Nama Johannes Nababan
Mata Kuliah :Seminar Sejarah Gereja
Penghapusan Tujuh Kata dalam
Pancasila
Tinjauan Historis Kritis
Penghapusan Tujuh Kata dalam Pancasila dan Implikasinya Bagi Keutuhan Bangsa Indonesia
I.
Latar
Belakang Masalah
Indonesia merupakan
negara agraris dengan berbagai sumber daya alamnya yang melimpah, terbentang
dari Sabang dan Merauke. Masyarakatnya pun terbentuk dari berbagai macam suku,
ras, dan agama yang berbeda-beda, sehingga Indonesia dikatakan sebuah negara
yang kaya dengan keanekaragaman (plural). Tak dapat dipungkiri, diferensiasi
yang terjadi sebagai akibat kemajemukan itu telah menyebabkan terjadinya
ketegangangan sosial di tengah kehidupan seperti perbedaan strata sosial,
diskriminasi ras dan perbedaan kepentingan di sektor ekonomi, politik, budaya
dan lain-lainnya.
Problem
terbesar bangsa ini dibidang ideologi-politik hingga saat ini ibarat bola
api yang bergulir panas. Adanya tuntutan untuk diberlakukannya
kembali Pancasila versi Piagam Jakarta oleh kalangan tertentu, hal ini tidak saja memicu dan memunculkan
banyak kecurigaan dan kontraversi sosio-politik publik di tanah air, tetapi
itupun telah menjadi tanda bahwa persoalan ideologi negara pancasila masih
menjadi ancaman bagi proses integrasi bangsa Indonesia tercinta ini. Masalah
yang sering muncul mengenai penghapusan tujuh kata pada sila pertama pancasila
dimana disana dikatakan “Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya”. Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, Indonesia adalah Negara yang multi
kultural dan multi religious sehingga point sila pertama pada pancasila dalam
persi Piagam
Jakarta tidak relevan dijadikan ideologi Indonesia, akan tetapi masih ada
kelompok ataupun perorangan untuk mengembalikan kembali ideologi Negara pada
persi Piagam Jakarta.
Maka dengan masalah
tersebut pada kesempatan kali ini kami para penyeminar mencoba menggali
bagaimana sebenarnya sejarah terbentuknya pancasila sebagai dasar Negara
terkhusus dalam penghapusan tujuh kata pada silah pertama dan implikasinya bagi
keutuhan bangsa Indonesia. Semoga seminar ini dapat menambah wawasan kita
bersama.
II.
Pembahasan
2.1.
Pengertian
Pancasila Secara Etimologi
Secara etimologis istilah Pancasila berasal dari bahsa
sansekerta. Menurut Moh. Yamin, dalam bahasa sansekerta kata “Pancasila”
memiliki arti dua macam secara leksikal, yaitu “panca” artinya “lima”
“syila”
vokal i pendek artinya batu sendi atau dasar.
“syiila”
vokal i panjang artinya peraturan tingkah laku yang baik.
Kata-kata tersebut kemudian dalam bahsa Indonesia
terutama bahasa jawa diartikan “susila” yang memiliki hubungan dengan
moralitas. Oleh karena itu secara etimologis kata Pancasila yang dimaksudkan
adalah Panca Syila dengan vokal i pendek yang memiliki makna leksikal “berbatu sendi
lima” atau secara harafiah “dasar yang memiliki lima unsur”, hal ini dapat juga
diartikan lima aturan tingkah laku yang penting/baik.
2.2.Pengertian
Pancasila Secara Historis
Proses perumusan Pancasila diawali ketika dalam sidang BPUPKI pertama dr. Radjiman Widyodiningrat, mengajukan suatu masalah,
khususnya akan dibahas pada sidang tersebut. Masalah tersebut adalah tentang
suatu calon rumusan dasar negara Indonesia yang akan dibentuk. Kemudian
tampilah pada sidang tersebut tiga orang pembicara yaitu Mohammad Yamin,
Soepomo dan Soekarno. Pada tanggal 1 Juni 1945 di dalam sidang tersebut
Ir.Soerkarno berpidato secara lisan (tanpa teks) mengenai calon rumusan dasar
negara Indonesia. Kemudian untuk memberi nama istilah dasar negara tersebut
Soekarno memberikan nama “Pancasila” yang artinya lima dasar, hal ini menurut
Soekarno atas saran dari salah seorang temannya yaitu seorang ahli bahasa yang
tidak disebutkan namanya.
Pada tanggal 17
Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, kemudian keesokan
harinya tanggal 18 Agustus 1945 disahkanlah Undang-Undang Dasar 1945 termasuk
Pembukaan UUD 1945 dimana di dalamnya termuat isi rumusan lima prinsip atau
lima prinsip sebagai satu dasar negara yang diberi nama Pancasila. Sejak saat
itulah perkataan Pancasila telah menjadi bahasa Indonesia dan merupakan istilah
umum. Walaupun dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 tidak termuat istilah
“Pancasila”, namun yang dimaksudkan Dasar Negara Republik Indonesia adalah
disebut dengan istilah “Pancasila”. Hal ini didasarkan atas interpretasi
historis terutama dalam rangka pembentukan calon rumusan dasar negara, yang
kemudian secara spontan diterima oleh peserta sidang secara bulat.
Demikianlah
riwayat singkat Pancasila baik dari segi istilahnya maupun proses perumusannya,
sampai menjadi dasar negara yang sah sebagaimana terdapat dalam pembukaan UUD
1945. Adapun secara terminologi historis proses perumusan Pancasila adalah
sebagai berikut :
a. Mr. Muhammad Yamin (29 Mei 1945)
Pada tanggal 29 Mei 1945 tersebut BPUPKI mengadakan
sidangnya yang pertama. Pada kesempatan ini Mr. Muhammad Yamin mendapat
kesempatan yang pertama untuk mengemukakan pemikirannya tentang dasar negara di
hadapan sidang lengkap Badan Penyelidik. Pidato Mr. Muh.Yamin itu berisikan
lima asas dasar negara Indonesia Merdeka yang diidam-idamkan, sebagai berikut :
1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Kesejahteraan
Rakyat
Setelah berpidato beliau juga menyampaikan usul tertulis
mengenai rancangan UUD Republik Indonesia. Di dalam Pembukaan dari rancangan
UUD tersebut tercantum rumusan lima dasar negara yang rumusannya adalah sebagai
berikut :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kebangsaan persatuan Indonesia
3. Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
b. Ir. Soekarno (1 Juni 1945)
Pada tanggal 1 Juni 1945 tersebut Soekarno mengucapkan
pidatonya di hadapan sidang Badan Penyelidik. Dalam pidato tersebut diajukan
oleh Soekarno secara lisan usulan lima asas sebagai dasar negara Indonesia yang
akan dibentuknya, yang rumusannya adalah sebagai berikut :
1. Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau Perikemanusiaan
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan sosial
5. Ketuhanan yang berkebudayaan
Untuk usulan tentang rumusan dasar negara tersebut beliau
mengajukan agar dasar negara tersebut diberi nama “Pancasila”, yang diakatakan
oleh beliau istilah itu atas saran dari salah seorang ahli bahasa, namun
sayangnya tidak disebutkan nama seorang ahli bahasa tersebut. Usul mengenai
nama “Pancasila” bagi dasar negara tersebut secara bulat diterima oleh sidang
BPUPKI. Selanjutnya beliau mengusulkan bahwa kelima sila tersebut dapat diperas
menjadi “TriSila” yang rumusannya :
1. Sosio Nasional yaitu “Nasionalisme dan Internasionalisme”
2. Sosio Demokrasi yaitu “Demokrasi dengan Kesejahteraan rakyat”
3. Ketuhanan Yang Maha Esa
Adapun “Tri Sila”
tersebut masih diperas lagi menjadi “Eka Sila” atau satu sila yang
intinya adalah “gotong-royong”.
c. Piagam Jakarta (22 Juni 1945)
Pada tanggal 22 Juni 1945 sembilan tokoh nasional
mengadakan pertemuan untuk membahas pidato serta usul-usul mengenai dasar
negara yang telah dikemukakan dalam sidang Badan Penyelidik. Sembilan tokoh
tersebut dikenal sebagai “Panitia Sembilan”, yang setelah mengadakan sidang
berhasil menyusun sebuah naskah piagam yang dikenal “Piagam Jakarta” yang di
dalamnya memuat Pancasila, sebagai buah hasil pertama kali disepakati oleh
sidang. Adapun rumusan Pancasila sebagaimana termuat dalam Piagam Jakarta
adalah sebagai berikut :
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
Perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
2.3.Pengertian
Pancasila Secara Terminologis
Proklasmasi
Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 itu telah melahirkan negara Republik
Indonesia. Untuk melengkapi alat-alat perlengkapan negara sebagaimana lazimnya
negara-negara yang merdeka, maka Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
segera mengadakan sidang. Dalam sidangnya tangggal 18 Agustus 1945 telah
berhasil mengesahkan UUD negara Republik Indonesia yang dikenal dengan UUD
1945. Adapun UUD 1945 tersebut terdiri atas dua bagian yaitu Pembukaan UUD 1945
dan pasal-pasal UUD 1945 yang berisi 37 pasal, 1 Aturan Peralihan yang terdiri
atas 4 pasal, dan 1 Aturan Tambahan terdiri atas 2 ayat. Dalam bagian Pembukaan
UUD 1945 yang terdiri atas empat alinea tersebut tercantum rumusan Pancasila
sebagai berikut :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam
permusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan Pancasila sebagaimana tercantum dalam pembukaan
UUD 1945 inilah yang secara konstitusional sah dan benar sebagai dasar negara
Republik Indonesia, yang disahkan oleh PPKI yang mewakili seluruh rakyat
Indonesia.
2.4.Pancasila
Sebagai Ideologi Negara
Pancasila adalah sebagai suatu sistem filsafat bangsa
Indonesia dan negara Indonesia. Oleh karena itu, ideologi nasional yang dianut
dan dilaksanakan oleh bangsa dan negara Indonesia adalah ideologi Pancasila.
Artinya, Pancasila adalah ideologi nasional, ideologi bangsa dan negara
Indonesia, yang bersumber kepada Pancasila sebagai sestem filsafat. Pancasila
dijadikan sebagi ideologi Negara Keasutuan Republik Indonesia sejak tanggal 17
Agustus 1945, walaupun secara yudiris hal itu baru disahkan pada tanggal 18
Agustus 1945. Proklamasi Kemerdekaan tidak menyinggung tentang Pancasila,
tetapi semat-mata menjelaskan tentang bangsa Indonesia menyatakan
kemerdekaannya ke pada seluruh dunia.
Proklamasi menghendaki Indonesia yang merdeka berdasarkan
Pancasila. Negara yang berdasarkan Pancasila itu ingin mencapai masyarakat yang
adil dan mekmur dan ikut menciptakan perdamaian dunia. Dengan istilah lain,
negara yang berdasarkan Pancasila itu ingin menciptakan masyarakat yang
ber-Paancasila. Dengan demikian, Pancasila tidak saja secara status sebagai
dasar negara, tetapi juga sebagai ideologi bangsa yang selalu diperjuangkan
dengan sekuat tenaga. Sebagai ideologi yang merupakan suatu tuntutan dalam
perjuangan, Pancasila memang digali dari pandangan hidup bangsa, karena secara
historis ia sudah
terdapat di dalam kehidupan bangsa sepanjang sejarahnya.
2.5.
Perdebatan Seputar Lahirnya Pancasila (Islam
dan Kristen)
Dalam sidang-sidang tanggal 29 Mei-1
Juni 1945 dikemukakan beberapa dasar negara Indonesia merdeka oleh angota-anggota
BPUPKI. Rupanya dalam sidang-sidang itu juga disertai perdebatan-perdebatan
sengit sekitar dasar negara. Menjelang sidang Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, yang akan mengesahkan UUD,
pada 17 Agustus sore, ada sejumlah anak muda yang mengaku wakil umat Kristen
dari Indonesia Timur menemui bung Hatta. Mereka menyatakan, kalau tujuh kata
dalam Piagam Jakarta tidak dihapus dari makadimah UUD, umat Kristen tidak akan
bergabung ke dalam Republik Indonesia. Bung Hatta mengundang sejumlah tokoh
Islam bermusyawarah di ruma Bung Hatta dan mengambil keputusan, tanpa sempat
konsultasi dengan yang lain, karena alat komunikasi amat terbatas. Tanpa ragu
mereka sepakat menghapus tuju kata tersebut dari mukadimah UUD.
Menurut Muhammad Hatta dalam tulisan "Wasiat Bung Hatta kepada Guntur
Soekarno Putra" yang ditulis pada 16 Juni 1978, BPUPKI kemudian membentuk
tim yang terdiri dari sembilan orang untuk merumuskan kembali Pancasila yang
dicetuskan Soekarno. Adapun sembilan orang itu adalah Soekarno, Muhammad Hatta,
AA Maramis, Abikusno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, Agus Salim, Ahmad
Soebardjo, Wahid Hasyim, dan Muhammad Yamin. Dalam rapat panitia Hukum Dasar
pada tanggal 11 Juli 1945 yang bertenpat digedung Tyuuoo sangi-In (sekarang
Departemen Luar Negri), seorang anggota panitia Hukum Dasar yang beragama
Protestan, Mr. Latuharhary menyatakan keberatannya terhadap kelimat yang
terdapat dalam piagam jakarta, yaitu "dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Apabila
kalimat itu masih ada di dalam pembukaan undang-undang dasar, maka menurutnya
"akibatnya akan besar sekali, umpanya terhadap agama lain". Selain
itu, dia mempertanyakan bagaimana cara melaksanakan syariat Islam tersebut,
yang apabila dilaksanakan dapat mengakibatkan rakyat yang menjalankan agama
Islam harus meninggalkan adat istiadatnya, misalnya orang Minangkabau yang
memiliki adat yang bertentangan dengan agama Islam.
Oleh karena itu Mr. Latuhahary
mengusulkan agar kalimat itu dihapuskan saja dan dicari kalimat yang lain yang
tidak akan mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat. Bahkan Djajadiningrat
dengan nada bertanya menyatakan akah kalimat itu tidak akan menimbulkan
fanatisme, misalnya memaksa sembayang dan lain-lain. Golongan Islam yang merasa
kalimat itu sangat penting dan telah diperjuangkan dengan susah paya kemudian
menanggapi pernyataan Mr. Latuhahary tersebut. Dalam hal ini, Haji Agus Salim,
sebagai salah seorang tokoh Islam terkemuka membantah kekhawatiran yang
diungkapkan oleh Mr. Latuharari tersebut akan tetapi tidak direspon dengan
baik. Justru Wongsonegoro menguslkan agar kalimat itu ditambah dengan
"bagi pemeluk-pemeluk agama lain dengan jalan menurut agamanya masing-masing".
Dengan demikian umat Islam di Indonesia ini tidak memiliki keistimewaan karena
memiliki kedudukan yang sama dengan pemeluk agama-agama lainnya.
Dikarenakan
dengan perdebatan itu dikhawatirkan akan semakin panjang dan akan memperburuk
jalannya rapat, maka Soekarno, sebagai ketua hukum dasar berusaha sekuat tenaga
membela hasil keputusan yang menurutnya merupakan kompromi antara golongan
kebangsaan dan golongan Islam, bahkan menurutnya apabila ketujuh kata itu tidak
di masukkan dalam pembukaan undang-undang dasar maka yang akan terjadi adalah
perselisihan yang berkepanjangan karena golongan Islam tentunya tidak akan
menerima hal itu. Akhirnya, setelah mendengar perkataan Soekarno itu,
perdebatan mengenai kata dalam Piagam Jakarta itu dapat diselesaikan. namun,
pada rapat BPUPKI tanggal 14 Juli 1945 masalah ketujuh kata dalam Piagam
Jakarta tersebut kembali muncul. Kali ini yang menyinggung masalah itu adalah
Ki Bagus Hadikusumo, ketika itu ketua Muhammadiyah. Ki Bagus Hadikusumo
mengusulkan agar kata-kata "bagi pemeluk-pemeluknya" dihapuskan saja.
Jadi apabila usulan itu diterima, maka kalimatnya akan berbunyi "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam".
Usulan Ki Bagus Hadikusumo ini apabila diterima akan mengakibatkan syariat
Islam berlaku tidak hanya bagi umat Islam saja tetapi bagi seluruh rakyat
Indonesia. Denga usulan ini maka Indonesia benar-benar menjadi negara Islam.
Abikoesno Tjokrosoejoso sala satu anggota panitia sembilan juga mendukung
pernyataan Soekarno tersebut. Dia meminta agar anggota BPUPKI mengutamakan
"perdamaian agar pihak luar tidak melihat para angota BPUPKI selalu
berselisi paham".
Setelah mendengar perkataan Abikoesno
tersebut, sidang BPUPKI pun menerima secara bulat usulan Abikoesno itu maka
berakhirlah perdebatan mengenai ketuju kata dalam Piagam Jakarta. Perjuangan
Islam politik pada sidang BPUPKI menunjuk keberhasilan karena Piagam Jakarta
berhasil disepakati secara bulat oleh rapat BPUPKI. Akan tetapi, keberhasilan
itu tidak berlangsung lama. Satu hari setelah proklamasi kemerdekaan tanggal 17
Agustus 1945, golongan Islam harus menerima kekecewaan. Piagam Jakarta tidak
menjadi dasar negara Indonesia sebagaimana yang telah disepakati oleh sidang
BPUPKI. Dalam sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 Piagam Jakarta yang memuat
ketujuh kata itu dihapus atau dicoret. Kali ini golongan Islam tidak
berkomentar banyak., dengan demikian anggota PPKI sepakat untuk menghapus
ketuju kata itu dari pembukaan uandang-undang dasar negara Indonesia. Kegagalan
dari orang Islam mendirikan Indonesia menjadi negara yang Islam mengalami
kegagalan sehingga menimbulkan kekecewaan.
Pertimbangan bahwa Indonesia merupakan sebuah gugusan kepulauan dari Sabang
sampai Merauke itu juga yang menyebabkan muncul usulan agar dasar negara tidak
berdasarkan agama tertentu. Oleh karena itu, dalam rapat Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia pada 18 Agustus 1945, diputuskan untuk melakukan
perubahan pada sila pertama dari yang ditulis dalam Piagam Jakarta.
Tujuh kata itu, "dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya", kemudian dihapus.
"Sesungguhnya tujuh perkataan itu hanya mengenai penduduk yang beragama
Islam saja, pemimpin-pemimpin umat Kristen di Indonesia timur keberatan kalau
tujuh kata itu dibiarkan saja, sebab tertulis dalam pokok dari pokok dasar
negara kita, sehingga menimbulkan kesan seolah-olah dibedakan warga negara yang
beragama Islam dan bukan Islam," demikian penjelasan Muhammad Hatta.
Hingga kemudian, rumusan Pancasila versi 18 Agustus 1945 itu menjadi
seperti yang dikenal saat ini, yaitu:
1. Ketuhanan yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Keputusan dihapuskannya kata "syariat
Islam" memang belum memuaskan sebagian umat Islam. Sebagian kelompok masih
berjuang untuk mengembalikan tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu.
2.6.
Piagam
Jakarta dalam Perkembangannya
Pada tanggal
22 Juni 1945, dalam rapat komisi kecil yang terdiri 9 orang, ditambhkan ”7
kata” yang termasyhur di belakang “Ketuhanan”, rumusan itu kemudian dikenal
dengan sebutan Piagam Jakarta. Namun, akhirnya rumusan Piagam Jakarta tidak
dapat dipertahankan. Mengapa? Sebenarnya apa yang diungkapakan dalam Piagam
Jakarta itu sendiri tidak perlu menimbulkan masalah, karena dengan sendirnya
dihapakan bahwa anggota setiap umat beragama, bukan Islam saja, mematuhi aturan
agamanya dan tulus hati percaya pada ajarannya.Yang mempersoalkan Piagam
Jakarta ialah bahwa tempat “7kata” itu dipilah salah. Jika mereka masukkan
dalam rumusan Pancasila seperti dirancangkan dalam Piagam Jakrta, maka ia
berarti bahwanegara dibebani tugas khusus terhadap pemeluk salah satu agama
saja, dan dengan demikian mengistimewwakannya terhadap yang lain-lain.
Jadi negara
tidak netral, ia membedakan antar-kelompok bangsa dan memberikan perhatiam yang
lebih besar terhadap satu ketimbangan yang lain. Dengan demikian kesatuan akan hancur.
Jadi logika Pancasila sebagai rumusan dasar bagi gerakan kebangsaan Indonesia,
menutut sendiri agar rumusan “7 kata ” itu mesti dihilangkan dari pancasila dan
konstitusi itu sendiri. Ketika pihak umat Islam menyetujui penghapusan “7 kata”
dari Piagam Jakarta, ada seorang wakil mereka yaitu Ki Bagus Hadikusumo
mengatakan bahwa bagaimanapun, baik orang Islam sila pertama “Ketuhanan yang Maha Esa” mesti
dipahami menurut akidah Islam, artinya setuap umat beragama harus memberikan
pemahaman sendiri atas rumusan itu. Dan umat Islam tentu tidak bisa lain
daipada memahaminya sesuai dengan kepercayaan mereka sendiri.
2.7.
Pancasila
Sebagai Tawaran Final: Titik Konvergensi dalam Kepelbagaian
Pancasila sebagai ideologi pemersatu yang memberikan
identitas tidak boleh menjadi sistem yang tertutup sehingga justru menghambat
modernisasi. Agama sebagai realitas sosial memang dapat menjadi faktor
pemersatu yang kuat, namun sekaligus dengan itu ia juga dapat membuat sebuah
masyarakat majemuk terkotak-kotak bahkan terkoyak-koyak.
Pancasila sebagai landasan utama negara yang menjadi pemersatu serta dasar
budaya nasional yang terdiri dari banyaknya kebudayaan daerah yang telah
dipersatukan dengan simboyan Bineka Tunggal Ika.
Pancasila telah diakui sebagai ideologi dan dasar negara yang terumuskan dalam
Pembukaan UUD 1945. Pada hakikatnya, Pancasila mencerminkan nilai keseimbangan,
keserasian, keselarasan dan kesatuan, kekeluargaan, kebersamaan dan kearifan
dalam membina kehidupan nasional. Perpaduan nilai-nila tersebut mampu mewadahi
kebinekaan seluruh aspirasi bansa Indonesia. Pancasila merupakan sumber
motivasi bagi perjuangan seluruh bangsa Indonesia dalam tekadnya untuk menata
kehidupan di dalam negara kesatuan yang berdaulat.
Tujuan negara yang dirumuskan adalah melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah dara Indonesia dan untuk menmajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial. Tujuan negara tersebut haruslah mengarah kepada terwujudnya masyarakat
yang adil , makmur, dan sejahtera susuai dengan semangat dan nilai-nilai
pancasila. Dalam hal ini, maka Ideologi Pancasila sudah jelas, yaitu sebagai
keseluruhan pandangan hidup, cita-cita, keyakinan, dan nilai bangsa Indonesia
yang membentuk masyarakat dan cita-citanya. Secara normatif, Ideologi pancasila
perlu diwujudkan dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
2.8.
Tinjauan Historis Kritis
Penghapusan Tujuh Kata dalam Pancasila dan Implikasinya
Bagi Keutuhan BangsaIndonesia
Setelah sidang pertama
BPUPKI dilaksanakan, terjadi perdebatan sengit yang disebabkan perbedaan
pendapat. Karena apabila dilihat lebih jauh para anggota BPUPKI terdiri dari
elit Nasionalis netral agama, elit Nasionalis Muslim dan elit Nasionalis
Kristen. Elit Nasionalis Muslim di BPUPKI mengusulkan Islam sebagai dasar
Negara, namun dengan kesadaran yang dalam akhirnya terjadi kompromi politik
antara Nasionalis netral agama dengan Nasionalis Muslim untuk menyepakati Piagam
Jakarta (22 Juni 1945) yang berisi “tujuh kata”: “…dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha
Esa” . Kesepakatan peniadaan tujuh kata itu dilakukan dengan cepat dan legowo
demi kepentingan nasional oleh elit Muslim: Moh. Hatta; Ki Bagus Hadikusumo,
Teuku Moh. Hasan dan tokoh muslim lainnya. Jadi elit Muslim sendiri tidak ingin
republik yang dibentuk ini merupakan negara berbasis agama tertentu. Pada awal
kelahirannya, menurut Onghokham dan Andi Achdian, Pancasila tidak lebih sebagai
kontrak sosial. Hal tersebut ditunjukkan oleh sengitnya perdebatan dan
negosiasi di tubuh BPUPKI dan PPKI ketika menyepakati dasar negara yang kelak
digunakan Indonesia merdeka. Inilah perjalanan The Founding Fathers
yang begitu teliti mempertimbangkan berbagai kemungkinan dan keadaan agar
dapat melahirkan dasar negara yang dapat diterima semua lapisan masyarakat
Indonesia.
Seharusnya tidak ada lagi pertentanga mengenai penghapusan 7 kata tersebut,
karena nila luhur yang Bhineka Tunggal
Ika yang berda dalam Pancasila akan mempererat persatuan bangsa dari
realitas kemajemukan. Menurut Eka Darmaputra dalam bukunya Pancasila Identitas dan Modernitas Seluruh pembahasan
mengenai Indonesia menunjukkan bahwa
keanekaragaman maupun kesatuan Indonesia adalah kenyataan, dan sekaligus
persoalan. Setiap pembahasan tentang Indonesia yang mengabaikan kedua atau
salah satu demensi tersebut, dapatlah dipastikan tidak akan mencapai sasaran
yaitu cita-cita yang terkandung dalam Pancasila.
2.9.
Analisa Penyeminar
Setelah memahami bagaimana perumusan Pancasila dalam
sejarahnya kami berpendapat bahwa pengahapusan tuju kata dalam sila pertama
pancasila sangatlah baik, mengingat Indonesia adalah sebuah negara yang
didalamnya dipenuhi kepelbagaian dan negara yang demokratis, maka penerapan
akan sila dalam Pancasila haruslah secara demokratis juga. Maka pemahaman akan
pendeskriminasian oleh kalang tertentu akan dilupakan. Seluruh rakyat Indonesia
(perorangan/ kelompok) tidak perlu
mengembalikan ataupun menuntut Piagam Jakarta untuk diberlakukan kembali,
karena Pancasila yang telah kita pahami saat ini tidaklah memihak non muslim
ataupun merugikan Umat Islam, tetapi
merangkul seluruh rakyat Indonesia secara demokratis.
Pancasila yang kita anut sekarang ini
adalah pancasila yang demokratis, dimana hal itu dapat dilihat dari
prinsip-prinsip dalam penerapannya. Prinsip demokrasi Pancasila yang dimaksud
sebagai berikut:
1. Perlindungan Hak Asasi Manusia
2. Pengambilan keputusan berdasar musyawarah
3. Badan peradilan merdeka yang berarti tidak terpengaruhi
akan kekuasaan pemerintah dan
kekuasaan lain. Misalnya Presiden, BPK, DPR atau yang lainnya.
4. Terdapat partai politik dan juga organisasi sosial
politik yang berfungsi untuk menyalurkan
aspirasi rakyat
5. Sebagai pelaksanaan dalam pemilihan umum
6. Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut UUD
7. Keseimbangan antara hak dan kewajiban
8. Pelaksanaan kebebasan yang bertanggaung jawab secara
moral kepada Tuhan YME diri sendiri,
masyarakat, dan negara ataupun orang lain.
9. Menjungjung tinggi tujuan dan juga cita-cita nasional
10. Pemerintah menurut hukum, dijelaskan dalam UUD 1945
yang berbunyi:
a. Indonesia adalah negara berdasarkan hukum (rechtstaat)
dan tidak berdasarkan kekuasaan
belaka (machtstaat)
b. Pemerintah berdasar dari sistem konstitusi (hukum
dasar) tidak bersifat absolutisme
(kekuasaan tidak terbatas)
c. Kekuasaan yang tertinggi ada ditangan rakyat.
III.
Kesimpulan
Dari Pemaparan diatas dapat disimpulkan, bahwa penghapusan 7 kata dalam sila pertama Pancasila sangatlah relevan, karena mengingat Indonesia adalah negara yang Multi Kultural dan Multi Religius. Dengan demikian tidak ada pendiskriminasian terhadap golongan atau agama tertentu. Kami juga menawarkan supaya Pancasila dijadikan sebagai tawaran final titik konfergensi dalam kepelbagaian di tubuh ibu Pertiwi, sehingga dengan demikian kesatuan dalam persatuan se-Indonesia adalah harga Mati.