameran, New International Dictionary Of The Old
Testament Theology & Eksegetis Vol 3, America: Paternoster Press, 2002
[1] Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religios Life,
(New york: Free Press, 1992), 37
[2] Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, (Yogyakarta:
Qalam, 2001), 275
[3] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta:
Kanisius, 1995), 87
[4] Willem A. Van Gameran, New International Dictionary Of The Old
Testament Theology & Eksegetis Vol 3, (America: Paternoster Press,
2002), 877
[5] W. J. S. Poerwadimanta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1990), 676
[6] Martiman Prodjojo, Undang-Undang Perkawinan Dan Pelaksanaannya,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1974), 23
[7] ......, Kamus Besar Bahasa Indonesia¸ (Jakarta: PT. Gramedia, 1976), 453
[8] J. S. W., Dalam Buku Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z,
157
[9] J. Verkuly, Etika Bagian Seksuil, (Jakarta: BPK-GM, 1998), 54
[10] Andrew E. Hill & Jhon H.
Walton, Survei Perjanjian Lama,
(Malang: Gandum Mas, 2004), 707
[11] David Instone Brewer, Divorce And Murriage, (Michigan:
Cambarago, 1989), 2
[12] J. S. W., Dalam Buku Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z,
156-157
[13] Erich Unarto, Hidup Dalam Etika Kristen, (Jakarta:
Pustaka Sorgawi, 2007), 36-37
[14] David Instone Brewer, Divorce And Murriage, 2
[15] Gary Chappman, Buillding Comunication & Intimacy
Convenant Marriage, (Nasville: Broadman & Holman, 2003), 6
[16] David Instone Brewer, Divorce And Murriage, 5
[17] J. S. W., Dalam Buku Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z,
156-157
[18] Gary Chappman, Buillding Comunication & Intimacy
Convenant Marriage, 16
[19] Saudar Sono, Hukum
Perkawinan Warisan, (Yogyakarta: Widyatama, 2004), 8
[20] Philip J. King & Lawrence E.
Stager, Kehidupan Orang Israel
Alkitabiah, (Jakarta: BPK-GM, 2010), 60-62
No comments:
Post a Comment