Nama :
Johannes
Nababan
M . Kuliah :Dogmatika
1
Doktrin Trinitas
Metode Ontologis (Kebenaran-kebenaran
akaliah)
Pengkhayatan doktrin
Trinitas oleh teolog-teolog abad 20
(Trinitarianisme Mono
Personal, Trinitarianisme Sosial, Trinitarianisme Posisi Tengah)
I.
Pendahuluan
Dokrin
Trinitas adalah suatu persoalan yang tiada akhirnya dari masa ke masa. Setiap
tokoh dalam berbagai zaman selalu memiliki pandangan yang berbeda, sehingga
menghasilkan bermacam rumusan mengenai Trinitas hingga sampai ke abad 20. Pada
kesempatan kali ini, penyaji akan mencoba memaparkan penghayatan doktrin
trinitas oleh teolog-teolog abad ke 20 yang di bedakan ke dalam tiga kelompok
berdasarkan pemikiran mereka masing-masing, yaitu: Trinitarianisme Mono Personal,
Trinitarianisme Sosial, Trinitarianisme Posisi Tengah. Dalam sajian ini akan
penyaji bahas apa pandangan masing-masing teolog terhadap ketigaan Allah
sebagai tiga Pribadi namun satu hakikat. Semoga sajian ini bermanfaat bagi kita
semua.
II.
Pembahasan
2.1. Pengertian Trinitas
Trinitas
adalah doktrin Kristen mengenai ketritunggalan Allah, ajaran Trinitas ini
bukanlah suatu kebenaran yang diperoleh melalui akal budi tetapi melalui
penyataan atau wahyu.[1] Trinitas
atau Tritunggal merupakan misteri Allah, bahwa Dia adalah satu, tapi Dia juga
tiga yaitu, Bapa, Anak, dan Roh Kudus.[2] Istilah
Trinitas atau Tritunggal adalah merupakan ungkapan Iman yang dibahasakan sesuai
dengan analisa berpikir manusia pada waktu itu, dengan maksud untuk menjelaskan
keberadaan Allah yang tidak kelihatan agar menjadi lebih konkrit di dalam
berbagai perbuatanNya.[3]
2.2. Konteks Abad ke – 20
Karena
perkembangan ilmu pengetahuan modern dan filsafat, maka timbullah pemikiran
teologis yang bermacam-macam, yang semuanya dimaksudkan untuk menjawab
tantangan zaman. Orang makin lama makin yakin bahwa dunia ini maju ke masa
depan yang cerah. Pada awal abad ke-20, suasana idealistis yang optimis masi
hidup dengan kuat. Sampai kepada semua harapan
itu runtuh setelah pecah Perang Dunia kedua. Yang mengakibatkan orang
benar-benar kehilangan nilai-nilai yang semula dijunjung tinggi. Segala hal
yang tidak mungkin, menjadi mungkin. Penemuan-penemuan berjalan terus. Namun,
penemuan-penemuan ini membawa persoalan-persoalan tersendiri karena semakin
berkembanganya zaman. Dan abad ini juga ditandai dengan kemajuan yang luar
biasa yaitu secara Sekularasi (hal yang membawa kearah kecintaan Duniawi,
sehingga norma-norma tidak perlu).[4]
Dengan
demikian dapat kita lihat betapa rumitnya persoalan dunia masa kini. Hal ini
juga tentunya mempengaruhi pemikiran teologis. Berteologi tidak mungkin hanya
merenung di depan Alkitab saja, tetapi harus bercermin pada perbuatan-perbuatan
orang-orang kristen. Teologi abad ini dimulai oelh Karl Barth dan
teman-temannya yang semula bergabung dalam teologi yang biasanya disebut
teologi dialektis.
2.3. Pengertian
Trinitarianisme
Trinitarian
adalah sebuatan bagi golongan yang percaya akan ajaran Trinitas, yang digunakan
untuk menentang ajaran Unitarian.[5]
Sedangkan Isme adalah aliran. Jadi dapat kita katakan bahwa, Trinitarianisme
adalah suatu aliran atau golongan orang yang menganut ajaran tentang Allah yang
memiliki tiga pribadi namun satu hakekat. Trinitarianisme terbagi dalam tiga
kelompok, yaitu:
1. Trinitarianisme
Monopersonal
2. Trinitarianisme
Sosial
3. Trinitarianisme
Posisi tengah [6]
2.4. Trinitarianisme Mono
Personal
Mono
artinya satu, sedangkan untuk memahami kata “person” (persona), akan kita pahami sebagai pemikiran manusia yang
individual dan rasional yang exis oleh dirinya sendiri. Manusia dan malaikat
adalah oknum atau person. Tetapi ketika ini digunakan kepada Allah, maka akan
diterapkan dengan pengertian yang unik; ketika kita mengatakan bahwa Allah
Bapa, Anak dan Roh Kudus adalah tiga oknum. Di satu sisi bukan berarti bahwa 3
oknum ini adalah tiga bentuk yang berbeda atau tiga oknum Allah yang berbeda
dan menyatakan bahwa Mereka adalah tiga individu yang rasional, jadi Bapa bukan
Anak dan Anak bukan Roh kudus. Tiga oknum ini hanyalah satu dan pokok ketuhanan
yang sama dalam bilangan dan hanya menggunakan satu dan sama kekuatan.[7]
Personae
tidak boleh disamakan dengan Oknum, Jumlah dan Individu. Person itu bersangkut
paut dengan kehendak dan tabiatnya. Walaupun Ia menjadi 3, itu karena personnya
I. Seolah-olah ada 3 kegendak tapi sebenarnya tidak, tapi satu pusat, satu
wajah, satu keinginan, satu tujuan, maka Ia mengambil 3 cara berada yaitu mono personae.[8]
1.
Karl
Barth (1886-1968)
Karl
Barth lahir di Basel tahun 1886, dalam satu keluarga pendeta. Ayahnya,Johann Friedrich
Barth, adalah seorang pendeta Reformed Church.[9] Pada
waktu ia muda, ia belajar di perguruan teologi yang didominasi oleh tokoh-tokoh
teolog liberal, yang menekankan pada sejarah dan mengusahakan supaya pendekatan
terhadap Alkitab dilakukan secara historis kritis.[10]
Menurut
Karl Barth, Allah Tritunggal tidak dapat terdiri dari tiga pribadi, tiga
kepribadian atau tiga subjek. Allah hanya mempunyai satu “Aku”, nukan tiga,
satu kehendak (bukan tiga), satu wajah, satu sabda, dan satu karya. Ia yakin
bahwa maksud Gereja dengan kata persona berbeda
sekali dengan arti modern dari “pribadi”. Kata “pribadi” dipakai Barth untuk
mengacu kepada Allah Yang Esa, yang merupakan Zat berpikir, berkehandak dan
bertindak, dan kekebasan-Nya tiada taranya. Allah itu satu Pribadi dalam tiga
“cara Berada.[11]
Barth
juga mengatakan, “Allah sebagai
pencipta, Allah sebagai pendamai dan Allah sebagaii penebus”. Dia (Barth) juga memberikan penekanan terhadap Trinitas
penyataan, namun Trinitas Imanen juga diakuinya. Ia lebih suka berbicara
tentang tiga cara keberadaan Allah dan bukan tentang ketiga persona.[12]
Dasar pemikiran Barth dalam hal ini adalah bahwa Allah adalah Allah. Ia berbeda
sekali dengan manusia. Allah berada di sorga, manusia di bumi. Oleh karena itu,
tema Alkitab pada dasarnya menunjukkan nisbah antara Allah dan manusia.
Terdapat perbedaan secara kualitatif, sehingga keduanya tidak dapat
diputarbalikkan. Di antara Allah dan manusia ada jarak yang tak terjembatani. Akan
tetapi, jarak yang terbesar antara Allah dan manusia itu justru menunjukkan
kesatuan di antara keduanya. Dimana manusia bersatu dengan Allah, jika ia mau
mengakui bahwa ada jarak antara dia dengan Allah. Sehingga semua yang dikatakan
Barth mengenai Allah, didasarkan atas penyataan atau wahyu Allah yang diberikan
di dalam Kristus.[13]
Allah
merupakan sumber pewahyuan yang personal (sebagai Bapa), allah menghadirkan
diriNya kepada makhluk insani (sebagai Yesus Kristus) dan didalam hati kaum
beriman Allah membuat mereka menerima kehadiranNya (sebagai Roh Kudus).[14]
2.
Karl
Rahner (1904-1984)
Rahner
lahir di Freiburg, Jerman pada tahun 1904. Pada tahun 1922 pada saat Rahner
berusia 18 tahun, ia memutuskan untuk bergabung dengan Yesuit, Rahner memasuki
Serikat Yesuit pada tahun 1922 dan ditahbiskan menjadi Imam pada tahun 1932.[15] Rahner
adalah seorang Teolog besar Gereja Katolik pada abad ke 20. Ia menjadi mahaguru
dalam bidang Teologi Dogmatic di
Universitas Innbruck dan di Universitas Muchen san Munster.[16]
Menurut Karl Rahner, Allah Tritunggal adalah misteri atau rahasia Allah.
Rahasia Allah menjadi suatu karakter dari Allah sendiri, yang dipakai untuk
mengkomunikasikan diri Allah kepada manusia. Dengan demikian kemisterian
karakter Allah harus tetap diakui dan dipertahankan untuk mengetahui siifat dan
keberadaan Allah yang sebenarnya.[17]
Karl
Rahner berpendapat bahwa, ketiga “persona” tidak bisa dipandang sebagai tiga
pribadi dalam arti modern. Di dalam Allah tidak ada lebih dari satu
subjektivitas, satu pusat kegiatan rohani, satu kebebasan, dan satu kehendak:
maka tiada “Engkau”, tiada pemberian diri timbal-balik. Namun, istilah
“pribadi” juga ada referensinya dalam kenyataan ilahi: pada hakikatNya Allah
yang satu itu terbuka kepada pribadi-pribadi non-ilahi.sebagai subjek yang
mutlak, Allah Tritunggal memberikan diri kepada subjek yang terbatas, yaitu
pribadi manusia. Cara bersubsistensi yang berpilah-pilah dan ketigaan itu pun
bersangkut paut dengan komunikasi diri sengan sejarah keselamatan, yang
betul-betul termasuk keberadaan Allah yang imanen. Tindakan Allah yang rangkap
tiga itu bersesuaian dengan hakikat Allah yang triganda dan yang memungkinkan
seluruh komunikasi diri Allah.[18]
Dalam
kaitan ini juga dikatakan bahwa, doktrin Trinitas selalu bersifat rahasia,
sebagai kenyataan yang ilahi. Kerahasiaan Allah ini adalah pemberian Allah
sendiri, karena Allah selalu mempunyai sifat yang rahasia. Harus diakui bahwa
kerahasiaan ini sulit diterima secara akal, namun harus dipahami juga bahwa
makna kerahasiaan Allah inilah yang terdapat dalam penyataan diri Allah di
dalam Yesus Kristus dan Roh Kudus.[19]
2.5. Trinitarianisme Sosial
Trinitarianisme
sosial mengarah kepada pandangan bahwa, di dalam Allah terdapat persekutuan (Communio, Communicatio) dari Bapa,
Putra, dan Roh Kudus sebagai tiga pribadi, yaitu sebagai tiga pusat cinta
kasih, kehendak, pengetahuan, dan tindakan berencana yang terpilah-pilah
sehingga ketiga Pribadi Ilahi
berhubungan satu sama lain dengan cara yang bersifat analog. Para
penganut model ini menekankan bahwa, yang membuat seorang “person” menjadi
“person” ialah relasi dengan pribadi lainnya, dan bahwa dalam hal ini
pribadi-pribadi insani telah dibentuk menurut contoh Pribadi Allah Tritunggal
sebab Trinitas merupakan perwujudan paling sempurna dari prinsip aku menjadi aku berkat Engkau. Den Bok
menyebutkan dua tokoh terkenal yang lebih condong kepada model sosial, yakni
Juergen Moltmann dan Wolfhart Pannenberg.[20]
Trinitarianisme
sosial mengulang kembali penyataan Agustinus bahwa, selalu tujuannya Allah
dalam mengungkapkan kasihNya kepada dunia atau menyatakan rencanaNya untuk
keselamatan sosial. Maka Allah harus menyingkapkan dengan 3 Pribadi, namun ke-3
pribadi itu memiliki persatuan kehendak, cita-cita, kenginginan yaitu untuk
keselamatan dunia.[21]
1.
Jurgen
Moltmann
Jurgen
dilahirkan di Hamburg pada ttahun 1926. Dari tahun 1945-1948 ia menjadi tawanan
perang Belgia dan Inggris. Pada masa itulah ia mendapat iman Kristen, sehingga
menjadi “domba hitam pertama dalam keluarga Humburg yang mengetahui kebenaran”.
Ia menjadi guru besar di seminari Wuppertal pada tahun 1958, dan pada tahun
1967 ia menjadi profesor teologi sitematis di Universitas Tubingen.[22]
Ia salah satu teolog pada abad ke 20. Ia dikenal dengan teologinya yang disebut
Teologi Pengharapan.
Jurgen
Moltmann menyatakan bahwa sejarah
Trinitas merupakan sejarah tiga Subjek dalam hubungan persekutuan satu sama
lain. Moltmann memandang keesaan Allah sebagai bukan sebagai identitas satu
Subjek yang tunggal, melainkan sebagai satu persatuan tiga Pribadi, suatu
komunitas dalam arti kata penuh. Proses-proses imanen di dalam Trinitas
bersifat adikodrati, kekal dan niscaya. Semua ini dapat dijabarkan menjadi
spontanitas, terutama spontanitas cinta kasih. Allah mengasihi “dengan
sendirinya”.[23]
2.
Wolfhart
Pannenberg
Wolfhart
Pannenberg lahir pada tahun 1928 di Settin, Jerman. Sesudah masa perang, ia
belajar di Universitas Berlin dan Gottingen. Kemudian menjadi dosen ilmu
teologi di Heidelberg pada tahun 1955.[24]
Tahun 1958 ia pindah ke seminari Gereja di Wuppertal dan disana ia menjadi
teman sejawat Moltmann. Dan tahun 1964 ia menerbitkan bukunya yang berjudul Yesus Allah dan Manusia.[25]
Pannenberg
berpandangan bahwa “hubungan trinitas antara Bapa, Putra dan Roh Kudus itu
berupa diferensiasi-diri timbal balik, maka hubungan itu tidak dapat diartikan
sebagai cuma cara berada yang berlain-lainan saja dari satu Subjek Ilahi yang
tunggal, tetapi hanya dapat dimengerti sebagai proses-proses kehidupan dari
tiga pusat kegiatan yang independen”. Bapa, Putra dan Roh Kudus digambarkan
sebagai tiga penampakan dari satu medan dan kekuatan yang diidentifikasi
sebagai cinta kasih. Daya cintalah yang mendorong para Pribadi untuk keluar
dari diri sendiri sehingga mereka menghayati hidupnya bukan dari mereka sendiri
menuju yang lain, melainkan dari yang lain menuju diri mereka sendiri.
Tiap-tiap Pribadi menerima “diriNya sendiri dari yang lain. Seperti pribadi
insani, pribadi Ilahi pun mempunyai kodrat yang “ekstatis”, artinya “mempunyai”
DiriNya “dalam” Pribadi yang lain. Proses memberi dan menerima ini terjadi
terjadi di dalam hakikat Allah yang abadi, namun “diteruskan” di dalam waktu,
di dalam sejarah Allah dengan umat manusia. Panennberg juga memperkuat
gagasannya dengan mengatakan bahwa, Allah memperoleh sifat-sifatNya melalui
tindakan-tindakanNya yang dipilihNya untuk dilakukan; hakikatNya diperoleh
secara historis. Trinitas yang terlibat dalam suatu proses itu akan
diselesaikan secara eskatologis.[26]
2.6. Trinitarianisme Posisi
Tengah
Antara
trinitarianisme monopersonal dengan trinitarianisme sosial terdapat beberapa
posisi tengah. Mereka memahami “pribadi” dalam arti modern, yaitu subjek yang
mampu akan tindakan dan keputusan serta menyadari dirinya sebagai tak
tergantikan. Den Bok menyebutkan dua tokoh terkenal yaitu, Piet Schoonenberg
dan Hans urs von Balthasar.[27]
Poros
tengah ini mengulang kembali apa yang dikatakan oleh Ireneus. Ia pernah berkata
: keberadaan Allah yang bersifat batiniah, Dia adalah satu (mono) tetapi
penyingkapan Allah progresif dalam sejarah keselamatan Dia adalah 3 Pribadi. Dengan demikian menurut
poros tengah ini, mono personae lebih menekankan essensi Allah itu, kehendak
Allah itu. Tetapi sosial lebih menekankan penyataan Allah atas dunia. jadi mono
personal melihat tentang kehakikatan Allah (melihat kesumber), dan sosial
memperkenalkan diriNya, menyatakan hatiNya kepada dunia (hasil kerja).
Kesimpulannya, bahwa Gereja di dunia tetap berpegang pada hasil konsili.[28]
1.
Piet
Schoonenberg
Piet
mengemukakan tesis bahwa Pribadi Ilahi yang satu itu menjadi antarpribadi
dengan bergerak menuju makhluk-makhluk insani. Pribadi ini bila diterapkan pada
Allah, berlaku bagi Allah yang dapat disebut Sang Bapa, sedangkan Sang Putra
dan Roh hanya secara “ekonomis” saja menjadi Pribadi-Pribadi. Berkat pergerakan
diri Allah menuju manusia maka Putra dan Roh semakin “memprofolasikan” diriNya sendiri. Dinamika yang disebut
“personalisasi” atau “hypostasasi”
mempunyai akibat menarik, yaitu walaupun secara imanen terdapat satu Pribadi
dengan dua “pancaran”, yaitu Sabda dan Roh, namun secara ekonomis (khususnya
sejak inkarnasi) terdapat interpersonalitas
yang sungguh-sungguh. Dapat dikatakan bahwa Putra dan Roh mempribadikan
diri sendiri, tetapi menganggapnya lebih tepat untuk mengatakan bahwa Pribadi
Bapa mempribadikan SabdaNya menjadi Putra (dalam Yesus Kristus) dan RohNya
menjadi Roh PutraNya. Dengan demikian proses pergerakan diri Allah menuju
manusia bersifat abadi dan dikehendakiNya dengan bebas. Proses ini berlangsung
di dalam hakikat Allah, karena Diri Allah sendirilah yang dipribadikanNya dalam
kontak dengan makhluk ciptaaNya.[29]
2.
Hans
Urs von Balthasar
Menurut
pandangan von Balthasar, setiap makhluk hidup insani dapat menjadi seorang
“pribadi” atau “person” dengan
memperoleh suatu derajat atau martabat yang melebihi individualitas dan
subjektivitas mental dan menghindarkannya agar tidak terjatuh ke dalam
individualisme dan rasionalisme. Martabat ini dijelaskan dengan dua cara. Pertama, secara Kristologis dan
antropologis orang menjadi pribadi berkat keputusannya. Kristus itu pribadi
karena diutus seluruhnya (oleh Bapa); makhluk-makhluk insani akan menjadi
pribadi –pribadi sejauh mereka membiarkan dirinya diutus (dengan menjadi
seperti Kristus, maka “Kristiani”. Kedua,
dalam teologi trinitas “pribadi” didefinisikan sebagai diri yang secara
sempurna menyangkal diri, terdiri dari kasih murni yang memberikan segala
sesuatu kepada yang lain.[30]
III.
Kesimpulan
Seperti
yang telah penyaji paparkan di dalam pendahuluan bahwa persoalan Trinitas
selalu berkembang dari masa ke masa dan tiada akhirnya. Dimana pada abad ke 20
ini, pemikiran telah dipengaruhi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dan para teolog-teolog abad ke 20 ini memiliki pandangan yang berbeda-beda. Dan
penghayatan yang mereka lakukan merupakan pengaruh dari hasil konsili yang
menyatakan bahwa Trinitas adalah tiga oknum dalam satu hakikat yang sering
disebut Tri Personal yang menghasilkan Trinitarianisme. Dan trinitarianisme ini
terbagi menjadi tiga kelompok atau bagian yaitu, trinitarianisme mono personal
(Karl Bart & Karl Rahner), trinitarianisme sosial (Jurgen Moltmann &
Wolfhart Panennberg), dan posisi tengah (Piet Schoonenberg & Hans Urs von
Balthasar).
IV.
Daftar
pustaka
Becker,Dieter,
Pedoman Dogmatika, Jakarta: BPK-GM, 2009
Berendes,
Bill, Teologi Dasar, Jakarta:
Suara Harapan Bangsa, 2010
Hadiwijono,
Harun, Teologi Reformatoris Abad ke – 20,
Jakarta : BPK-GM, 1999
Hasibuan, Bethesda, Rekaman Catatan
Dogmatika 1, Selasa 07 April 2015
Hill,Jonathan,
The History Of Christian Thought, England: A Lion Book, 2003
Lane,Tony
Runtut Pijar Sejarah Pemikiran Kristiani,
Jakarta: BPK-GM, 2012
Lumbantobing,
Darwin, Teologi di Pasar Bebas, Pematang
Siantar : L-SAPA, 2007
Mueller,John
Theodore, Christian Dogmatics, USA:
Concordia Publishing House, 1955
Rahner,
Karl The Trinity, New York: Harder
and Harder, 1970
Soedarmo
R., Kamus Istilah Teologi, Jakarta: BPK-GM, 1991
Sujabda,Yakub B., Teologi Modern I, Surabaya:
Momentum-Lembaga Reformed Injili Indonesia, 2001
Syukur
Nico, Teologi Sistematika 1, Yogyakarta: Kanisius, 2004
Wellem
F. D., Kamus Sejarah Gereja, Jakarta:
BPK-GM, 2011
Wellem F.D., Riwayat
Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM, 2009
[1] R. Soedarmo, Kamus Istilah
Teologi, (Jakarta: BPK-GM, 1991), 98
[2] Bill. Berendes, Teologi Dasar, (Jakarta:
Suara Harapan Bangsa, 2010), 51
[3] Darwin Lumban Tobing, Teologi di
Pasar Bebas, (Pematang Siantar : L-SAPA, 2007), 155
[4] Harun Hadiwijono, Teologi
Reformatoris Abad ke – 20, (Jakarta : BPK-GM, 1999), 21-22
[5] F. D. Wellem, Kamus Sejarah
Gereja, (Jakarta: BPK-GM, 2011), 459
[6] Nico Syukur, Teologi Sistematika
1, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 164
[7] John Theodore Mueller, Christian
Dogmatics, (USA: Concordia Publishing House, 1955), 154
[8] Bethesda Hasibuan, Rekaman
Catatan Dogmatika 1, Selasa 07 April 2015
[9] Yakub B. Sujabda, Teologi Modern
I, (Surabaya: Momentum-Lembaga Reformed Injili Indonesia, 2001), 79
[10] Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad ke – 20, 27
[11] Nico Syukur, Teologi Sistematika 1,165
[12] Dieter Becker, Pedoman
Dogmatika, (Jakarta: BPK-GM, 2009), 65
[13] Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad ke – 20, 28
[14] Nico Syukur, Teologi Sistematika 1,165
[15] Jonathan Hill, The History Of Christian Thought, (England:
A Lion Book, 2003) 297
[16] F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam
Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK-GM, 2009), 161
[17] Darwin Lumban Tobing, Teologi di Pasar Bebas, 158
[18] Nico Syukur, Teologi Sistematika 1,166-167
[19] Karl Rahner, The Trinity, (New
York: Harder and Harder, 1970), 46
[20] Nico Syukur, Teologi Sistematika
1, 169-170
[21] Bethesda Hasibuan, Rekaman
Catatan Dogmatika 1, Selasa 07 April 2015
[22] Tony Lane, Runtut Pijar Sejarah Pemikiran Kristiani, (Jakarta: BPK-GM, 2012),
245
[23] Nico Syukur, Teologi Sistematika 1, 170
[24] Tony Lane, Runtut Pijar Sejarah Pemikiran Kristiani, 248
[25] F.D. Wellem, Riwayat
Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja, 155
[26] Nico Syukur, Teologi Sistematika 1,170-171
[27] Nico Syukur, Teologi Sistematika
1, 167
[28] Bethesda Hasibuan, Rekaman
Catatan Dogmatika 1, Selasa 07 April
2015
[29] Nico Syukur, Teologi Sistematika
1, 167-168
[30] Nico Syukur, Teologi Sistematika
1, 168-169
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteShalom bapak, ibu saudara/i di manapun berada. Apakah Sudah ada yang pernah mendengar tentang Shema Yisrael? Ini adalah kalimat pengakuan iman orang Yahudi yang biasa diucapkan pada setiap ibadah mereka baik itu di rumah ibadat atau sinagoga maupun di rumah. Yesus juga menggunakan Shema untuk menjawab pertanyaan dari seorang ahli Taurat mengenai hukum yang utama. Kita dapat baca di Ulangan 6 ayat 4 dan pernah juga dikutip oleh Yesus di dalam Injil Markus 12 : 29. Dengan mengucapkan Shema, orang Yahudi mengakui bahwa YHWH ( Adonai ) Elohim itu esa dan berdaulat dalam kehidupan mereka. Berikut teks Shema Yisrael tersebut dalam huruf Ibrani ( dibaca dari kanan ke kiri seperti huruf Arab ) beserta cara mengucapkannya ( tanpa bermaksud untuk mengabaikan atau menyangkal adanya Bapa, Roh Kudus dan Firman Elohim yaitu Yeshua haMashiakh/ ישוע המשיח, yang lebih dikenal oleh umat Kristiani di Indonesia sebagai Yesus Kristus ) berikut ini
ReplyDeleteTeks Ibrani Ulangan 6 ayat 4 : ” שְׁמַ֖ע ( Shema ) יִשְׂרָאֵ֑ל ( Yisrael ) יְהוָ֥ה ( YHWH [ Adonai ] ) אֱלֹהֵ֖ינוּ ( Eloheinu ) יְהוָ֥ה ( YHWH [ Adonai ] ) אֶחָֽד ( ekhad )
”
Lalu berdasarkan halakha/ tradisi, diucapkan juga berkat: ” ברוך שם כבוד מלכותו, לעולם ועד ” ( " barukh Shem kevod malkuto, le’olam va’ed " ) yang artinya diberkatilah nama yang mulia kerajaanNya untuk selama-lamanya " ). Apakah ada yang mempunyai pendapat lain?.
🕎✡️👁️📜🕍🤴🏻👑🗝️🛡️🗡️🏹⚖️☁️☀️⚡🌧️🌈🌒🌌🔥💧🌊🌬️🏞️🗺️🏡⛵⚓👨👩👧👦❤️🛐🤲🏻🖖🏻🌱🌾🍇🍎🍏🌹🐏🐑🐐🐂🐎🦌🐪🐫🦁🦅🕊️🐟🐍🇮🇱₪⛪