Monday, March 6, 2017

Arti Dan Makna Perkawinan Kudus Dalam Perjanjian Lama



Arti Dan Makna
Perkawinan Kudus Dalam Perjanjian Lama
Jangan di Copy bulat-bulat yah?
wkwkwkwkwkw

I.                   Pendahuluan
Perkawinan adalah hal yang sudah ditetapkan oleh Allah dari sejak awal penciptaan. Allah menetapkan suatu hubungan perkawinan tentunya memiliki makna dan tujuan khusus yang tentunya sesuai dengan kehendak Allah. Allah menginginkan agar manusia ketika sudah memasuki tahap pernikahan, tidak lagi terjadi perceraian karena menurut Allah perkawinan itu hal yang sangat kudus dan sakral. Untuk itulah saya sebagai penyaji mencoba membahas sajian kali ini dengan judul Arti dan makna perkawinan kudus dalam Perjanjian lama. Semoga pembahasan ini dapat menambah wawasan kita bersama.
II.                Pembahasan
2.1.            Pengertian Kekudusan
Emile Durkheim berpendapat bahwa hal-hal yang kudus adalah hal-hal yang dilindungi dan disendirikan oleh larangan-larangan, hal-hal yang dikenai larangan-larangan itu dan harus jauh dari yang pertama.[1] Yang “Kudus” dapat juga dikatakan sebagai sesuatu yang sakral. Manusia menjadi sadar akan keberadaan yang sakral karena memanifestasikan atau menunjukkan dirinya sebagai sesuatu yang berbeda.[2] Dalam pengertian yang lebih luas, yang kudus adalah sesuatu yag terlindungi dari pelanggaran, pengacauan dan pencemaraan. Yang kudus adalah sesuatu yang dihormati, dimuliakan dan tidak dapat dinodai. Dalam hal ini pengertian tentang yang kudus tidak hanya terbatas pada agama, maka banyak objek, baik yang bersifat keagamaan maupun bukan, tindakan-tindakan maupun tempat dapat dianggap sebagai kudus.[3] Jadi secara umum kekudusan adalah kehidupan yang jauh dari pelanggaran-pelanggaran, kekacauan dan pencemaran dari noda-noda kekotoran. Dalam bahasa Ibrani kata Kudus disebut dengan kata קׇנּשׁ. Qados menyangkut tentang pribadi yang kudus, pikiran, tempat atau waktu yang diabdikan kepada Tuhan.[4]

2.2.            Pengertian Perkawinan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa kata pernikahan berasal dari kata “nikah” yang artinya perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami isteri dengan resmi. Didalam acara pernikahan ini harus ada wakil dari kedua belah pihak dan ada saksi-saksinya.[5] Menurut Martiman, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga).[6]  Sementara di dalam KBBI perkawinan diartikan sebagai ikatan suami isteri untuk menjadi pasangan suami isteri.[7] Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa perkawinan adalah penyatuan dua pribadi dalam satu ikatan batin yaitu ikatan suami isteri, hubungan yang menyebabkan laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai hak dan kewajiban dalam suatu keluarga. Dan yang sudah dipersatukan Tuhan tidak dapat diceraikan oleh manusia karena Tuhan tidak menyetujui adanya perceraian.
2.3.            Pengertian Perkawinan Kudus Menurut Perjanjian Lama
Perkawinan kudus ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri degan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan adalah tahap kehidupan yang dalamnya laki-laki dan perempuan boleh hidup bersama-sama dan menikmati seksual secara sah. Berita penciptaan Hawa (Kej 2;18-24) menunjukkan hubungan yang unik antara suami dan isteri juga menyajikan hubungan antara Allah dengan umat-Nya (Yer 3; Yeh 16; Hos 1-3).[8] Di dalam PL perkawinan lebih mengarah kepada hubungan dua orang yang disebut pengantin. Dalam PL dikatakan bahwa perkawinan merupakan bagian dari maksud Allah menciptakan manusia. Perkawinan merupakan peraturan yang merupakan ditetapkan oleh Allah sebagai tata tertib suci untuk mengatur hubungan laki-laki dan perempuan.[9] Perkawinan merupakan suatu perjanjian kudus yang diberkati oleh Allah dan merupakan persatuan yang terhormat antara pria dan wanita untuk tujuan persekutuan dan membangun kehidupan berkeluarga (Kej 2:24; Yeh 16:8; Hos 2:19).[10]
Dalam konsep PL, ditinjau dari Kej 2:24 kata yang lebih tepat dengan perkawinan adalah kata Yada yang berarti bersatu. Laki-laki meninggalkan ayah dan ibunya, bersatu dengan isterinya menjadi satu daging. Allah menciptakan laki-laki dan perempuan serta memberkatinya sehingga pernikahan mereka suci. Satu daging berarti ada hubungan seksual, dengan kata lain hubungan seksual menghasilkan kesatuan  (manusia secara lahiriah) yang baru, suatu etnis baru dan membongkar yang lama.[11] Dalam PL ada bentuk pernikahan yang dilarang yaitu dilarang mengambil isteri kedua selama iateri pertama masih hidup, maupun larangan menikah lagi sesudah kematian isteri kecuali menikah dengan adik istri almarhumah sebab Imamat 18:18 berkata bahwa adik si isteri masih hidup berarti bahwa sang adik itu boleh dinikahi sesudah isterinya meninggal.[12]
2.4.            Hakekat Perkawinan Kudus
Hakekat Perkawinan bisa terbagi menjadi beberapa yaitu:
  1. Perkawinan Kristen adalah inisiatif Allah (dari Allah)
Pada awal penciptaan manusia, Allah sudah mempunyai rencana agar Laki-laki/Peremupan dapat bersatu untuk saling melengkapi dan beranak cucu memenuhi bumi (Kej 2:18; 1:28).
  1. Perkawinan Kristen adalah Kudus (sejati)
Perkawinan Kristen adalah sesuatu yang kudus dimata Allah itulah sebabnya Allah menganggap dosa bagi mereka yang mencerminkan ikatan pernikahan dengan melakukan perzinahan (Im 18, 19, 20), penulis Ibrani juga kembali menegaskan bahwa perkawinan itu adalah sesuatu yang kudus dan tidak boleh dicemarkan. Didalam kitab Maleakhi dijelaskan bahwa maksud Allah dengan menjadikan manusia adalah untuk menghasilkan keturunan yang ilahi (Mal 2:15; Ibr 13:14).

  1. Perkawinan Kristen bersifat Monogami
Dari awal Allah sudah menetapkan bahwa perkawinan Kristen adalah perkawinan yang monogami, yaitu seorang suami hanya mempunyai seorang isteri dan sebaliknya. Perkawinan Kristen tidak mengenal poligami, dimana Paulus juga menekankan bahwa setiap laki-laki harus mempunyai isterinya sendiri. Demikian juga isteri mempunyai suaminya sendiri. (Kej 2:24; Mat 19:4-6; 1 Kor 7:10-11, 39).
  1. Perkawinan Kristen tidak dapat diceraikan (bersifat seumur hidup)
Perkawinan Kristen adalah suatu ikatan yang kudus dimata Allah yang tidak boleh diceraikan manusia (Mark 19:9; Mal 2:16; 1 Kor 7:10-11,39).[13]
2.5.            Makna Perkawinan Kudus
Ada beberapa makna perkawinan dalam PL adalah sebagai berikut:
  1. Perjanjian
Perkawinan disebut suatu perjanjian atau dalam bahasa inggris convenant. Dalam bahasa Ibrani disebut berith yang artinya perjanjian. Perjanjian yang dimkasud adalah perjanjian dasar perkawinan.[14] Pertama sekali kata perjanjian digunakan dalam Alkitab adalah dalam Kejadian 6:18 yaitu perjanjian Allah dengan Nuh.[15] Perjanjian Lama menjelaskan, Allah yang membuat perjanjian dengan Abraham (Kej 17:3-8) dan Musa (Kel 19:3-6), Allah menegaskan perjanjia-Nya dengan Daud dan nabi-nabi sering mengingatkan perjanjian mereka dengan Allah  (Yer 31; Yeh 37; Hos 2). Perkawinan juga dipandang sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan. Karena Allah sering menggambarkan hubungan-Nya dengan Israel sebagai hubungan perkawinan perjanjian (Yeh 16:60). Dasar perkawinan disebut perjanjian karena ada pengakuan antara dua orang yang berjanji dan membuat syarat sanksi.[16]
  1. Kesetiaan
Kasih setia merupakan padanan kata Ibrani khesed (kesetiaan) atau kasih setia. Dalam hubungan ini yang menjadi penekanan adalah kasih suami kepada istri dan usaha serta kesediaan suami untuk mengasihi istrinya, meskipun istrinya melacurkan diri. Demikianlah hubunngan antara Allah dan bangsa Israel beberapa kali beribadah kepada dewa Kanaan, namun Israel tidak pernah diceraikan oleh Allah (Yes 50:1). Sifat kesetiaan adalah inti perkawinan perjanjian yang lebih mendalam, artinya adalah kasih yang tidak berkesudahaan, kemurahaan hati dan kebaikan yang erat hubunganya dengan dua pengertian perjanjian dan kesetiaan.[17] Perjanjian dan kesetiaan dirangkum dalam kasih yang mantap, teguh atas dasar perjanjian yang telah dibuat. Dalam perkawinan, perjanjian masing-masing pihak memiliki kerelaan mengampuni tetapi pengampunan tidak bisa dialami kecuali dengan mau bertanggung jawab atas tindakan serta mengakui kesalahan dan kegagalan. Perkawinan ditandai dengan koimitmen untuk menjalani hidup yang bertanggung jawab dan mengampuni pasanganya bila pasanganya gagal.[18]   
  1. Kudus
Perkawinan adalah kudus, suci karena Allah juga suci maka umat-Nya juga harus suci. Kuduslah kamu sebab Aku Tuhan Allahmu adalah kudus (Imamat 19:2). Jadi perkawinan harus kudus dan suci tidak dapat dikotori oleh ketidaksetiaan. Kekudusan dalam perkawinan berkaitan erat dengan perkawinan monogami, dan perkawinan monogamilah yang diharapkan oleh Tuhan dalam perkawinan umat-Nya.
2.6.            Tujuan Perkawinan Kudus
Tujuan perkawinan kudus adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadianya membantu dan mencapai kesejahteraan spritual dan materil.[19] Di dalam perkawinan motivasi ekonomi lebih penting daripada alasan romantik. Tujuan utama dari perkawinan adalah untuk mempunyai dan membesarkan anak. Di Israel kuno, perkawinan bersifat patriakhkal, dengan otoritas berada di tangan ayah dan status sosial yang berbeda diberikan bagi laki-laki dan perempuan. Istri memanggil atau menyapa suaminya sebagai sang majikan atau tuan. Dengan menyerahkan anak gadisnya untuk dinikahi, si ayah menerima mahar pengantin berupa sejumlah uang atau barang lain yang harganya sama yang harus dibayar oleh si calon suami kepada ayah pengantin perempuan (Kej 34:12; Kel 22:15-17; 1 Sam 18:25). Mahar itu dianggap sebagai ganti rugi bagi hilangnya anak perempuan. Praktik si ayah pengantin perempuan memberikan hadiah atau mas kawin (uang atau barang) sebagaimana pernah dilakukan Firaun Mesir memberikan Gezer, wilayah pantai tengah, kepada anak perempuannya ketika ia menikah dengan Salomo (1 Raj 9:16).[20]
III.             Refleksi Teologis
Pernikahan adalah sesuatu hal yang ditetapkan Allah dari sejak awal ketika Allah menciptakan dunia ini beserta isinya, dan juga manusia. Sejak saat itu Allah telah menetapkan pernikahan kepada manusia itu. Allah menyatakan bahwa tidak baik kalau manusia itu hanya seorang diri saja, sehingga Dia menetapkan pasangan bagi manusia pertama itu. Allah menetapkan perkawinan itu dan menjadikannya menjadi penolong yang sepadan dengannya. Allah memberikan tanggung jawab yang besar kepada manusia itu dan menjadikan mereka sebagai mandataris daripada Allah. Allah menetapkan suatu pernikahan dengan pernikahan yang kudus, di dalamnya terjadi suatu ikatan perjanjian antara Allah dan manusia. Allah menetapkan pernikahan itu dan tidak mengjinkan terjadinya perceraian, karena pernikahan hanya sekali seumur hiidup. Dan apa yang telah dipersatukan oleh Allah tidak dapat diceraikan oleh manusia. Sebagaimana tertulis dalam Matius 19: 6 menyatakan bahwa “demikianlah mereka bukan lagi dua melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia”.


IV.             Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga). Dalam PL dikatakan bahwa perkawinan merupakan suatu perjanjian kudus yang diberkati oleh Allah dan merupakan persatuan yang terhormat antara pria dan wanita untuk tujuan persekutuan dan membangun kehidupan berkeluarga.  Dalam Perjanjian Lama, hakikat perkawinan itu adalah kudus, perkawinan yang monogami, dan juga perkawinan yang terjadi atas inisiatif Allah.
V.                Daftar Pustaka
......, Kamus Besar Bahasa Indonesia¸ Jakarta: PT. Gramedia, 1976
Brewer David Instone, Divorce And Murriage, Michigan: Cambarago, 1989
Chappman Gary, Buillding Comunication & Intimacy Convenant Marriage, Nasville: Broadman & Holman, 2003
Dhavamony Mariasusai, Fenomenologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1995
Durkheim Emile, The Elementary Forms of Religios Life, New york: Free Press, 1992
Hill Andrew E. & Walton Jhon H., Survei Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas, 2004
King Philip J. & Lawrence Stager E., Kehidupan Orang Israel Alkitabiah, Jakarta: BPK-GM, 2010
Pals Daniel L., Seven Theories of Religion, Yogyakarta: Qalam, 2001
Prodjojo Martiman, Undang-Undang Perkawinan Dan Pelaksanaannya, Jakarta: Rineka Cipta, 1974
Unarto Erich, Hidup Dalam Etika Kristen, Jakarta: Pustaka Sorgawi, 2007
Verkuly J., Etika Bagian Seksuil, Jakarta: BPK-GM, 1998
Saudar Sono,  Hukum Perkawinan Warisan, Yogyakarta: Widyatama, 2004
W. J. S. Poerwadimanta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990
Willem A. Van Gameran, New International Dictionary Of The Old Testament Theology & Eksegetis Vol 3, America: Paternoster Press, 2002


[1] Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religios Life, (New york: Free Press, 1992), 37
[2] Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, (Yogyakarta: Qalam, 2001), 275
[3] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 87
[4] Willem A. Van Gameran, New International Dictionary Of The Old Testament Theology & Eksegetis Vol 3, (America: Paternoster Press, 2002), 877
[5] W. J. S. Poerwadimanta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), 676
[6] Martiman Prodjojo, Undang-Undang Perkawinan Dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Rineka Cipta, 1974), 23
[7] ......, Kamus Besar Bahasa Indonesia¸ (Jakarta: PT. Gramedia, 1976), 453
[8] J. S. W., Dalam Buku Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z, 157
[9] J. Verkuly, Etika Bagian Seksuil, (Jakarta: BPK-GM, 1998), 54
[10] Andrew E. Hill & Jhon H. Walton, Survei Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 2004), 707
[11] David Instone Brewer, Divorce And Murriage, (Michigan: Cambarago, 1989), 2
[12] J. S. W., Dalam Buku Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z, 156-157
[13] Erich Unarto, Hidup Dalam Etika Kristen, (Jakarta: Pustaka Sorgawi, 2007), 36-37
[14] David Instone Brewer, Divorce And Murriage, 2
[15] Gary Chappman, Buillding Comunication & Intimacy Convenant Marriage, (Nasville: Broadman & Holman, 2003), 6
[16] David Instone Brewer, Divorce And Murriage, 5
[17] J. S. W., Dalam Buku Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z, 156-157
[18] Gary Chappman, Buillding Comunication & Intimacy Convenant Marriage, 16
[19] Saudar Sono,  Hukum Perkawinan Warisan, (Yogyakarta: Widyatama, 2004), 8
[20] Philip J. King & Lawrence E. Stager, Kehidupan Orang Israel Alkitabiah, (Jakarta: BPK-GM, 2010), 60-62

No comments:

Post a Comment

Khotbah semptember 2020

 Minggu, 6 September 2020, 13-Set Trinitatis Tema : Manusia Tidak Untuk Diperjual-belikan Ev : Matius 27: 1-10 Pengantar Era globalisasi...