Thursday, April 27, 2017

PWG di GKPI Medan Kota



Nama                      :  Johannes Nababan 
                                

M. Kuliah                : PWG (Pembinaan Warga Gereja)

 PWG di GKPI Medan Kota
I.                     Pendahuluan
                Manusia adalah mahluk sosial. Sebagai mahluk sosial manusia tidak sempurna dan ia tidak bisa hidup pada dirinya sendiri, ia memerlukan orang lain sebagai penolong bagi dirinya sendiri. Di dalam perjalanan kehidupannya, manusia juga tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang sering mendera hidupnya. Secara umum manusia tidak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri, dia memerlukan orang lain sebagai pendamping dan penolong bagi dirinya dalam menyelesaikan permasalahannya.
                Dalam memberikan pendampingan kepada mereka yang sedang bermasalah dalam hidupnya diperlukan sebuah pendampingan yang bersifat khusus sehingga mereka dapat ditolong agar mereka bisa lepas dari permasalahannya. Salah satu bentuk pendampingan yang bisa diberikan bagi mereka adalah dengan memberikan pendampingan pastoral. Melalui pendampingan pastoral kepada warga jemaat, diharapkan mereka dapat mengaktualisasikan diri dan imannya kepada Tuhan di tengah permasalahan yang sedang mereka alami.[1]
          Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI), tidak berbeda dari gereja-gereja lainnya, yang terpanggil untuk melaksanakan Tritugas panggilan gereja yang meliputi Apostolat, Pastorat dan Diakonat,[2] pada kesempatan kali ini kita akan membahas Pembinaan Warga Gereja di GKPI terkhusus di GKPI Sriwijaya medan kota semoga dapat menambah wawasan kita bersama.

II.                   Pembahasan
2.1.   Sekilas Mengenai GKPI Medan Kota
GKPI Medan Kota terletak di Jl. Sriwijaya No. 9 Medan.  Gereja ini berdiri pada tanggal 13 September 1964, dan diresmikan pada tanggal 12 September 1965. Adapun jumlah penatua sebanyak 27 orang dan terdiri dari 737 KK atau  2211 jiwa.
2.2.   Pembinaan Warga Gereja Menurut GKPI[3]
Pembinaan Warga Gereja bertujuan menolong warga gereja bertumbuh dalam iman kristiani, dan menjembatani kesenjangan antara kehidupan keagamaan yang bersifat ritual-seremonial dengan kenyataan hidup konkret, sehingga mereka mampu mengait-eratkan iman itu dengan kehidupan dan kegiatan/pekerjaan sehari-hari, dan dengan demikian mampu menjawab berbagai masalah dan tantangan yang berkaitan dengan iman dan tugas-panggilan mereka sebagai orang Kristen/warga Gereja.
Warga GKPI adalah mereka yang sudah dibaptis dan terdaftar di salah satu jemaat GKPI. Mereka terdiri dari anak-anak hingga orang dewasa dan lanjut usia, sehingga pembinaan terhadap mereka hendaknya juga memperhatikan jenjang dan golongan umur, begitu juga faktor-faktor khusus yang membedakan mereka (jenis kelamin, jenis pekerjaan, dsb.).
Dengan demikian kegiatan dan program Pembinaan Warga Gereja ada yang bersifat umum (melibatkan semua warga gereja dari segala jenis dan golongan, dalam rangka mewujudkan "keluarga Allah"; bnd. Ef. 2:19) dan ada yang bersifat khusus (diselenggarakan secara kategorial ataupun individual, menurut golongan umur ataupun jenis pekerjaan/profesi).
2.3.    Topik PWG Yang Dilakukan GKPI Medan Kota
Setiap gereja memiliki tugas masing-masing dalam melakukan Pembinaan Warga Gereja termasuk di dalam Gereja GKPI Medan Kota:
Adapun yang menjadi pelaksanaan Pembinaan Warga Gereja yang dilakukan oleh gereja GKPI Medan kota adalah sebagai berikut:
1.        Seminar yang dilakukan untuk kategorial Umum
Topik Seminar yang dilakukan adalah mengenai Kesehatan di GKPI Medan Kota
2.        Seminar yang dilakukan untuk kategorial Pemuda/i Gereja
Topik Seminar yang diadakan adalah mengenai HIV/AIDS khusus untuk kalangan Pemuda/i gereja GKPI Medan Kota
3.        Marguru Malua (Belajar Sidi)
Marguru malua merupakan pendidikan Katekisasi yang dilakukan masing-masing gereja terkhususnya gereja GKPI Medan Kota yang dilakukan gereja kepada Pemuda/i gereja yang mengikuti Katekisasi Sidi dan ini dilakukan sekali dalam satu tahun. Dan ini dilakukan penuh dalam satu tahun bagi pemuda/i yang mengikuti Katekisasi Sidi
4.        Pembekalan Kepada Penatua-Penatua
Pembekalan ini dilakukan oleh pendeta kepada sintua-sintua dan ini dilakukan sekali dalam satu tahun
5.        Pembekalan Kepada Calon Penatua-Penatua
Sama halnya pembekalan kepada sintua, pembekalan kepada calon penatua-penatua dilakukan juga dalam satu tahun 
6.        Pembekalan Kepada Guru Sekolah Minggu
Begitu juga dengan guru sekolah minggu, hal ini dilaksanakan kepada guru-guru sekolah minggu, dan pembekalan ini biasa dilakukan setiap atu tahun sekali.
7.        Pembekalan Kepada Pemuda/i (Calon Mahasiswa/i) GKPI Medan Kota
Pembekalan ini dilakukan pengurus gereja kepada pemuda/i gereja yang akan menjadi calon mahasiswa/i dan ini dilakukan dalam rangka pemberangkatan pemuda/i gereja yang akan melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Dan ini dilakukan dalam sekali dalam satu tahun.
8.        Kegiatan Pastoral (kunjungan kepada yang sakit, memberi penghiburan kepada orang yang berdukacita, dll).
2.4.   Tujuan
Setiap kegiatan memiliki tujuan, dan yang menjadi tujuan umum dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam PWG adalah agar gereja dalam hidup dan karyanya di dunia ini sungguh-sungguh menjadi gereja Tuhan Yesus sebab, gereja adalah buah karya penyelamatan Allah yang di fungsikan oleh Allah untuk ikut ambil bagian dalam karya penyelamatan Allah atas seluruh umat manusia (Kis. 13:2; 17:18; Mat. 4:18-22; 2 Tim. 1:7-9, 2:3).[4] Adapun tujuan khusus yang dilakukan oleh pengurus Gereja GKPI Medan Kota sendiri adalah untuk membangun sinergi antara majelis jemaat dan anggota jemaat dan seluruh jemaat yang hadir (baik dari luar ataupun dalam gereja).[5]
III.                 Kesimpulan
Pembinaan Warga Gereja bertujuan menolong warga gereja bertumbuh dalam iman kristiani, dan menjembatani kesenjangan antara kehidupan keagamaan yang bersifat ritual-seremonial dengan kenyataan hidup konkret, sehingga mereka mampu mengait-eratkan iman itu dengan kehidupan dan kegiatan/pekerjaan sehari-hari, dan dengan demikian mampu menjawab berbagai masalah dan tantangan yang berkaitan dengan iman dan tugas-panggilan mereka sebagai orang Kristen/warga Gereja. Hal ini sudah dilaksanakan di GKPI Medan Kota sebagaimana sudah disampaikan oleh bpk H. Purba selaku guru jemaat.
IV.                 Daftar Pustaka
Sumber Buku:
Beek, Aart M. Van, Pendampingan Pastoral, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001),  12
Ismail, Andar, Awam dan Pendeta, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 27
Kantor Sinode GKPI, Almanak GKPI, 2014. 408
Tata Pengembalaan GKPI, (Pematangsiantar: KOLPORTASE GKPI, 2014), 9-10
Sumber Lain:
Wawancara dengan Bapak H. Purba (Guru Jemaat GKPI Medan Kota), Pada tanggal 19 April 2017



                [1] Aart M. Van Beek, Pendampingan Pastoral, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001),  12
                [2]Kantor Sinode GKPI, Almanak GKPI, 2014. 408
                [3]Tata Pengembalaan GKPI, (Pematangsiantar: KOLPORTASE GKPI, 2014), 9-10
[4]Andar Ismail, Awam dan Pendeta, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 27
[5]Wawancara dengan Bapak H. Purba (Guru Jemaat GKPI Medan Kota), Pada tanggal 19 April 2017

LGBT MenurutAdatBatak Toba



Nama                          : Johannes Nababan
Mata Kuliah              :SeminarPerjanjianBaru
                     
LGBT MenurutAdatBatak Toba
I. Pendahuluan
            Masalah isu LGBT bukanlah hal yang baru kita dengar. Sekarang ini kita banyak melihat dan mendengar tentang masalah-masalah LGBT.  Kita dapat melihat dan mendapati berbagai macam buku-buku majalah maupun koran-koran yang membahas tentang LGBT, dan kita juga dapat mendengar pembahasan tentang masalah homoseksual melalui seminar-seminar dan panel diskusi yang diadakan di mana-mana oleh para ahli sesuai bidangnya masing-masing.Padakesempatan Kali ini saya akan memcoba memaparkan bagaimana konsep pemahaman LGBT dalam Adat Batak
II. Pembahasan LGBT Menurut Adat Batak Toba
            Ketika Saya mewawancara Bpk. R. Panjaitan[1] mengenai pandangan adat Batak diperhadapkan dengan fenomena LGBT saat ini, bliau belumpaham apa itu LGBT. Akan tetapi setelah saya mencoba menjelaskan bahwa LGBT itu adalah masalah orientasi seksual yang menyimpang, misalnya perkawinan sejenis antara Laki-laki dan perkawinan antara Perempuan, ketertarikan kepada dua orientasi seks, dan trans gender (megubah/ mengganti alat kelamin, Laki-laki menjadi wanita atau sebaliknya), baru beliau paham apa itu LGBT. Menurut Bpk. R. Panjaitan konsep mengenai LGBT ini sudah pasti ditolak oleh adat Batak. Karena kalau dilihat dari tata pelaksanaan perkawinan adat Batak ada dua kubu yang saling berbeda, yang dimaksud adalah Parboru (Pihak dari Perempuan) dan Paranak (Pihak dari Laki-laki). Tidak mungkinlah dalam adat pernikahan orang batak dalam pelaksanaanya sama-sama parboru (sama-sama pihak wanita ) atau sama-sama paranak (pihak laki-laki). Hal itu sadah lari dari konsep dalihan natolu sebagaimana konsep kekrabatan dalam suku batak Toba. Dan dalam penerapan pernikahan dalam budaya batak Toba khususnya yang menganut agama Kristen ada yang disebut dengan martumpol, menurut bliau gereja tidak akan mengijinkanhal itu terjadi apabila yang bersangkutan terkait dalam kasus perkawinan sesame jenis. Bpk. R. Panjaitan juga mengatakan apa bila ada orang batak melakukan hal tersebut akan dikeluarkan dari adat, dan apabila ia sudah dikeluarkan dari adat maka masyarakat akan mengucilkan dia dan bahkan bisa jadi di usir dari tempat dia tingga.
III. Kesimpulan
            Pandangan adat Batak Toba mengenai fenomena LGBT adalah sebuah perilaku menyimpang yang sangat bertentangan dengan nilai atau norma yang tertanam dalam budaya batak Toba, karena dalam sistem pernikahan dalam budaya Batak Toba tidak selaras dengan sistem kekerabatan di dalihan natolu.


                [1] Hasil wawancara dengan Bpk. R. Panjaitan pada tanggal 20 April 2017. Pukul 19.58 Wib

Penghapusan Tujuh Kata dalam Pancasila (Tinjauan Historis Kritis Penghapusan Tujuh Kata dalam Pancasila dan Implikasinya Bagi Keutuhan Bangsa Indonesia)



Nama                        Johannes Nababan

Mata Kuliah              :Seminar Sejarah Gereja

Penghapusan Tujuh Kata dalam Pancasila
Tinjauan Historis Kritis Penghapusan Tujuh Kata dalam Pancasila dan Implikasinya Bagi Keutuhan Bangsa Indonesia
I.                   Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara agraris dengan berbagai sumber daya alamnya yang melimpah, terbentang dari Sabang dan Merauke. Masyarakatnya pun terbentuk dari berbagai macam suku, ras, dan agama yang berbeda-beda, sehingga Indonesia dikatakan sebuah negara yang kaya dengan keanekaragaman (plural). Tak dapat dipungkiri, diferensiasi yang terjadi sebagai akibat kemajemukan itu telah menyebabkan terjadinya ketegangangan sosial di tengah kehidupan seperti perbedaan strata sosial, diskriminasi ras dan perbedaan kepentingan di sektor ekonomi, politik, budaya dan lain-lainnya.
Problem terbesar bangsa ini dibidang ideologi-politik hingga saat ini ibarat bola api  yang bergulir panas. Adanya tuntutan untuk diberlakukannya kembali Pancasila versi Piagam Jakarta oleh kalangan tertentu, hal ini tidak saja memicu dan memunculkan banyak kecurigaan dan kontraversi sosio-politik publik di tanah air, tetapi itupun telah menjadi tanda bahwa persoalan ideologi negara pancasila masih menjadi ancaman bagi proses integrasi bangsa Indonesia tercinta ini. Masalah yang sering muncul mengenai penghapusan tujuh kata pada sila pertama pancasila dimana disana dikatakan “Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, Indonesia adalah Negara yang multi kultural dan multi religious sehingga point sila pertama pada pancasila dalam persi Piagam Jakarta tidak relevan dijadikan ideologi Indonesia, akan tetapi masih ada kelompok ataupun perorangan untuk mengembalikan kembali ideologi Negara pada persi Piagam Jakarta.
Maka dengan masalah tersebut pada kesempatan kali ini kami para penyeminar mencoba menggali bagaimana sebenarnya sejarah terbentuknya pancasila sebagai dasar Negara terkhusus dalam penghapusan tujuh kata pada silah pertama dan implikasinya bagi keutuhan bangsa Indonesia. Semoga seminar ini dapat menambah wawasan kita bersama.

II.                Pembahasan
2.1.   Pengertian Pancasila Secara Etimologi
Secara etimologis istilah Pancasila berasal dari bahsa sansekerta. Menurut Moh. Yamin, dalam bahasa sansekerta kata “Pancasila” memiliki arti dua macam secara leksikal, yaitu “panca” artinya “lima”                                                                                 
“syila” vokal i pendek artinya batu sendi atau dasar.
“syiila” vokal i panjang artinya peraturan tingkah laku yang baik.
Kata-kata tersebut kemudian dalam bahsa Indonesia terutama bahasa jawa diartikan “susila” yang memiliki hubungan dengan moralitas. Oleh karena itu secara etimologis kata Pancasila yang dimaksudkan adalah Panca Syila dengan vokal i pendek yang memiliki makna leksikal “berbatu sendi lima” atau secara harafiah “dasar yang memiliki lima unsur”, hal ini dapat juga diartikan lima aturan tingkah laku yang penting/baik.[1]

Note:Jangan Di Copy Bulat2 Coy,
      Belajarlah dengan Giat, Saya masukkan ini sebagai referensi bagi yang Membutuhkan.

2.2.Pengertian Pancasila Secara Historis[2]
Proses perumusan Pancasila diawali ketika dalam sidang BPUPKI pertama dr. Radjiman Widyodiningrat, mengajukan suatu masalah, khususnya akan dibahas pada sidang tersebut. Masalah tersebut adalah tentang suatu calon rumusan dasar negara Indonesia yang akan dibentuk. Kemudian tampilah pada sidang tersebut tiga orang pembicara yaitu Mohammad Yamin, Soepomo dan Soekarno. Pada tanggal 1 Juni 1945 di dalam sidang tersebut Ir.Soerkarno berpidato secara lisan (tanpa teks) mengenai calon rumusan dasar negara Indonesia. Kemudian untuk memberi nama istilah dasar negara tersebut Soekarno memberikan nama “Pancasila” yang artinya lima dasar, hal ini menurut Soekarno atas saran dari salah seorang temannya yaitu seorang ahli bahasa yang tidak disebutkan namanya.
 Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, kemudian keesokan harinya tanggal 18 Agustus 1945 disahkanlah Undang-Undang Dasar 1945 termasuk Pembukaan UUD 1945 dimana di dalamnya termuat isi rumusan lima prinsip atau lima prinsip sebagai satu dasar negara yang diberi nama Pancasila. Sejak saat itulah perkataan Pancasila telah menjadi bahasa Indonesia dan merupakan istilah umum. Walaupun dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 tidak termuat istilah “Pancasila”, namun yang dimaksudkan Dasar Negara Republik Indonesia adalah disebut dengan istilah “Pancasila”. Hal ini didasarkan atas interpretasi historis terutama dalam rangka pembentukan calon rumusan dasar negara, yang kemudian secara spontan diterima oleh peserta sidang secara bulat.
 Demikianlah riwayat singkat Pancasila baik dari segi istilahnya maupun proses perumusannya, sampai menjadi dasar negara yang sah sebagaimana terdapat dalam pembukaan UUD 1945. Adapun secara terminologi historis proses perumusan Pancasila adalah sebagai berikut :

a. Mr. Muhammad Yamin (29 Mei 1945)
Pada tanggal 29 Mei 1945 tersebut BPUPKI mengadakan sidangnya yang pertama. Pada kesempatan ini Mr. Muhammad Yamin mendapat kesempatan yang pertama untuk mengemukakan pemikirannya tentang dasar negara di hadapan sidang lengkap Badan Penyelidik. Pidato Mr. Muh.Yamin itu berisikan lima asas dasar negara Indonesia Merdeka yang diidam-idamkan, sebagai berikut :
            1. Peri Kebangsaan
            2. Peri Kemanusiaan
            3. Peri Ketuhanan
            4. Peri Kerakyatan
      5. Kesejahteraan Rakyat
Setelah berpidato beliau juga menyampaikan usul tertulis mengenai rancangan UUD Republik Indonesia. Di dalam Pembukaan dari rancangan UUD tersebut tercantum rumusan lima dasar negara yang rumusannya adalah sebagai berikut :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kebangsaan persatuan Indonesia
3. Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

b. Ir. Soekarno (1 Juni 1945)
Pada tanggal 1 Juni 1945 tersebut Soekarno mengucapkan pidatonya di hadapan sidang Badan Penyelidik. Dalam pidato tersebut diajukan oleh Soekarno secara lisan usulan lima asas sebagai dasar negara Indonesia yang akan dibentuknya, yang rumusannya adalah sebagai berikut :
1. Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau Perikemanusiaan
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan sosial
5. Ketuhanan yang berkebudayaan
Untuk usulan tentang rumusan dasar negara tersebut beliau mengajukan agar dasar negara tersebut diberi nama “Pancasila”, yang diakatakan oleh beliau istilah itu atas saran dari salah seorang ahli bahasa, namun sayangnya tidak disebutkan nama seorang ahli bahasa tersebut. Usul mengenai nama “Pancasila” bagi dasar negara tersebut secara bulat diterima oleh sidang BPUPKI. Selanjutnya beliau mengusulkan bahwa kelima sila tersebut dapat diperas menjadi “TriSila” yang rumusannya :
1. Sosio Nasional yaitu “Nasionalisme dan Internasionalisme”
2. Sosio Demokrasi yaitu “Demokrasi dengan Kesejahteraan rakyat”
3. Ketuhanan Yang Maha Esa
Adapun “Tri Sila” tersebut masih diperas lagi menjadi “Eka Sila” atau satu sila yang
intinya adalah “gotong-royong”.



c. Piagam Jakarta (22 Juni 1945)
Pada tanggal 22 Juni 1945 sembilan tokoh nasional mengadakan pertemuan untuk membahas pidato serta usul-usul mengenai dasar negara yang telah dikemukakan dalam sidang Badan Penyelidik. Sembilan tokoh tersebut dikenal sebagai “Panitia Sembilan”, yang setelah mengadakan sidang berhasil menyusun sebuah naskah piagam yang dikenal “Piagam Jakarta” yang di dalamnya memuat Pancasila, sebagai buah hasil pertama kali disepakati oleh sidang. Adapun rumusan Pancasila sebagaimana termuat dalam Piagam Jakarta adalah sebagai berikut :
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
Perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

2.3.Pengertian Pancasila Secara Terminologis
Proklasmasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 itu telah melahirkan negara Republik Indonesia. Untuk melengkapi alat-alat perlengkapan negara sebagaimana lazimnya negara-negara yang merdeka, maka Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) segera mengadakan sidang. Dalam sidangnya tangggal 18 Agustus 1945 telah berhasil mengesahkan UUD negara Republik Indonesia yang dikenal dengan UUD 1945. Adapun UUD 1945 tersebut terdiri atas dua bagian yaitu Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasal UUD 1945 yang berisi 37 pasal, 1 Aturan Peralihan yang terdiri atas 4 pasal, dan 1 Aturan Tambahan terdiri atas 2 ayat. Dalam bagian Pembukaan UUD 1945 yang terdiri atas empat alinea tersebut tercantum rumusan Pancasila sebagai berikut :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan Pancasila sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 inilah yang secara konstitusional sah dan benar sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang disahkan oleh PPKI yang mewakili seluruh rakyat Indonesia.
2.4.Pancasila Sebagai Ideologi Negara
Pancasila adalah sebagai suatu sistem filsafat bangsa Indonesia dan negara Indonesia. Oleh karena itu, ideologi nasional yang dianut dan dilaksanakan oleh bangsa dan negara Indonesia adalah ideologi Pancasila. Artinya, Pancasila adalah ideologi nasional, ideologi bangsa dan negara Indonesia, yang bersumber kepada Pancasila sebagai sestem filsafat. Pancasila dijadikan sebagi ideologi Negara Keasutuan Republik Indonesia sejak tanggal 17 Agustus 1945, walaupun secara yudiris hal itu baru disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Proklamasi Kemerdekaan tidak menyinggung tentang Pancasila, tetapi semat-mata menjelaskan tentang bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya ke pada seluruh dunia.
Proklamasi menghendaki Indonesia yang merdeka berdasarkan Pancasila. Negara yang berdasarkan Pancasila itu ingin mencapai masyarakat yang adil dan mekmur dan ikut menciptakan perdamaian dunia. Dengan istilah lain, negara yang berdasarkan Pancasila itu ingin menciptakan masyarakat yang ber-Paancasila. Dengan demikian, Pancasila tidak saja secara status sebagai dasar negara, tetapi juga sebagai ideologi bangsa yang selalu diperjuangkan dengan sekuat tenaga. Sebagai ideologi yang merupakan suatu tuntutan dalam perjuangan, Pancasila memang digali dari pandangan hidup bangsa, karena secara historis ia sudah terdapat di dalam kehidupan bangsa sepanjang sejarahnya.[3]

2.5.    Perdebatan Seputar Lahirnya Pancasila (Islam dan Kristen)
        Dalam sidang-sidang tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 dikemukakan beberapa dasar negara Indonesia merdeka oleh angota-anggota BPUPKI. Rupanya dalam sidang-sidang itu juga disertai perdebatan-perdebatan sengit sekitar dasar negara.[4] Menjelang sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, yang akan mengesahkan UUD, pada 17 Agustus sore, ada sejumlah anak muda yang mengaku wakil umat Kristen dari Indonesia Timur menemui bung Hatta. Mereka menyatakan, kalau tujuh kata dalam Piagam Jakarta tidak dihapus dari makadimah UUD, umat Kristen tidak akan bergabung ke dalam Republik Indonesia. Bung Hatta mengundang sejumlah tokoh Islam bermusyawarah di ruma Bung Hatta dan mengambil keputusan, tanpa sempat konsultasi dengan yang lain, karena alat komunikasi amat terbatas. Tanpa ragu mereka sepakat menghapus tuju kata tersebut dari mukadimah UUD.[5] Menurut Muhammad Hatta dalam tulisan "Wasiat Bung Hatta kepada Guntur Soekarno Putra" yang ditulis pada 16 Juni 1978, BPUPKI kemudian membentuk tim yang terdiri dari sembilan orang untuk merumuskan kembali Pancasila yang dicetuskan Soekarno. Adapun sembilan orang itu adalah Soekarno, Muhammad Hatta, AA Maramis, Abikusno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, Agus Salim, Ahmad Soebardjo, Wahid Hasyim, dan Muhammad Yamin. Dalam rapat panitia Hukum Dasar pada tanggal 11 Juli 1945 yang bertenpat digedung Tyuuoo sangi-In (sekarang Departemen Luar Negri), seorang anggota panitia Hukum Dasar yang beragama Protestan, Mr. Latuharhary menyatakan keberatannya terhadap kelimat yang terdapat dalam piagam jakarta, yaitu "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Apabila kalimat itu masih ada di dalam pembukaan undang-undang dasar, maka menurutnya "akibatnya akan besar sekali, umpanya terhadap agama lain". Selain itu, dia mempertanyakan bagaimana cara melaksanakan syariat Islam tersebut, yang apabila dilaksanakan dapat mengakibatkan rakyat yang menjalankan agama Islam harus meninggalkan adat istiadatnya, misalnya orang Minangkabau yang memiliki adat yang bertentangan dengan agama Islam.
        Oleh karena itu Mr. Latuhahary mengusulkan agar kalimat itu dihapuskan saja dan dicari kalimat yang lain yang tidak akan mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat. Bahkan Djajadiningrat dengan nada bertanya menyatakan akah kalimat itu tidak akan menimbulkan fanatisme, misalnya memaksa sembayang dan lain-lain. Golongan Islam yang merasa kalimat itu sangat penting dan telah diperjuangkan dengan susah paya kemudian menanggapi pernyataan Mr. Latuhahary tersebut. Dalam hal ini, Haji Agus Salim, sebagai salah seorang tokoh Islam terkemuka membantah kekhawatiran yang diungkapkan oleh Mr. Latuharari tersebut akan tetapi tidak direspon dengan baik. Justru Wongsonegoro menguslkan agar kalimat itu ditambah dengan "bagi pemeluk-pemeluk agama lain dengan jalan menurut agamanya masing-masing". Dengan demikian umat Islam di Indonesia ini tidak memiliki keistimewaan karena memiliki kedudukan yang sama dengan pemeluk agama-agama lainnya.
        Dikarenakan dengan perdebatan itu dikhawatirkan akan semakin panjang dan akan memperburuk jalannya rapat, maka Soekarno, sebagai ketua hukum dasar berusaha sekuat tenaga membela hasil keputusan yang menurutnya merupakan kompromi antara golongan kebangsaan dan golongan Islam, bahkan menurutnya apabila ketujuh kata itu tidak di masukkan dalam pembukaan undang-undang dasar maka yang akan terjadi adalah perselisihan yang berkepanjangan karena golongan Islam tentunya tidak akan menerima hal itu. Akhirnya, setelah mendengar perkataan Soekarno itu, perdebatan mengenai kata dalam Piagam Jakarta itu dapat diselesaikan. namun, pada rapat BPUPKI tanggal 14 Juli 1945 masalah ketujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut kembali muncul. Kali ini yang menyinggung masalah itu adalah Ki Bagus Hadikusumo, ketika itu ketua Muhammadiyah. Ki Bagus Hadikusumo mengusulkan agar kata-kata "bagi pemeluk-pemeluknya" dihapuskan saja. Jadi apabila usulan itu diterima, maka kalimatnya akan berbunyi "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam". Usulan Ki Bagus Hadikusumo ini apabila diterima akan mengakibatkan syariat Islam berlaku tidak hanya bagi umat Islam saja tetapi bagi seluruh rakyat Indonesia. Denga usulan ini maka Indonesia benar-benar menjadi negara Islam. Abikoesno Tjokrosoejoso sala satu anggota panitia sembilan juga mendukung pernyataan Soekarno tersebut. Dia meminta agar anggota BPUPKI mengutamakan "perdamaian agar pihak luar tidak melihat para angota BPUPKI selalu berselisi paham".
Setelah mendengar perkataan Abikoesno tersebut, sidang BPUPKI pun menerima secara bulat usulan Abikoesno itu maka berakhirlah perdebatan mengenai ketuju kata dalam Piagam Jakarta. Perjuangan Islam politik pada sidang BPUPKI menunjuk keberhasilan karena Piagam Jakarta berhasil disepakati secara bulat oleh rapat BPUPKI. Akan tetapi, keberhasilan itu tidak berlangsung lama. Satu hari setelah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, golongan Islam harus menerima kekecewaan. Piagam Jakarta tidak menjadi dasar negara Indonesia sebagaimana yang telah disepakati oleh sidang BPUPKI. Dalam sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 Piagam Jakarta yang memuat ketujuh kata itu dihapus atau dicoret. Kali ini golongan Islam tidak berkomentar banyak., dengan demikian anggota PPKI sepakat untuk menghapus ketuju kata itu dari pembukaan uandang-undang dasar negara Indonesia. Kegagalan dari orang Islam mendirikan Indonesia menjadi negara yang Islam mengalami kegagalan sehingga menimbulkan kekecewaan.[6] Pertimbangan bahwa Indonesia merupakan sebuah gugusan kepulauan dari Sabang sampai Merauke itu juga yang menyebabkan muncul usulan agar dasar negara tidak berdasarkan agama tertentu. Oleh karena itu, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 18 Agustus 1945, diputuskan untuk melakukan perubahan pada sila pertama dari yang ditulis dalam Piagam Jakarta.
Tujuh kata itu, "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya", kemudian dihapus. "Sesungguhnya tujuh perkataan itu hanya mengenai penduduk yang beragama Islam saja, pemimpin-pemimpin umat Kristen di Indonesia timur keberatan kalau tujuh kata itu dibiarkan saja, sebab tertulis dalam pokok dari pokok dasar negara kita, sehingga menimbulkan kesan seolah-olah dibedakan warga negara yang beragama Islam dan bukan Islam," demikian penjelasan Muhammad Hatta. Hingga kemudian, rumusan Pancasila versi 18 Agustus 1945 itu menjadi seperti yang dikenal saat ini, yaitu:
1. Ketuhanan yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Keputusan dihapuskannya kata "syariat Islam" memang belum memuaskan sebagian umat Islam. Sebagian kelompok masih berjuang untuk mengembalikan tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu.[7]

2.6.   Piagam Jakarta dalam Perkembangannya
        Pada tanggal 22 Juni 1945, dalam rapat komisi kecil yang terdiri 9 orang, ditambhkan ”7 kata” yang termasyhur di belakang “Ketuhanan”, rumusan itu kemudian dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta. Namun, akhirnya rumusan Piagam Jakarta tidak dapat dipertahankan. Mengapa? Sebenarnya apa yang diungkapakan dalam Piagam Jakarta itu sendiri tidak perlu menimbulkan masalah, karena dengan sendirnya dihapakan bahwa anggota setiap umat beragama, bukan Islam saja, mematuhi aturan agamanya dan tulus hati percaya pada ajarannya.Yang mempersoalkan Piagam Jakarta ialah bahwa tempat “7kata” itu dipilah salah. Jika mereka masukkan dalam rumusan Pancasila seperti dirancangkan dalam Piagam Jakrta, maka ia berarti bahwanegara dibebani tugas khusus terhadap pemeluk salah satu agama saja, dan dengan demikian mengistimewwakannya terhadap yang lain-lain.
        Jadi negara tidak netral, ia membedakan antar-kelompok bangsa dan memberikan perhatiam yang lebih besar terhadap satu ketimbangan yang lain. Dengan demikian kesatuan akan hancur. Jadi logika Pancasila sebagai rumusan dasar bagi gerakan kebangsaan Indonesia, menutut sendiri agar rumusan “7 kata ” itu mesti dihilangkan dari pancasila dan konstitusi itu sendiri. Ketika pihak umat Islam menyetujui penghapusan “7 kata” dari Piagam Jakarta, ada seorang wakil mereka yaitu Ki Bagus Hadikusumo mengatakan bahwa bagaimanapun, baik orang Islam sila pertama “Ketuhanan yang Maha Esa” mesti dipahami menurut akidah Islam, artinya setuap umat beragama harus memberikan pemahaman sendiri atas rumusan itu. Dan umat Islam tentu tidak bisa lain daipada memahaminya sesuai dengan kepercayaan mereka sendiri.[8]

2.7.   Pancasila Sebagai Tawaran Final: Titik Konvergensi dalam Kepelbagaian
         Pancasila sebagai ideologi pemersatu yang memberikan identitas tidak boleh menjadi sistem yang tertutup sehingga justru menghambat modernisasi. Agama sebagai realitas sosial memang dapat menjadi faktor pemersatu yang kuat, namun sekaligus dengan itu ia juga dapat membuat sebuah masyarakat majemuk terkotak-kotak bahkan terkoyak-koyak. [9] Pancasila sebagai landasan utama negara yang menjadi pemersatu serta dasar budaya nasional yang terdiri dari banyaknya kebudayaan daerah yang telah dipersatukan dengan simboyan Bineka Tunggal Ika.[10] Pancasila telah diakui sebagai ideologi dan dasar negara yang terumuskan dalam Pembukaan UUD 1945. Pada hakikatnya, Pancasila mencerminkan nilai keseimbangan, keserasian, keselarasan dan kesatuan, kekeluargaan, kebersamaan dan kearifan dalam membina kehidupan nasional. Perpaduan nilai-nila tersebut mampu mewadahi kebinekaan seluruh aspirasi bansa Indonesia. Pancasila merupakan sumber motivasi bagi perjuangan seluruh bangsa Indonesia dalam tekadnya untuk menata kehidupan di dalam negara kesatuan yang berdaulat.[11]
           Tujuan negara yang dirumuskan adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah dara Indonesia dan untuk menmajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Tujuan negara tersebut haruslah mengarah kepada terwujudnya masyarakat yang adil , makmur, dan sejahtera susuai dengan semangat dan nilai-nilai pancasila. Dalam hal ini, maka Ideologi Pancasila sudah jelas, yaitu sebagai keseluruhan pandangan hidup, cita-cita, keyakinan, dan nilai bangsa Indonesia yang membentuk masyarakat dan cita-citanya. Secara normatif, Ideologi pancasila perlu diwujudkan dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.[12]

2.8.     Tinjauan Historis Kritis Penghapusan Tujuh Kata dalam Pancasila dan Implikasinya Bagi Keutuhan BangsaIndonesia
        Setelah sidang pertama BPUPKI dilaksanakan, terjadi perdebatan sengit yang disebabkan perbedaan pendapat. Karena apabila dilihat lebih jauh para anggota BPUPKI terdiri dari elit Nasionalis netral agama, elit Nasionalis Muslim dan elit Nasionalis Kristen. Elit Nasionalis Muslim di BPUPKI mengusulkan Islam sebagai dasar Negara, namun dengan kesadaran yang dalam akhirnya terjadi kompromi politik antara Nasionalis netral agama dengan Nasionalis Muslim untuk menyepakati Piagam Jakarta (22 Juni 1945) yang berisi “tujuh kata”: “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” . Kesepakatan peniadaan tujuh kata itu dilakukan dengan cepat dan legowo demi kepentingan nasional oleh elit Muslim: Moh. Hatta; Ki Bagus Hadikusumo, Teuku Moh. Hasan dan tokoh muslim lainnya. Jadi elit Muslim sendiri tidak ingin republik yang dibentuk ini merupakan negara berbasis agama tertentu. Pada awal kelahirannya, menurut Onghokham dan Andi Achdian, Pancasila tidak lebih sebagai kontrak sosial. Hal tersebut ditunjukkan oleh sengitnya perdebatan dan negosiasi di tubuh BPUPKI dan PPKI ketika menyepakati dasar negara yang kelak digunakan Indonesia merdeka. Inilah perjalanan The Founding Fathers[13] yang begitu teliti mempertimbangkan berbagai kemungkinan dan keadaan agar dapat melahirkan dasar negara yang dapat diterima semua lapisan masyarakat Indonesia.[14] Seharusnya tidak ada lagi pertentanga mengenai penghapusan 7 kata tersebut, karena nila luhur yang Bhineka Tunggal Ika yang berda dalam Pancasila akan mempererat persatuan bangsa dari realitas kemajemukan. Menurut Eka Darmaputra dalam bukunya Pancasila  Identitas dan Modernitas Seluruh pembahasan mengenai Indonesia  menunjukkan bahwa keanekaragaman maupun kesatuan Indonesia adalah kenyataan, dan sekaligus persoalan. Setiap pembahasan tentang Indonesia yang mengabaikan kedua atau salah satu demensi tersebut, dapatlah dipastikan tidak akan mencapai sasaran yaitu cita-cita yang terkandung dalam Pancasila.[15]

2.9.        Analisa Penyeminar
        Setelah memahami bagaimana perumusan Pancasila dalam sejarahnya kami berpendapat bahwa pengahapusan tuju kata dalam sila pertama pancasila sangatlah baik, mengingat Indonesia adalah sebuah negara yang didalamnya dipenuhi kepelbagaian dan negara yang demokratis, maka penerapan akan sila dalam Pancasila haruslah secara demokratis juga. Maka pemahaman akan pendeskriminasian oleh kalang tertentu akan dilupakan. Seluruh rakyat Indonesia (perorangan/ kelompok)  tidak perlu mengembalikan ataupun menuntut Piagam Jakarta untuk diberlakukan kembali, karena Pancasila yang telah kita pahami saat ini tidaklah memihak non muslim ataupun  merugikan Umat Islam, tetapi merangkul seluruh rakyat Indonesia secara demokratis.
        Pancasila yang kita anut sekarang ini adalah pancasila yang demokratis, dimana hal itu dapat dilihat dari prinsip-prinsip dalam penerapannya. Prinsip demokrasi Pancasila yang dimaksud sebagai berikut:[16]
           1. Perlindungan Hak Asasi Manusia
           2. Pengambilan keputusan berdasar musyawarah
           3. Badan peradilan merdeka yang berarti tidak terpengaruhi akan kekuasaan pemerintah                dan kekuasaan lain. Misalnya Presiden, BPK, DPR atau yang lainnya.
           4. Terdapat partai politik dan juga organisasi sosial politik yang berfungsi untuk                 menyalurkan aspirasi rakyat
           5. Sebagai pelaksanaan dalam pemilihan umum
           6. Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD
           7. Keseimbangan antara hak dan kewajiban
           8. Pelaksanaan kebebasan yang bertanggaung jawab secara moral kepada Tuhan YME       diri sendiri, masyarakat, dan negara ataupun orang lain.
           9. Menjungjung tinggi tujuan dan juga cita-cita nasional
           10. Pemerintah menurut hukum, dijelaskan dalam UUD 1945 yang berbunyi:
            a. Indonesia adalah negara berdasarkan hukum (rechtstaat) dan tidak          berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat)
            b. Pemerintah berdasar dari sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat   absolutisme (kekuasaan tidak terbatas)
            c. Kekuasaan yang tertinggi ada ditangan rakyat.

III.             Kesimpulan
Dari Pemaparan diatas dapat disimpulkan, bahwa penghapusan 7 kata dalam sila pertama Pancasila sangatlah relevan, karena mengingat Indonesia adalah negara yang Multi Kultural dan Multi Religius. Dengan demikian tidak ada pendiskriminasian terhadap golongan atau agama tertentu. Kami juga menawarkan supaya Pancasila dijadikan sebagai tawaran final titik konfergensi dalam kepelbagaian di tubuh ibu Pertiwi, sehingga dengan demikian kesatuan dalam persatuan se-Indonesia adalah harga Mati.




[1] Purwito Adi, Buku Ajar Pancasila, (Malam: Universitas Kanjuruhan Malang, 2015), 22-23
[2] Ibid, 24-27
[3]  Suparman, Pancasila, (Jakarta: PT. Balai Pustaka, 2012), 43
[4]  P.J. Suwarno, Pancasila Budaya Bangsa Idonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 44
                [5]  Abdullah Ubaid & Mohammad Bakir (ed), Nasionalisme Islam Nusantara, (Jakarta: Kompas, 2015), 12
  [6] Jamiluddin Ali http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20251431-RB00J33i-Islam%20kultural.pdf diakses pada tanggal 1 April 2017 Pukul 18.09 wib
[7]ttp://nasional.kompas.com/read/2016/06/01/09210021/Perubahan.Urutan.Pancasila.dan.Perdebatan.Syariat.Islam.di.Piagam.Jakarta
[8] Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia, (Jakarta: BPK-GM, 2007), 81-82
[9] Martin L. Sinaga, dkk, Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia, (Jakarta: BPK-GM, 2005), 220
              [10] Tim Penyusun Studi Pancasila UGM, Prosiding Kongres Pancasila VI, (Yogyakarta: Pusat Studi Pancasila-UGM, 2014), 320
            [11]  S. Sumarsono, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006),82-83
                [12]Aim Abdulkarim, Pendidikan Kewarganegaraan: Membangun Warga Negara yang Demokratis, (Jakarta: Grafindo Media Pratama, ttp) 8
                [13] Bapak bangsa Indonesia sering disebut sebagai The Founding Fathers adalah julukan bagi 68 orang tokoh Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan bangsa asing dan berperan dalam perumusan bentuk atau format negara yang akan dikelola setelah kemerdekaan. https://id.wikipedia.org/wiki/Bapak_bangsa_Indonesia
                [14] Djoko Santoso, Materi Ajar Kuliah Pendidikan Pancasila, (Jakarta: Direktorat Pemelajaran dan Kemahasiswaan Rektorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2013), 7-8
                [15]  Eka Darmaputra, Pancasila Identitas dan Modernitas, (Jakarta: BPK-GM, 1993), 40
                [16] Sarinah, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), 60

Khotbah semptember 2020

 Minggu, 6 September 2020, 13-Set Trinitatis Tema : Manusia Tidak Untuk Diperjual-belikan Ev : Matius 27: 1-10 Pengantar Era globalisasi...