Thursday, March 23, 2017

Doktrin Trinitas Metode Ontologis (Kebenaran-kebenaran akaliah) Pengkhayatan doktrin Trinitas oleh teolog-teolog abad 20



Nama              : Johannes Nababan                                                
M . Kuliah      :Dogmatika 1
Doktrin Trinitas
Metode Ontologis (Kebenaran-kebenaran akaliah)
Pengkhayatan doktrin Trinitas oleh teolog-teolog abad 20  
(Trinitarianisme Mono Personal, Trinitarianisme Sosial, Trinitarianisme Posisi Tengah)
I.                   Pendahuluan
Dokrin Trinitas adalah suatu persoalan yang tiada akhirnya dari masa ke masa. Setiap tokoh dalam berbagai zaman selalu memiliki pandangan yang berbeda, sehingga menghasilkan bermacam rumusan mengenai Trinitas hingga sampai ke abad 20. Pada kesempatan kali ini, penyaji akan mencoba memaparkan penghayatan doktrin trinitas oleh teolog-teolog abad ke 20 yang di bedakan ke dalam tiga kelompok berdasarkan pemikiran mereka masing-masing, yaitu:  Trinitarianisme Mono Personal, Trinitarianisme Sosial, Trinitarianisme Posisi Tengah. Dalam sajian ini akan penyaji bahas apa pandangan masing-masing teolog terhadap ketigaan Allah sebagai tiga Pribadi namun satu hakikat. Semoga sajian ini bermanfaat bagi kita semua.
II.                Pembahasan
2.1. Pengertian Trinitas
Trinitas adalah doktrin Kristen mengenai ketritunggalan Allah, ajaran Trinitas ini bukanlah suatu kebenaran yang diperoleh melalui akal budi tetapi melalui penyataan atau wahyu.[1] Trinitas atau Tritunggal merupakan misteri Allah, bahwa Dia adalah satu, tapi Dia juga tiga yaitu, Bapa, Anak, dan Roh Kudus.[2] Istilah Trinitas atau Tritunggal adalah merupakan ungkapan Iman yang dibahasakan sesuai dengan analisa berpikir manusia pada waktu itu, dengan maksud untuk menjelaskan keberadaan Allah yang tidak kelihatan agar menjadi lebih konkrit di dalam berbagai perbuatanNya.[3]
2.2. Konteks Abad ke – 20
Karena perkembangan ilmu pengetahuan modern dan filsafat, maka timbullah pemikiran teologis yang bermacam-macam, yang semuanya dimaksudkan untuk menjawab tantangan zaman. Orang makin lama makin yakin bahwa dunia ini maju ke masa depan yang cerah. Pada awal abad ke-20, suasana idealistis yang optimis masi hidup dengan kuat. Sampai kepada semua harapan  itu runtuh setelah pecah Perang Dunia kedua. Yang mengakibatkan orang benar-benar kehilangan nilai-nilai yang semula dijunjung tinggi. Segala hal yang tidak mungkin, menjadi mungkin. Penemuan-penemuan berjalan terus. Namun, penemuan-penemuan ini membawa persoalan-persoalan tersendiri karena semakin berkembanganya zaman. Dan abad ini juga ditandai dengan kemajuan yang luar biasa yaitu secara Sekularasi (hal yang membawa kearah kecintaan Duniawi, sehingga norma-norma tidak perlu).[4]
Dengan demikian dapat kita lihat betapa rumitnya persoalan dunia masa kini. Hal ini juga tentunya mempengaruhi pemikiran teologis. Berteologi tidak mungkin hanya merenung di depan Alkitab saja, tetapi harus bercermin pada perbuatan-perbuatan orang-orang kristen. Teologi abad ini dimulai oelh Karl Barth dan teman-temannya yang semula bergabung dalam teologi yang biasanya disebut teologi dialektis.
2.3. Pengertian Trinitarianisme
Trinitarian adalah sebuatan bagi golongan yang percaya akan ajaran Trinitas, yang digunakan untuk menentang ajaran Unitarian.[5] Sedangkan Isme adalah aliran. Jadi dapat kita katakan bahwa, Trinitarianisme adalah suatu aliran atau golongan orang yang menganut ajaran tentang Allah yang memiliki tiga pribadi namun satu hakekat. Trinitarianisme terbagi dalam tiga kelompok, yaitu:

1.      Trinitarianisme Monopersonal
2.      Trinitarianisme Sosial
3.      Trinitarianisme Posisi tengah [6]

2.4. Trinitarianisme Mono Personal
Mono artinya satu, sedangkan untuk memahami kata “person” (persona), akan kita pahami sebagai pemikiran manusia yang individual dan rasional yang exis oleh dirinya sendiri. Manusia dan malaikat adalah oknum atau person. Tetapi ketika ini digunakan kepada Allah, maka akan diterapkan dengan pengertian yang unik; ketika kita mengatakan bahwa Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus adalah tiga oknum. Di satu sisi bukan berarti bahwa 3 oknum ini adalah tiga bentuk yang berbeda atau tiga oknum Allah yang berbeda dan menyatakan bahwa Mereka adalah tiga individu yang rasional, jadi Bapa bukan Anak dan Anak bukan Roh kudus. Tiga oknum ini hanyalah satu dan pokok ketuhanan yang sama dalam bilangan dan hanya menggunakan satu dan sama kekuatan.[7]
Personae tidak boleh disamakan dengan Oknum, Jumlah dan Individu. Person itu bersangkut paut dengan kehendak dan tabiatnya. Walaupun Ia menjadi 3, itu karena personnya I. Seolah-olah ada 3 kegendak tapi sebenarnya tidak, tapi satu pusat, satu wajah, satu keinginan, satu tujuan, maka Ia mengambil 3 cara berada yaitu mono personae.[8]
1.      Karl Barth (1886-1968)
Karl Barth lahir di Basel tahun 1886, dalam satu keluarga pendeta. Ayahnya,Johann Friedrich Barth, adalah seorang pendeta Reformed Church.[9] Pada waktu ia muda, ia belajar di perguruan teologi yang didominasi oleh tokoh-tokoh teolog liberal, yang menekankan pada sejarah dan mengusahakan supaya pendekatan terhadap Alkitab dilakukan secara historis kritis.[10]
Menurut Karl Barth, Allah Tritunggal tidak dapat terdiri dari tiga pribadi, tiga kepribadian atau tiga subjek. Allah hanya mempunyai satu “Aku”, nukan tiga, satu kehendak (bukan tiga), satu wajah, satu sabda, dan satu karya. Ia yakin bahwa maksud Gereja dengan kata persona berbeda sekali dengan arti modern dari “pribadi”. Kata “pribadi” dipakai Barth untuk mengacu kepada Allah Yang Esa, yang merupakan Zat berpikir, berkehandak dan bertindak, dan kekebasan-Nya tiada taranya. Allah itu satu Pribadi dalam tiga “cara Berada.[11]
Barth  juga mengatakan, “Allah sebagai pencipta, Allah sebagai pendamai dan Allah sebagaii penebus”. Dia (Barth)  juga memberikan penekanan terhadap Trinitas penyataan, namun Trinitas Imanen juga diakuinya. Ia lebih suka berbicara tentang tiga cara keberadaan Allah dan bukan tentang ketiga persona.[12] Dasar pemikiran Barth dalam hal ini adalah bahwa Allah adalah Allah. Ia berbeda sekali dengan manusia. Allah berada di sorga, manusia di bumi. Oleh karena itu, tema Alkitab pada dasarnya menunjukkan nisbah antara Allah dan manusia. Terdapat perbedaan secara kualitatif, sehingga keduanya tidak dapat diputarbalikkan. Di antara Allah dan manusia ada jarak yang tak terjembatani. Akan tetapi, jarak yang terbesar antara Allah dan manusia itu justru menunjukkan kesatuan di antara keduanya. Dimana manusia bersatu dengan Allah, jika ia mau mengakui bahwa ada jarak antara dia dengan Allah. Sehingga semua yang dikatakan Barth mengenai Allah, didasarkan atas penyataan atau wahyu Allah yang diberikan di dalam Kristus.[13]
Allah merupakan sumber pewahyuan yang personal (sebagai Bapa), allah menghadirkan diriNya kepada makhluk insani (sebagai Yesus Kristus) dan didalam hati kaum beriman Allah membuat mereka menerima kehadiranNya (sebagai Roh Kudus).[14]
2.      Karl Rahner (1904-1984)
Rahner lahir di Freiburg, Jerman pada tahun 1904. Pada tahun 1922 pada saat Rahner berusia 18 tahun, ia memutuskan untuk bergabung dengan Yesuit, Rahner memasuki Serikat Yesuit pada tahun 1922 dan ditahbiskan menjadi Imam pada tahun 1932.[15] Rahner adalah seorang Teolog besar Gereja Katolik pada abad ke 20. Ia menjadi mahaguru dalam bidang Teologi Dogmatic di Universitas Innbruck dan di Universitas Muchen san Munster.[16] Menurut Karl Rahner, Allah Tritunggal adalah misteri atau rahasia Allah. Rahasia Allah menjadi suatu karakter dari Allah sendiri, yang dipakai untuk mengkomunikasikan diri Allah kepada manusia. Dengan demikian kemisterian karakter Allah harus tetap diakui dan dipertahankan untuk mengetahui siifat dan keberadaan Allah yang sebenarnya.[17]
Karl Rahner berpendapat bahwa, ketiga “persona” tidak bisa dipandang sebagai tiga pribadi dalam arti modern. Di dalam Allah tidak ada lebih dari satu subjektivitas, satu pusat kegiatan rohani, satu kebebasan, dan satu kehendak: maka tiada “Engkau”, tiada pemberian diri timbal-balik. Namun, istilah “pribadi” juga ada referensinya dalam kenyataan ilahi: pada hakikatNya Allah yang satu itu terbuka kepada pribadi-pribadi non-ilahi.sebagai subjek yang mutlak, Allah Tritunggal memberikan diri kepada subjek yang terbatas, yaitu pribadi manusia. Cara bersubsistensi yang berpilah-pilah dan ketigaan itu pun bersangkut paut dengan komunikasi diri sengan sejarah keselamatan, yang betul-betul termasuk keberadaan Allah yang imanen. Tindakan Allah yang rangkap tiga itu bersesuaian dengan hakikat Allah yang triganda dan yang memungkinkan seluruh komunikasi diri Allah.[18]
Dalam kaitan ini juga dikatakan bahwa, doktrin Trinitas selalu bersifat rahasia, sebagai kenyataan yang ilahi. Kerahasiaan Allah ini adalah pemberian Allah sendiri, karena Allah selalu mempunyai sifat yang rahasia. Harus diakui bahwa kerahasiaan ini sulit diterima secara akal, namun harus dipahami juga bahwa makna kerahasiaan Allah inilah yang terdapat dalam penyataan diri Allah di dalam Yesus Kristus dan Roh Kudus.[19]
2.5. Trinitarianisme Sosial
Trinitarianisme sosial mengarah kepada pandangan bahwa, di dalam Allah terdapat persekutuan (Communio, Communicatio) dari Bapa, Putra, dan Roh Kudus sebagai tiga pribadi, yaitu sebagai tiga pusat cinta kasih, kehendak, pengetahuan, dan tindakan berencana yang terpilah-pilah sehingga ketiga Pribadi Ilahi  berhubungan satu sama lain dengan cara yang bersifat analog. Para penganut model ini menekankan bahwa, yang membuat seorang “person” menjadi “person” ialah relasi dengan pribadi lainnya, dan bahwa dalam hal ini pribadi-pribadi insani telah dibentuk menurut contoh Pribadi Allah Tritunggal sebab Trinitas merupakan perwujudan paling sempurna dari prinsip aku menjadi aku berkat Engkau. Den Bok menyebutkan dua tokoh terkenal yang lebih condong kepada model sosial, yakni Juergen Moltmann dan Wolfhart Pannenberg.[20]
Trinitarianisme sosial mengulang kembali penyataan Agustinus bahwa, selalu tujuannya Allah dalam mengungkapkan kasihNya kepada dunia atau menyatakan rencanaNya untuk keselamatan sosial. Maka Allah harus menyingkapkan dengan 3 Pribadi, namun ke-3 pribadi itu memiliki persatuan kehendak, cita-cita, kenginginan yaitu untuk keselamatan dunia.[21]
1.      Jurgen Moltmann
Jurgen dilahirkan di Hamburg pada ttahun 1926. Dari tahun 1945-1948 ia menjadi tawanan perang Belgia dan Inggris. Pada masa itulah ia mendapat iman Kristen, sehingga menjadi “domba hitam pertama dalam keluarga Humburg yang mengetahui kebenaran”. Ia menjadi guru besar di seminari Wuppertal pada tahun 1958, dan pada tahun 1967 ia menjadi profesor teologi sitematis di Universitas Tubingen.[22] Ia salah satu teolog pada abad ke 20. Ia dikenal dengan teologinya yang disebut Teologi Pengharapan.
Jurgen Moltmann  menyatakan bahwa sejarah Trinitas merupakan sejarah tiga Subjek dalam hubungan persekutuan satu sama lain. Moltmann memandang keesaan Allah sebagai bukan sebagai identitas satu Subjek yang tunggal, melainkan sebagai satu persatuan tiga Pribadi, suatu komunitas dalam arti kata penuh. Proses-proses imanen di dalam Trinitas bersifat adikodrati, kekal dan niscaya. Semua ini dapat dijabarkan menjadi spontanitas, terutama spontanitas cinta kasih. Allah mengasihi “dengan sendirinya”.[23]
2.      Wolfhart Pannenberg
Wolfhart Pannenberg lahir pada tahun 1928 di Settin, Jerman. Sesudah masa perang, ia belajar di Universitas Berlin dan Gottingen. Kemudian menjadi dosen ilmu teologi di Heidelberg pada tahun 1955.[24] Tahun 1958 ia pindah ke seminari Gereja di Wuppertal dan disana ia menjadi teman sejawat Moltmann. Dan tahun 1964 ia menerbitkan bukunya yang berjudul Yesus Allah dan Manusia.[25]
Pannenberg berpandangan bahwa “hubungan trinitas antara Bapa, Putra dan Roh Kudus itu berupa diferensiasi-diri timbal balik, maka hubungan itu tidak dapat diartikan sebagai cuma cara berada yang berlain-lainan saja dari satu Subjek Ilahi yang tunggal, tetapi hanya dapat dimengerti sebagai proses-proses kehidupan dari tiga pusat kegiatan yang independen”. Bapa, Putra dan Roh Kudus digambarkan sebagai tiga penampakan dari satu medan dan kekuatan yang diidentifikasi sebagai cinta kasih. Daya cintalah yang mendorong para Pribadi untuk keluar dari diri sendiri sehingga mereka menghayati hidupnya bukan dari mereka sendiri menuju yang lain, melainkan dari yang lain menuju diri mereka sendiri. Tiap-tiap Pribadi menerima “diriNya sendiri dari yang lain. Seperti pribadi insani, pribadi Ilahi pun mempunyai kodrat yang “ekstatis”, artinya “mempunyai” DiriNya “dalam” Pribadi yang lain. Proses memberi dan menerima ini terjadi terjadi di dalam hakikat Allah yang abadi, namun “diteruskan” di dalam waktu, di dalam sejarah Allah dengan umat manusia. Panennberg juga memperkuat gagasannya dengan mengatakan bahwa, Allah memperoleh sifat-sifatNya melalui tindakan-tindakanNya yang dipilihNya untuk dilakukan; hakikatNya diperoleh secara historis. Trinitas yang terlibat dalam suatu proses itu akan diselesaikan secara eskatologis.[26]
2.6. Trinitarianisme Posisi Tengah
Antara trinitarianisme monopersonal dengan trinitarianisme sosial terdapat beberapa posisi tengah. Mereka memahami “pribadi” dalam arti modern, yaitu subjek yang mampu akan tindakan dan keputusan serta menyadari dirinya sebagai tak tergantikan. Den Bok menyebutkan dua tokoh terkenal yaitu, Piet Schoonenberg dan Hans urs von Balthasar.[27]
Poros tengah ini mengulang kembali apa yang dikatakan oleh Ireneus. Ia pernah berkata : keberadaan Allah yang bersifat batiniah, Dia adalah satu (mono) tetapi penyingkapan Allah progresif dalam sejarah keselamatan  Dia adalah 3 Pribadi. Dengan demikian menurut poros tengah ini, mono personae lebih menekankan essensi Allah itu, kehendak Allah itu. Tetapi sosial lebih menekankan penyataan Allah atas dunia. jadi mono personal melihat tentang kehakikatan Allah (melihat kesumber), dan sosial memperkenalkan diriNya, menyatakan hatiNya kepada dunia (hasil kerja). Kesimpulannya, bahwa Gereja di dunia tetap berpegang pada hasil konsili.[28]
1.      Piet Schoonenberg
Piet mengemukakan tesis bahwa Pribadi Ilahi yang satu itu menjadi antarpribadi dengan bergerak menuju makhluk-makhluk insani. Pribadi ini bila diterapkan pada Allah, berlaku bagi Allah yang dapat disebut Sang Bapa, sedangkan Sang Putra dan Roh hanya secara “ekonomis” saja menjadi Pribadi-Pribadi. Berkat pergerakan diri Allah menuju manusia maka Putra dan Roh semakin “memprofolasikan” diriNya sendiri. Dinamika yang disebut “personalisasi” atau “hypostasasi” mempunyai akibat menarik, yaitu walaupun secara imanen terdapat satu Pribadi dengan dua “pancaran”, yaitu Sabda dan Roh, namun secara ekonomis (khususnya sejak inkarnasi) terdapat interpersonalitas yang sungguh-sungguh. Dapat dikatakan bahwa Putra dan Roh mempribadikan diri sendiri, tetapi menganggapnya lebih tepat untuk mengatakan bahwa Pribadi Bapa mempribadikan SabdaNya menjadi Putra (dalam Yesus Kristus) dan RohNya menjadi Roh PutraNya. Dengan demikian proses pergerakan diri Allah menuju manusia bersifat abadi dan dikehendakiNya dengan bebas. Proses ini berlangsung di dalam hakikat Allah, karena Diri Allah sendirilah yang dipribadikanNya dalam kontak dengan makhluk ciptaaNya.[29]
2.      Hans Urs von Balthasar
Menurut pandangan von Balthasar, setiap makhluk hidup insani dapat menjadi seorang “pribadi” atau “person” dengan memperoleh suatu derajat atau martabat yang melebihi individualitas dan subjektivitas mental dan menghindarkannya agar tidak terjatuh ke dalam individualisme dan rasionalisme. Martabat ini dijelaskan dengan dua cara. Pertama, secara Kristologis dan antropologis orang menjadi pribadi berkat keputusannya. Kristus itu pribadi karena diutus seluruhnya (oleh Bapa); makhluk-makhluk insani akan menjadi pribadi –pribadi sejauh mereka membiarkan dirinya diutus (dengan menjadi seperti Kristus, maka “Kristiani”. Kedua, dalam teologi trinitas “pribadi” didefinisikan sebagai diri yang secara sempurna menyangkal diri, terdiri dari kasih murni yang memberikan segala sesuatu kepada yang lain.[30]
III.             Kesimpulan
Seperti yang telah penyaji paparkan di dalam pendahuluan bahwa persoalan Trinitas selalu berkembang dari masa ke masa dan tiada akhirnya. Dimana pada abad ke 20 ini, pemikiran telah dipengaruhi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan para teolog-teolog abad ke 20 ini memiliki pandangan yang berbeda-beda. Dan penghayatan yang mereka lakukan merupakan pengaruh dari hasil konsili yang menyatakan bahwa Trinitas adalah tiga oknum dalam satu hakikat yang sering disebut Tri Personal yang menghasilkan Trinitarianisme. Dan trinitarianisme ini terbagi menjadi tiga kelompok atau bagian yaitu, trinitarianisme mono personal (Karl Bart & Karl Rahner), trinitarianisme sosial (Jurgen Moltmann & Wolfhart Panennberg), dan posisi tengah (Piet Schoonenberg & Hans Urs von Balthasar).
IV.             Daftar pustaka
Becker,Dieter, Pedoman Dogmatika,  Jakarta: BPK-GM, 2009 
Berendes, Bill,  Teologi Dasar,  Jakarta: Suara Harapan Bangsa, 2010  
Hadiwijono, Harun, Teologi Reformatoris Abad ke – 20, Jakarta : BPK-GM, 1999  
Hasibuan, Bethesda, Rekaman Catatan Dogmatika 1, Selasa 07 April  2015
Hill,Jonathan, The History Of Christian Thought,  England: A Lion Book, 2003
Lane,Tony Runtut Pijar Sejarah Pemikiran Kristiani, Jakarta: BPK-GM, 2012
Lumbantobing, Darwin, Teologi di Pasar Bebas, Pematang Siantar : L-SAPA, 2007
Mueller,John Theodore, Christian Dogmatics, USA: Concordia Publishing House, 1955
Rahner, Karl The Trinity, New York: Harder and Harder, 1970  
Soedarmo R., Kamus Istilah Teologi,  Jakarta: BPK-GM, 1991  
Sujabda,Yakub B., Teologi Modern I, Surabaya: Momentum-Lembaga Reformed Injili Indonesia, 2001
Syukur Nico, Teologi Sistematika 1,  Yogyakarta: Kanisius, 2004  
Wellem F. D., Kamus Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM, 2011  
Wellem F.D.,  Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM, 2009


[1] R. Soedarmo, Kamus Istilah Teologi, (Jakarta: BPK-GM, 1991), 98
[2] Bill. Berendes, Teologi Dasar, (Jakarta: Suara Harapan Bangsa, 2010), 51
[3] Darwin Lumban Tobing, Teologi di Pasar Bebas, (Pematang Siantar : L-SAPA, 2007), 155
[4] Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad ke – 20, (Jakarta : BPK-GM, 1999), 21-22
[5] F. D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK-GM, 2011), 459
[6] Nico Syukur, Teologi Sistematika 1, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 164
[7] John Theodore Mueller, Christian Dogmatics, (USA: Concordia Publishing House, 1955), 154
[8] Bethesda Hasibuan, Rekaman Catatan Dogmatika 1, Selasa 07 April 2015
[9] Yakub B. Sujabda, Teologi Modern I, (Surabaya: Momentum-Lembaga Reformed Injili Indonesia, 2001), 79
[10]  Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad ke – 20, 27
[11]  Nico Syukur, Teologi Sistematika 1,165
[12] Dieter Becker, Pedoman Dogmatika, (Jakarta: BPK-GM, 2009), 65
[13]  Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad ke – 20, 28
[14]  Nico Syukur, Teologi Sistematika 1,165
[15]  Jonathan Hill, The History Of Christian Thought, (England: A Lion Book, 2003) 297
[16] F.D. Wellem,  Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK-GM, 2009), 161
[17]  Darwin Lumban Tobing, Teologi di Pasar Bebas, 158
[18]  Nico Syukur, Teologi Sistematika 1,166-167
[19] Karl Rahner, The Trinity, (New York: Harder and Harder, 1970), 46
[20] Nico Syukur, Teologi Sistematika 1, 169-170
[21] Bethesda Hasibuan, Rekaman Catatan Dogmatika 1, Selasa 07 April 2015
[22]  Tony Lane, Runtut Pijar Sejarah Pemikiran Kristiani, (Jakarta: BPK-GM, 2012), 245
[23]  Nico Syukur, Teologi Sistematika 1, 170
[24]  Tony Lane, Runtut Pijar Sejarah Pemikiran Kristiani, 248
[25]  F.D. Wellem,  Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja, 155
[26]  Nico Syukur, Teologi Sistematika 1,170-171
[27] Nico Syukur, Teologi Sistematika 1, 167
[28] Bethesda Hasibuan, Rekaman Catatan Dogmatika 1, Selasa 07 April  2015
[29] Nico Syukur, Teologi Sistematika 1,   167-168
[30] Nico Syukur, Teologi Sistematika 1, 168-169

3 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. Shalom bapak, ibu saudara/i di manapun berada. Apakah Sudah ada yang pernah mendengar tentang Shema Yisrael? Ini adalah kalimat pengakuan iman orang Yahudi yang biasa diucapkan pada setiap ibadah mereka baik itu di rumah ibadat atau sinagoga maupun di rumah. Yesus juga menggunakan Shema untuk menjawab pertanyaan dari seorang ahli Taurat mengenai hukum yang utama. Kita dapat baca di Ulangan 6 ayat 4 dan pernah juga dikutip oleh Yesus di dalam Injil Markus 12 : 29. Dengan mengucapkan Shema, orang Yahudi mengakui bahwa YHWH ( Adonai ) Elohim itu esa dan berdaulat dalam kehidupan mereka. Berikut teks Shema Yisrael tersebut dalam huruf Ibrani ( dibaca dari kanan ke kiri seperti huruf Arab ) beserta cara mengucapkannya ( tanpa bermaksud untuk mengabaikan atau menyangkal adanya Bapa, Roh Kudus dan Firman Elohim yaitu Yeshua haMashiakh/ ישוע המשיח, yang lebih dikenal oleh umat Kristiani di Indonesia sebagai Yesus Kristus ) berikut ini

    Teks Ibrani Ulangan 6 ayat 4 : ” שְׁמַ֖ע ( Shema ) יִשְׂרָאֵ֑ל ( Yisrael ) יְהוָ֥ה ( YHWH [ Adonai ] ) אֱלֹהֵ֖ינוּ ( Eloheinu ) יְהוָ֥ה ( YHWH [ Adonai ] ) אֶחָֽד ( ekhad )


    Lalu berdasarkan halakha/ tradisi, diucapkan juga berkat: ” ברוך שם כבוד מלכותו, לעולם ועד ” ( " barukh Shem kevod malkuto, le’olam va’ed " ) yang artinya diberkatilah nama yang mulia kerajaanNya untuk selama-lamanya " ). Apakah ada yang mempunyai pendapat lain?.
    🕎✡️👁️📜🕍🤴🏻👑🗝️🛡️🗡️🏹⚖️☁️☀️⚡🌧️🌈🌒🌌🔥💧🌊🌬️🏞️🗺️🏡⛵⚓👨‍👩‍👧‍👦❤️🛐🤲🏻🖖🏻🌱🌾🍇🍎🍏🌹🐏🐑🐐🐂🐎🦌🐪🐫🦁🦅🕊️🐟🐍🇮🇱₪⛪

    ReplyDelete

Khotbah semptember 2020

 Minggu, 6 September 2020, 13-Set Trinitatis Tema : Manusia Tidak Untuk Diperjual-belikan Ev : Matius 27: 1-10 Pengantar Era globalisasi...