Judul Buku : Dari Illah Menuju
Allah
Pengarang : Dr. Jan J. Damanik
Penerbit : Yogyakarta: ANDI, 2012
Tebal Buku : 485
BAB I
SIMALUNGUN DALAM PERKEMBANGAN
SOSIAL HISTORIS
Dunia luar sangat memberikan
pengaruh yang sangat besar terhadap Simalungun. Pengaruh yang diberikan oleh
dunia luar tersebut seperti pecahnya revolusi sosial pada tahun 1945 sampai
tahun 1949, begitu juga dengan perjumpaan kekristenan dengan kepercayaan orang
Simalungun. Hal pertama yang harus kita ketahui adalah bagaimana gambaran umum
yang ada di wilayah Simalungun, baik itu tentang keadaan geografis dan
topografis, kehidupan masyarakat, pengaruh agama Islam, masa pemerintah
kolonial Belanda, pendudukan Jepang, dan revolusi sosial. Simalungun membentang
mulai titik batas di puncak bukit (baca: Bukit Barisan) hingga berangsur-angsur
menurun dan menyentuh pantai timur Danau Toba.
Di
dalam masyarakat Simalungun pun ada stratifikasi sosial dan di bagi menjadi
tiga golongan yaitu golongan bangsawan (partuanon),
orang merdeka (paruma), dan hamba (jabolon). Golongan bangsawan yang
tergolong dalam kaum bangsawan bukan karena tingkat pendidikan dan kekayaan
yang dimilikinya, melainkan ditentukan oleh asal-usulnya sebagia keturunan
bangsawan (partuanon atau partongah).
Golongan bangsawan mengikuti tradisi kerajaan dengan menggunakan simbol dan
gelar kebangsawanan untuk menunjukkan kebesaran mereka. Golongan ini terbagi
dalam dua kelompok yakni kelompok hamba tulasik
dan hamba taban-tabanan. Hamba
tulasik adalah hamba yang turu- temurun menjadi kepunyaan pemiliknya. Sedangkan
hamba taban-tabanan adalah hamba yang
dibeli atau tawanan perang. Hamba yang dibeli disebut juga jabolon anak babi, sedangkan tawanan perang disebut jabolon ayoban. Di Simalungun mengenai
pengaruh dari stratifikasi dan iklim sosial tersebut tampaknya masih kuat
sampai sekarang, baik di pedesaan maupun perkotaan. Terdapat sikap yang
cenderung menerima perintah pemimpin atau sungkan mengkritik atasan.
Di dalam masyarakat Simalungun
sebelum tahun 1850 Islam juga memiliki pengaruh besar, baik itu dalam bidang
sosial, politik dan budaya secara umum. Masuknya Islam ke Indonesia
diperkirakan berlangsung pada abad ke 13 yang dibawa oleh pedagang Islam dari
Gujarat, India. Agama Islam menjadi agama resmi yang mapan di lingkungan istana
kerajaan Siantar, skurang-kurangnya ketika RMG/Batakmission memulai
pekerjaannya di Simalungun sejak 1903. Jadi jelas bahwa sebelum Batakmission
memperkenalkan agama Kristen di kalangan masyarakat Simalungun, Islam sudah
terlebih dahulu memasuki Simalungun terkhusus Simalungun bawah dan memberi
pengaruh yang signifikan dalam bidang sosial, ekonomi, budaya dan politik.
Melihat kemajuan yang dilakukan agama Islam maka RMG mengimbangi kekuatan Islam
di Tapanuli Selatan.
Sekitar tahun 1888-1942 secara
perlahan beberapa daerah Simalungun jatuh ke tangan kolonial Belanda. Pematang
Siantar adalah daerah pertama yang dianeksasi Belanda pada tahun 1888. Dari
tahun 1891-1896, kolonial Belanda telah banyak menduduki daerah Simalungun. Dan
pada tahun 1896 Belanda berhasil menduduki seluruh wilayah Simalungun. Maka
dari itu, penertiban di wilayah Simalungun Sumatera Utara pun dilakukan oleh
Belanda demi kepentingan ekonomi dan politik Belanda di Simalungun. Setelah
penertiban yang dilakukan oleh Belanda, Belanda pun melakukan lanjutan strategi
politik di Simalungun. Belanda memaksa raja untuk menandatangani perjanjian Korte Verklaring (Perjanjian Pendek)
pada 1907. Perjanjian tersebut menyatakan bahwa wilayah Simalungun berada di
bawah kekuasaan Belanda, juga tidak dapat menjalin hubungan politik dengan
kekuasaan asing dan mematuhi perintah dan peraturan yang ditetapkan oleh
Belanda. Belanda juga menetapkan hukum peradilan yang berlaku di Simalungun di
bawah kuasa raja yang dipilih secara bergantian. Namun, pada tahun 1918 akibat
pengaruh yang dilakukan oleh Inggris di daerah-daerah konsesi yang luas dari para
raja Simalungun. Melihat hal itu pengusaha onderneming
Belanda juga membuka area perkebunan teh yang sangat luas di Simalungun.
Dengan diberlakukan Belanda perkebunan teh, masyrakat Simalungun kebanyakan
kehilangan pekerjaan mereka seperti biasanya karena tanah ladang mereka kini
dialihfungsikan menjadi area perkebunan. Masyarakat Simalungun merasa tidak
senang terhadap sikap pengusaha onderneming
meskipun telah diberikan lahan siap pakai di tepi area perkebunan. Masyarakat
Simalungun pun melakukan tindakan perusakan di beberapa area perkebunan.
Meskipun perlawanan dilakukan oleh masyarakat, pengusaha onderneming Eropa, dengan dukungan pemerintah kolonial Belanda,
berhasil melanjutkan usaha perkebunan mereka di Simalungun. Kedudukan raja
sampai berakhirnya kekuasaan Belanda pada tahun 1942 dengan datangnya Jepang ke
Simalungun akhir Maret 1942 tetap menjadi penguasa tertinggi.
AB
II
KEPERCAYAAN
ASLI DAN ADAT ISTIADAT ORANG SIMALUNGUN
A. Asal
Mula Alam Semesta dan Masyarakat Simalungun
Dalam
salah satu pustaha Simalungun yang dikenal dengan nama Pustaha Akar
Mula Jadi, dikisahkan bahwa pada awalnya ada tiga dewa yang bertahta di
langit (nagori atas) yakni tuan Sahine-hine, tuan Tobal Dunia, dan tuan Naga
Padokah Ni Aji. Mereka sepakat menciptakan manusia untuk menghuni nagori
tongah (bumi). Tuan Sahine-hine memulainya dengan membentuk patung
tanah menyerupai manusia. Setlah patung dibentuk seotrang utusan disuruh
membawa hasah hagoluhan (nafas kehidupan) ke nagori tongah, untuk
selanjutnya ditempatkan di bawah hidung patung tadi. Sang utusan diingatkan
untuk tidak membuka gengamannya hingga ia tiba ke bumi. Dalam perjanlanannya
menuju bumi, sang utusan berniat melihat bagaimana bentuk hosah hagoluhan yang
ada dalam genggamannya tangannya. Ketika ia membuka genggamannya saat itu juga hosah
hagoluhan keluar dan segera berubah wujud menjadi benda angkasa. Inilah
awal terjadinya matahari, bulan dan bintang.
B. Kepercayaan
Asli Orang Simalungun
Orang
Simalungun percaya akan adanya kuasa tertinggi yang menciptakan langit dan bumi
ini. Namun, dalam ritual keagamaan hanya datu atau imam yang dapat berhubungan
dengan Naibata sedangkan masyarakat umum memuja Simagod (roh
leluhur satu marga), tonduy jabu (roh nenek moyang satu keluarga), dan sinumbah
(roh sakti yang dipercaya menghuni
suatu lokasi sehingga disebut tempat keramat). Dengan demikian kepercayaan
roh-roh adalah keprcayaan terhadap Naibata dan roh leluhur. Dimana
kepercayaan ataua agama asli orang Simalungun adalah keprcayaan roh-roh atau
agama suku.
1. Naibata
2.
Simagod, Tonduy Jabu,
dan Sinumbah
3.
Kekuatan Gaib
4.
Tempat penyembahan
5.
Pandangan tentang Alam Semesta (Kosmos)
6.
Pandangan tentang Manusia
7.
Pandangan hidup Orang Simalungun
C. Siklus
Kehidupan dan Adat Istiadat Simalungun
Pada
fase-fase peralihan ini dilaksanakan sejumlah ritual mulai masa kehamilan,
kelahiran, masa muda, perkawinan, hingga kematian.
1. Kehamilan
dan Kelahiran
Menurut
kepercayaan asli Simalungun sejak dalam kandungan anak sudah berada dalam
ancaman roh-roh jahat. Untuk melindungi kandungannya serangkaian pantangan dan
ritual harus dijalankan oleh ayah dan ibu. Dimana selama masa hamil, istri
tidak boleh makan dan minum dipinggir jalan, memakai kain basah, menggendong tumba,
bersanggul, dan melayat orang meninggal. Sementara pantangan suami tidak boleh
menggali liang kubur, pulang larut malam, bersetubuh pada usia kandungan empat
bulan. Ketika tiba saatnya hendak
melahirkan beberapa persiapan dilakukan seperti tempat bagi sibaso
(dukun beranak) untuk melakukan ritual pengusiran roh-roh jahat, meramu minuman
bangun-bangun, membuat parapian, menghamparkan tikar putih yang baru
dianyam untuk tempat ibu melahirkan. Setelah bayi lahir, selama tujuh hari
diadakan masa mangariari (masa krisis).
2.
Masa Remaja dan Pemuda
Pada usia sepuluh tahun baik bagi anak laki-laki
maupun perempuan dilakukan upacara pahotkon tonduy (peneguhan roh) yang
bermakna bahwa roh si anak sudah siap memasuki pahit getirnya kehidupan.
Setelah menyampaikan daun sirih dan dayok batur manggoluh, pihak tondong
meletakkan sejemput beras ke atas kepala anak itu seraya berkata: “pir ma
tonduy ni panogolannami on itumpak tonduy ni ompungta, jorgit-jorgit ulang
mahua, mangasi haganup na nihorjahon ni tangan, anak na pandei maruhur, bonar,
bujur janah sitangihon podah ni namatorani. Pitta-pitta ma sori mandapot, ia in
sininta ai ma dapot.” Selanjutnya orangtua berusaha keras mendidik dan
melatih putra meerka cara membuat pisau, berburu, pencak silat, mengalahkan
lawan dalam perjudian, dan semnetara untuk putrid, mereka dilatih cara menenun
kain, menganyam tikar, dan memasak.
3. Perkawinan
Dalam perkawinan bukanlah urusan pribadi atau
sebatas pihak mengambil istri (laki-laki) dengan pihak memberi istri
(perempuan), melainkan meliputi urusan keluarga dan klan.
Adapun bagi-bagian perkawinan yaitu:
a. Tujuan
Perkawinan
b. Syarat-syarat
Perkawinan: Usia, Mas kawin
c. Jenis-jenis
Perkawinan: Meminang, Kawin Lari, Kawin Paksa, Musyawarah Bersama, Ganti Tikar,
Marhorja Raja
d. Perzinahan
dan Perceraian
4. Kematian
dan Pemakaman: Mati baru lahir, Mati
masa kanak-kanak atau pra-Remaja, Mati muda, Mati orangtua muda, Mati Orangtua
berumur, Mati bunuh diri.
5. Siklus
Pertanian
Pada umumnya masyarakat Simalungun gidup dari
pertanian dengan cara berladang darat, dimana padi merupakan tanaman pokok
untuk makanan sehari hari. Orang Simalungun mengenai tiga musim yaitu musim
hujan (panorang parudanon), musim peralihan (panorang lang manontu),
dan musim kemarau (panorang logou ni ari).
a. Waktu
pelaksanaan ritual (upacara)
1. Bulan
Sipaha sada (Februari-Maret)
2. Bulan
Sipaha Dua (Maret-April)
3. Bulan
Sipaha Tolu (April-Mei)
4. Bulan
Sipaha Opat (Mei-Juni)
5. Bulan
Sipaha Lima (Juni-Juli)
6. Bulan
Sipaha Onom (Juli- Agustus)
7. Bulan
Sipaha Pitu (Agustus-September)
8. Bulan
Sipaha Waluh (September-Oktober)
9. Bulan
Sipaha Siah (Oktober-November)
10. Bulan
Sipaha Sapuluh (November-Desember)
11. Bulan
Luyuh Bolon (Desember-Januari)
12. Bulan
Hurung Pariama (Januari-Februari)
b. Sistem
Almanak, Kalender, Adat, dan pengobatan Tradisional
·
Pembagian waktu
·
Pembagian Bulan (Susukara)
·
Pembagian Tahun
·
Sistem Mata angin
·
Pengobatan Tradisional
6. Pemahaman
Tentang Penyakit
Tidak setiap penyakit sellau dipahami sebagai akibat
kelalaian melakukan pemujaan. Penyakit seperti luka bakar, atau digit ular,
bisul, sakit gigi, dan sebagainya cukup menggunakan ramuan obat tradisional.
7. Seni
Budaya Simalungun: Bahasa dan Aksara, Nyayian Simalungun, Musik Simalungun, Tari-tarian
Simalungun.
BAB
III
BADAN
ZENDING RMG DAN TEROBOSAN KE SIMALUNGUN
A. Rheinische
Missions-Gesellschaft (RMG)
1. Latar
Belakang Historis
Pada pertengahan abad 17 terjadi perubahan
sosial-politis dan keagamaan yang mewarnai kehidupan ke kristenan dan gereja di
Jerman seiring dengan tercapainya Perdaiaman Westfalen di kota Munster pada 24
Oktober 1648. Dampak Perang 30 Tahun ternyata menyisakan sejumlah keprihatinan
baik kehidupan masyarakat maupun gereja. Kerinduan ini mendorong lahirnya
gerakan Pietisme di Jerman yang tokoh-tokoh awalnya adalah Philip Jacob Spener
(1615-1705) dan muridnya August Herman Franck (1663-1727) yang dikenal sebagai
pemimpin Halle. Pengaruh Pietisme bagaikan sungai deras yang membanjiri banyak
wilayah Jerman. Menjelang akhir abad 18 hingga permulaan abad 19 semangat dan
gerakan Pietisme di Jerman mewujud dalam berbagai lebaga zending atau
perhimpunan zending. Pada 24 Juni 1829, RMG secara resmi diakui pemerintah.
2. Pengurus
dan Organisasi
Dalam rangka mengurus kegiatan pekabaran Injil
sebuah kedeputatan dibentuk yang terdiri dari praeses (ketua), sekretaris,
bendahara, dan anggota. Kepengurusan ini mengalami perkembangan ketika Die
Barmer Missionsgesellschaft menyerahkan seminari Barmen di bawah kepemimpinan
RMG sejak Oktober 1830. Kedeputatatn tidak dihaous tetapi ditambah pengurus
lain yang disebut inspektur,yang kemudian menjadi peimpinan tertinggi
RMG.
3. Wawasan
Misiologis
Sesuai dengan cita-cita Pietisme dan juga pengaruh
Revivalisme dalam tubuh RMG tujuan tertinggi dan terakhir dalam usaha pekabaran
Injil adalah untuk memennagkan jiwa-jiwa yang dikuasai keeglapan kepada Kristus
melalui pertobatan pribadi yang pada gilirannya mewujud dalam kumpulan umat
Kristen yang saleh. Wawasan Misiologis yang bernuansa pietistic ini begitu
berperan dalam usaha zending RMG terutama melalui guru-guru di seminari Barmen
yang sebagian besar dari mereka juga berasal dari lingkungan Pietisme.
4. Seminari
Barmen dan Para Utusan
Pada awalnya seminari ini hanya sebagai sekolah
persiapan (kursus) bagi para calon zendeling sebelum mereka dikirim ke seminari
Basel atau sekolah misi Janicke di Berlin. Pembenahan mutu pendidikan dan
keterampilan siswa baru dimulai sejka J. H. Richter (1799-1846) menjadi
isnpektur RMG pada 28 Mei 1827. Seleksi ujian masuk diadakan dan masa belajar
ditetapkan selama tiga tahun. Wawasan pendidikan dan theologis-misiologis para
guru seminari pada gilirannya sangat dalam merekrut calon utusannya baik pada
masa J. H. Richter maupun para guru sesudahnya. Oleh karena itu setekah calon
zendeling menyelesaikan pendidikannya di Seminari Barmen, secepatnya mereka
ditahbiskan oleh gereja-gereja pendukung RMG baik di Barmen maupun di
Elberfeld.
5. Metode
Pekabaran Injil
Dalam usaha perluasan Injil Kristus para zendeling
diminta untuk menyelenggarakan pendidikan, terutama bagi anak-anak yang sudah
dibaptis. Selain pendidikan, pelayanan dalam bidang kesehatan dan
sosial-ekonomi juga mendapat perhatian
yang dipandang dapat menunjang usaha pekabaran Injil. Sikap bersahabat terhadap
penduduk pribumi dan upaya menjalin hubungan baik dengan pemuka masyarakat atau
pengusaha tradisional primu dipandang sebagai pendukung pemberitaan Injil
dimaksud.
B. Terobosan
ke Simalungun dan Pembukaan Pos Pekabaran Injil
Kesepakatan
di kalangan zendeling RMG untuk mengawali terobosan pemberitaan Injil ke
Simalungun diputuskan dalam Konferenz Rheinische Missionare auf Sumatera (Konferensi
Batakmission) yang diselenggarakan pada 3-8 Februari 1903 di Laguboti.
Menerobos Simalungun berarti memuali suatu pekerjaan baru dan berat di
tengah-tengah masyarakat tradisional Simalungun yang belum sepenuhnya dikenal
para zendeling Batakmission. Dimana melalui kebijakan ke wilayah Simalungun
sebelum Pos PI didirikan di Simalungun.
Meskipun ekspedi tersebut berlangsung relative singkat (sejak 10-29
Maret 1903), tampaknya sudah cukup bagi Btakmission mengupayakan langkah
selanjutnya bagi penderian Pos PI di Simalungun. Upaya ini semakin mantap
ketika I. L. Nomensen menerima telegram dari Inspektur RMG di Barmen, A.
Scheiber pada 16 Maret 1903. Nomensen melihat peluang di balik pekerjaan Pardonganon
Mission Batak (PMB) yang sejak 1901 bekerja di Tigaras. Pos PI
pertama didirkan di Pamatang Raya. Demikianlah sejak 2 September 1903, august
Theis ditetapkan menempati pos PI Pematang Raya. Terobosan ke Simalungun
semakin lengkap dimana adanya pos PI kedua di Pematang Bandar dan pos PI ketiga
di Purbasaribu.
C. Ekskursus
: Pardonganon Mission Batak (PMB)
Lembaga
ini berdiri pada 1899 atas prakarsa beberapa pendeta. Tujuan pendirian lembaga
ini adalah untuk memebritakan Injil kepada masayarakat penganut agama suku di
tanah Batak terutama Samosir, Uluan, Pakpak-Dairi, dan Simalungun. Salah
seorang PMB yang ditus mengabarkan Injil kepada orang Simalungun di kawasan
tepi Danau Toba ialah Samuel Panggabean. Lambat laun tujuan mulia PMB untuk
menginjili orang Simalungun di tepi Danau Toba tidak membuahkan hasil.
Pemakaian bahasa Batak toba sebagai bahasa pengantar yang bukan bahasa asli
orang Simalungun, memabatasi kemungkinan pertobatan di kalangan Simalungun.
D. Orang
Simalungun dalam Pandangan RMG/Batakmission
Pengalaman
Batakmission selama 37 tahun (1903-1940) bekerja di Simalungun membuktikan
bahwa untuk memperoleh kepercayaan dari orang Simalungun diperlukan waktu yang
sangat lama. Pengalaman zending menunjukkan betapa mereka kecewa melihat
sulitnya suku ini dimenangkan bagi Injil Kristus. orang Simalungun menunjukkan
sikap keramahan dan persahabatan hanya bila zendeling memenuhi keinginan dan
permintaan mereka. Harus diakui ada sikap mental dalam diri orang Simalungun
yang dapat menghambat mereka memperoleh kemajuan. Para zendeling tidak sepatutnya memebri
penilaian negative terlalu dini tentang sifat dan karakter orang Simalungun,
tanpa mengenal alam pemikiran orang Simalungun itu sendiri.
BAB
IV
PERIODE PERINTISAN (1903-1927)
A.
Awal Perjumpaan
1.
Menciptakan Hubungan Baik dengan
Golongan Bangsawan dan Masyarakat Umum
Langkah
pertama yang ditempuh para zendeling setiap kali bermaksud membuka pos atau
stasi baru (termasuk pembukaan sekolah) adalah menjalin hubungan dengan
golongan bangsawan atau raja setempat. Pada umumnya hubungan baik itu terjalin
dengan para raja yang menganut agama suku. Mereka mengizinkan membuka sekolah, membangun
rumah sakit zendeling, menyekolahkan anak mereka di sekolah zending bahkan
mentipkan anak mereka untuk tinggal di rumah zendeling. Dari jalinan
persahabatan yang berlangsung tampak bahwa hubungan diantara kedua belah pihak
berada dalam dua arah yang berbeda.
2.
Mendirikan Sekolah
Di
simalungun kegiatan zending di bidang ini termasuk salah satu usaha yang
dipentingkan bahkan boleh dikatakan jalan perkembangan jemaat di Simalungun
pada mulanya adalah dengan mendirikan sekolah zending. Untuk pertama kali
Batakmission mendirikan sekolah zending pada tahun 1904 di Raya Tongah.
Mengingat pendidikan adalah sarana (Missionsmitte) usaha penginjilan,
para murid diajarkan pengetahuan agama seperti: pengetahuan Alkitab, Katekismus
Kecil Marthin Luther, Nyanyian Rohani. Selain itu momen kehadiran sekolah
zending di Simalungun tampaknya sangat tepat jika ditinjau dari segi
sosial-ekonomis, terutama dengan dibukanya arel perkebunan secara besar-besaran
di simalungun sejak 1908 oleh orang-orang Eropa.
3.
Pelayanan Kesehatan
Sejak
awal zending telah menyadari bahwa pelayanan kesehatan merupakan salah satu
sarana penting dalam tugas pemberitaan Injil. Selain menunjukkan rasa iba atau
kasihan kepada penduduk, pelayanan kesehatan juga dipandang sebagi upaya membina
hubungan dan menarik simpati penduduk sekaligus memerangi praktek perdukunan
yang dinilai zending tidak dapat dipertanggungjawabkan baik secara medis maupun
Iman Kristen. Di lapangan penginjilan, para zendeling bergiat melakukan
penyuluhan dan pengobatan gratis kepada penduduk. Orang Simalungun tidak
memahami penyakit sabagaimana pemahaman Barat, tetapi mereka memiliki pemahaman
yang dibentuk dari kepercayaan yang mereka anut turun-menurun. Setiap penyakit
selalu dihubungkan kepada roh jahat yang masuk ke dalam tubuh manusia sehingga
satu-satunya jalan untuk sembuh ialah meminta pertolongan roh leluhur melalui
ritual yang dipimpin datu (dukun). Demikian pula halnya, pripoganda pengobatan
Barat dari Batakmission secara berangsur-angsur mendapatkan respon positif dari
orang Simalungun. Para zendeling memamfaatkan pelayanan ini sebagai kesempatan
menciptakan kontak atau hubungan pribadi dengan penduduk pribumi melalui sikap
ramah, mendengarkan keluhan mereka dengan penuh perhatian, menjenguk dan
mendoakan orang-orang sakit, memberi sejumlah pakaian dan selimut, bahkan
beberapa orang sakit di rawat di rumah zendeling.
4.
Menebus Budak
Ketika
para zendeling memulai pekerjaan mereka di Simalungun mereka melihat begitu
banyak budak dari berbagai usia diperjual-belikkan di pasar tradisional, baik
laki-laki maupun perempuan. Budak diperdagangkan umumnya berasal dari golongan taban-taban
(budak tawanan perang) dan golongan utang (budak tawanan utang).
Meskipun perbudakan telah dilarang pemerintah Kolonial Belanda pada 1910, jual
beli budak masih berlangsung di Simalungun hingga tahun 1912. Pada 1912, A.
Theis menebus dua budak laki-laki berusia 30-an tahun. Mengacu pada falsafah Habonaron
Do Bona seseorang dipandang terhormat tidak didasarkan pada status sosial,
tingkat pengetahuan dan harta kekayaan tetapi perilaku dan peran aktifnya membangun
keharmonisan di tengah-tengah masyarakat. Meskipun bekas budak ini
perlahan-lahan mendapat tempat dalam masyarakat Simalungun, jumlah mereka
sangat kecil. Dengan kata lain usaha Batakmission menebus budak tidak
menimbulkan perombakan total strutur kemasyarakatan Simalungun yang lama.
5.
Peningkatan Kesejahteraan Ekonomis
Batakmission
juga mnegusahakan modal kerja yang diperoleh dari bantuan pemerintah dan
pengusaha perkebuna, lalu disalurkan kepada penduduk, terutama orang Kristen.
Modal kerja ini dimamfaatkan semaksimal mungkin, terutama bagi orang Simalungun
Kristen di Purba, Seribudolok dan Nagasaribu. Sejak tahun 1915, Batakmission
menyelenggarakan Pesta Pariama (Pesta Panen) untuk keperluan jemaat dan
sekolah. Anggota jemaat datang membawa persembahan syukur berupa padi,
kadang-kadang disertai buah-buahan, sayur-sayuran, dan hewan peliharaan seperti
ayam. Laju perubahan sebagai dampak peningkatan pendapatan dan kesejahteraan
ekonomis terutama menonjol di kalangan penduduk beragama Kristen. Hal ini
menjadi daya tarik tersendiri bagi penganut agama suku hingga perlahan-lahan
muncul kesadaran baru dalam diri mereka bahwa agama Kristen menawarkan banyak
mamfaat dan keuntungan ekonomis.
6.
Pekabaran Injil dan Kebudayaan
Orang Simalungun
Pada
awal pekerjaanya di Simalungun, kalangan zendeling RMG/Batakmission kurang
mendapatkan pengetahuan yang memadai tentang agama dan adat istiadat orang
Simalungun. Oleh karena itu, usaha penginjilan yang dilakuakn Batakmission pada
periode perintisan ini kurang menujukkan dinamika perjumpaan Injil dengan
budaya/adat-istiadat Simalungun. Akan tetapi ada pula faktor lain yang
menyebabkan Batakmission kurang sungguh-sungguh memahami dengan tepat kehidupan
masyarakat Simalungun yang sudah memiliki sistem sosial, politik, budaya, agama
dan pendidikan. Bagi orang Simalungun masalahnya tidak hanya soal bahasa tetapi
juga menyangkut masalah etis dan moral dalam tatanan kebudayaan orang
Simalungun, hal tidak disadari oleh para zendeling. Perlahan-lahan sikap dan
penilaian para zendeling tampak berubah terhadap kebudayaan Simalungun. Bila
sampai tahun 1908, Batakmission cenderung menilai kebudayaan/adat Simalungun
sebagai sesuatu yang “kafir” maka sejak 1909, sikap yang ditunjukkan para
zendeling adalah menyeleksi atau memilah unsur-unsur budaya Simalungun ke dalam
kategori negative dan positif atau yang kafir dan tidak kafir.
B.
Peranana Pekerja Pribumi Simalungun
1.
Penatua
Pada
awalnya penatua yang diangkat adalah mereka yang selama ini membantu pekerjaan
para zendeling dan guru Batak Toba. Sedikit banyak para zendeling dan guru
Batak Toba. Penatua yang diangkat dari orang Simalungun adalah salomo Sinaga
dan Simeon Sinaga pada 1910 di Raya Tongah. Penatua juga diangkat dari beberapa
anggota jemaat dengan cara seleksi (Ssichtung) yaitu mereka yang dinilai
memiliki watak dan sifat kristiani yang baik serta memiliki kecakapan rohani.
Pada 1912, Oberlin Purba diangkat menjadi penatua di Seribudolok dan Jonathan
Saragih menjadi penatua di Nagasaribu. Oleh karena berasal dari sukunya
sendiri, para penatua tersebut memiliki kesempatan luas untuk mengembangkan
hubungan baik dengan saudara mereka yang menganut agama suku untuk membawa
mereka menjadi orang Kristen.
2. Guru
Hingga
pertengahan 1915, penyelenggaraan sekolah di Simalungun didominasi para
zendeling Batakmission dan guru pribumi dari Tapanuli. Oleh karena itu, upaya
untuk “merehabilitasi” orang Simalungun dari kebodohan dan kekafiran hanya
dapat berlangsung efektif di tangan Batakmission bersama para pembantu mereka,
para guru pribumi Tapanuli, yang telah terlebih dulu dicerdaskan dan
dikristenkan oleh Batakmission sejak 1861. Gagasan pengadaan guru sekolah dari
orang Simalungun pertama kali dicetuskan A. Theis tahun 1980, tetapi baru
dimatangkan pada konferensi khusus zendeling Batakmission di Simalungun pada 22
Maret 1910 di Pematang Raya.
C.
Berbagai Faktor Pendorong dan
Penghambat
1. Faktor-faktor
Penghambat
·
Badan Zending dan Utusannya (termasuk
para guru-guru dari Tapanuli)
·
Masyarakat Simalungun
·
Pendatang Suku Asing
·
Islam
·
Keadaan Geografis Wilayah Simalungun
2. Faktor-faktor
Pendorong
·
Badan Zending dan Utusannya
·
Penguasa Tradisional dan Masyarakat
Simalungun
·
Sekolah Zending
Pengerja
Pribumi
BAB V
Perjumpaan yang intensif
(1928-1952)
Ini
merupakan awal babak baru bagi usaha penginjilan di Simalungun karena mulai
tahun ini terjadi perjumpaan yang inensif dan meluas antara Injil dan
unsur-unsur kebudayaan Simalungun, dengan cara intensifikasi kegiatan yang berkenaan
dengan identitas kebudayaan mereka. Kebuntuan penginjail pun dapat teratasi
dengan strategi ini, sehingga terjadi pertambahan kuantitas yang mencolok dalam
pertambahan jemaat ataupun pendirian jemaat yang baru dan sekolah.permasalahan
masa lalu dapat dijadikan acuan untuk mempertegas perubahan yang terjadi dalam
bingkai kesatuan historis yang berkesinambungan, dari periode sebelumnya ke
periode yang sedang dibahas.
Upaya Pembenahan
1. Bidang
Pekabaran Injil
Para zendeling
berpendapat bahwa kekristenan orang Simalungun belum matang, sehingga belum
waktunya memberi mereka wewenang dalam pemberitaan Injil, apalagi memimpin
jemaat. Orang Kristen Simalungun mengambil langkah pembenahan dengan
memobilisasi jemaat untuk pekerjaan pemberitaan Injil, antara lain :
a. Penggalakan
literatur kerohanian berbahasa Simalungun
Kegiatan
yang mencolok dalam hal ini adalah didirikannya suatu organisasi yang disebut
“Komite Na Ra Marpodah” (perkumpulan yang mau member nasihat) pada tahun 1928
di Pematang Raya. Selain menggalakkan literatur kerohanian berbahasa
Simalungun, komite ini juga menerbitkan traktat, brosur dan artikel yang
intinya memuat cita-cita kemajuan orang Simalungun baik dibidang pendidikan,
ekonomi maupun politik.
b. Pembenahan
metode pemberitaan Injil
J.
Wismar Saragih prihatin perihal sedikitnya orang Simalungun yang dikristenkan
dalam waktu 25 tahun oleh Batakmission. Batakmission terkesan belum sepenuh
hati menggumuli strategi dan metode penginjilan yang cocok dengan kehidupan
orang Simalungun. Menyusul imbauan tersebut, sejumlah penatua di Sondi Raya
mendirikan lembaga penginjilan pribumi yang disebut “Kongsi Laita” (die Vorwartsbegung) yang sejak 1953
berganti nama menjadi Zending Batak
Simalungun. Kongsi ini pun berpendapat bahwa hanya melalui Injilah orang simalungun
dapat diselamatkan dari kegelapan. J.Wismar tidak mengingkari keindahan busana
Eropa yang diperkenalkan para zendeling, terutama kemeja yang dilengkapi dasi
dan jas bagi kaum lelaki. Tetapi, ia tidak sependapat dengan zendeling yang
melarang mengenakan pakaian adat Simalungun untuk menghadiri pesta gerejani.
c.
Meningkatkan peran jemaat
Para
pengerja Simalungun menyadari bahwa jika hanya mengandalkan tenaga penginjil
keliling untuk menginjili penganut agama suku yang tersebar di Tanah Simalungun
tidaklah cukup. Sehingga mereka sepakat untuk mendirikan “kursus penginjilan”
kepada jemaat Simalungun yang kemudian disebut “Perguru Saksi Kristus” (Zeugen-Christ-Kurse). Kursus ini dimulai
pada Oktober 1942 dengan jumlah peserta 72 orang di bawah pendeta Simalungun :
J.Wismar Saragih, Kerpanius Purba, dan A. Wilmar Saragih. Singkat cerita,
seiring berjalannya waktu, dapat dilihat bahwa kehadirian “Parguru Saksi
Kristus”, terutama berkat usaha penginjilan yang dilakukan para penginjilnya,
memberi arti penting bagi masuknya Injil dalam kehidupan masyarakat Simalungun.
2. Bidang
pendidikan
Perjumpaan
intensif antara Injil dan kebudayaan juga ditunjukkan dalam pelayanan
pendidikan. Selain penggalakan literatur berbahasa Simalungun, peran para guru
dan penambahan tenaga pendeta pribumi juga turut dibenahi.
a. Penggalakan
Literatur
Penerbitan
dan penyebaran buku pelajaran berbahasa Simalungun merupakan kegiatan utama
“Komite Na Ra Marpodah” dalam sejarah pendidikan di Simalungun. Lagi-lagi
J.Wismar Saragih memiliki peran dalam hal ini. Jalan yang ditempuhnya untuk
memperjuangkan pemakaian buku pelajaran berbahasa Simalungun tidaklah mudah.
Apalagi pemerintah mengeluarkan kebijakan bahwa semua sekolah pemerintah dan
yang mendapat subsidi harus menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar.
Tidak semua orang paham dengan cita-citanya.
b. Meningkatkan
peran guru
Sejak
1935, mendirikan sekolah di daerah yang masih “kafir” itu dilakukan sendiri
oleh orang Kristen Simalungun, terutama para guru sekolah. Pada konferensi para
guru tanggal 14 Maret 1935 di Pematang Raya, diputuskan semua guru ikut
bertanggung jawab mengusahakan keperluan sekolah di Dolok Silou dengan
menyerahkan 1% dari gaji yang mereka terima yang digunakan untuk membangun
sekolah, menyediakan perlengkapannya dan menyantuni guru yang dipekerjakan di
sana. Agar berjalan lancar, maka dibentuklah organisasi “Kas Saksi Kristus”.
Para guru Simalungun menilai bahwa program ini merupakan salah satu cara
terbaik untuk menunjukkan keinginan dan berpartisipasi dalam memajukan suku
mereka. Dalam perkembangan selanjutnya, jumlah sekolah yang dibangun dari gaji
ini terus meningkat berkat kegiatan “Kas Saksi Kristus”.
c. Kursus
Pandita (Pendeta)
Kursus
ini khusus untuk menigkatkan kecakapan guru dalam menjalankan tugas penginjilan
dan pelayanan jemaat. Dengan demikian, tamatan kursus ini tidak lagi melayani
tugas persekolahan secara langsung, melainkan ikut memimpin dan membina jemaat.
Selama mengikuti kursus, para calon pendeta didampingi keluarga masing-masing.
Oleh karena itu, bagi mereka disediakan pemondokan khusus, tetapi tidak jauh
terpisah dari rumah penduduk.
3. Bidang
Kesehatan
Pada
1915, ada usulan kepada inspektur RMG Johanes Spiecker supaya mendirikan rumah
sakit di Simalungun, tidak ada kegiatan yang mengarah kepada usul tersebut
karena Batakmission telah membangun dua unit rumah sakit besar di Tanah Batak,
yaitu Pearaja, Tarutung (1900) dan Balige (1928). Namun setelah tahun 1946,
pengerja Simalungun mengajukan permohonan kepada Pucuk pimpinan HKBP dan
pengurus Medische Seksi HKBP supaya
di Simalungun dibangun rumah sakit sekaligus menarik penganut agama suku.
Sebuah rumah sakit dibangun di Saribudolok pada Juni 1952.
4. Bidang
Bahasa
H.Vollmer
bersama Raja Raya meminta kepada pemerintah supaya mengutus seorang ahli bahasa
lulusan universitas ke Simalungun setelah disampaikannya surat keprihatinan
dari J.Wismar. Pemerintah mengabulkan permintaan itu dengan mengutus
P.Voorhoeve, pakar peneliti bahasa lulusam Vrije Universiteit dari Belanda dan
mulai bekerja di Simalungun sejak 3 Februari 1937. Ia menemukan bahwa bahasa
Simalungun sama sekali berbeda dengan bahasa lainnya setelah ia melakukan
penelitian. Dari sini telihatlah bahwa mengkomunikasikan Injil dengan bahasa
sehari-hari penduduk setempat sangatlah penting.
5.
Bidang Organisasi Gereja
a) Mengenai
Nama “Simalungun”
Bagi
orang Kristen Simalungun, masalah utama perihal terhapusnya nama “Simalungun”
sebagai suatu distrik, melainkan penghapusan itu dipandang sebagai suatu
rekayasa untuk menghapus identitas suku Simalungun dalam tubuh HKBP. Dengan
menghilangkan nama “Simalungun” menjadi satu distrik, berarti HKBP tidak
menghargai upaya pengerja Kristen Simalungun selama ini, dan hal itu juga akan
mengecewakan semua orang Kristen Simalungun.
b) Mengenai
Kebijakan Pemberitaan Injil
Para
pengerja Simalungun Kristen mengkehendaki agar kebijakan HKBP terutama dalam
pemberitaan Injil perlu menyadari karakteristik orang Simalungun sehingga
kebijakan itu sungguh-sungguh dapat memperlancar pemberitaan Injil di
Simalungun. Orang-orang Kristen Simalungun menuntut HKBP agar mereka diberi hak
otonom untuk mengelola jemaat Simalungun demi kelancaran pemberitaan Injil.
c) Mengenai
Daya dan Dana
Pengerja
Simalungun bersama para tokoh Kristen Simalungun menilai bahwa sejumlah
kebijakan HKBP yang diterapkan di jemaat Simalungun pada dasarnya kurang
menunjang terciptanya kedewasaan jemaat dan percepatan pengkristenan di
Simalungun. Menyadari itu, para pengerja Simalungun memahami bahwa usaha itu
kini berada di pundak mereka. Dalam pemahaman inilah dapat mengerti bahwa pada
1940 terbentuk Distrik Simalungun, dan pada 1952 terbentuk HKBP Simalungun
dalam tubuh HKBP.
Berbagai
Faktor Penghambat
1) Sedikitnya
jumlah pengerja di Simalungun.
2) Sikap
kurangnya perhatian Batakmission dan HKBP terhadap pengerja Simalungun.
3) Keterikatan
pada adat istiadat dan agama suku.
Berbagai Faktor
Pendorong
1) Semangat
“Hamajuon” dalam diri orang
Simalungun.
2) Semangat
menginjil sendiri.
3) Kerjasama
dengan pemerintah, perkebunan dan badan Zending lainnya.
4) Peran
J.Wismar Saragih sebagai tokoh utama sejumlah keberhasilan penginjilan dan
pendidikan di Simalungun.
BAB VI
KEMANDIRIAN
GEREJA SIMALUNGUN (1953-1963)
A. Pembenahan
Diri Menuju Kemandirian
Pada periode sebelumnya telah
diperlihatkan bahwa pertambahan jumlah orang Kristen Simalungun adaalh berkat
kegiatan lembaga penginjilan pribumi, terutama “Kongsi Laitta” (1931) dan
“Parguru Saksi Kristus” (1942). Dalam pemahaman seperti itu Kerkbestuur HKBPS
sepakat mengambil langkah dan kebijaksanaan terpadu, yang kemudian dikenal
dengan program ”Rencana 10 Tahun” (Die Zehn Jahre Plannung). Untuk
memperdalam kekristenan, pembinaan dilakukan dalam dua jalur utama, sekolah dan
jemaat. Konkretnya usaha penginjilan HKBPS bermuara pada terwujudnya Gereja
Simalungun yang kuat dan mandiri, yang dititikberatkan pada kemandirian rohani.
Berdasarkan wawasan kemandirian inilah HKBPS membenahi dan mengembangkan metode
dan sarana kristenisasi, baik emlalui pelayanan kesehatan, pendidikan, maupun
ekonomi.
1.
Pelayanan Kesehatan
Sebagai rumah sakit yang dikelola
Gereja, nama rumah sakit itu pun diambil dari Alkitab, Bethesda, kolam di
Yerusalem tempat Yesus menyembuhkan orang lumpuh (lih Yoh 5:2). Selanjutnya
HKBPS membentuk suatu kepengurusan bagi penyelenggaraan pelayanan kesehatan
dalam tubuh HKBPS. Dalam konteks wawasan seperti itulah Sinode Bolon HKBP
Simalungun 1958 menyetujui dan emndukung upaya perluasan pembangunan rumah
sakit yang diajukan dr. D. R. Williams, pemimpin Rumah Sakit “Betesda” HKBPS Seribudolok.
2.
Pendidikan
Hingga tahun 1952 telah didirikan 29 sekolah dasar
dengan 1.165 murid dan 33 guru. Dari 29 sekolah dasar, hanya 3 sekolah yang
mendapat subsidi dari pemerintah, 10 sekolah mendapat bantuan dana selebihnya
ebrupa sumbangan. Dalam rangka pembenahan itu dibentuklah suatu oragnisasi
pendidikan yang disebut Badan Penyelenggara Perguruan HKBP Simalungun (BPP
HKBPS) pada 7 Mei 1954.
3. Sosial-Ekonomi
Pasca terbentuknya HKBPS, pembicaraan tentang upaya
peningkatan sosial-ekonomis jemaat menjadi sering didiskusikan baik di tingkat
jemaat, daerah maupun sinode. Salah seorang peserta Sinode Bolon HKBPS 1955, B.
Damanik, berpendapat bahwa menurunnya persembahan jemaat untuk kas Kantor Pusat
HKBPS sejak 1954-1955 semata-mata bukan karena jemaat memetingkan diri mereka,
melainkan karena rendahnya tingkat kehidupan sosial-ekonomis jemaat. Oleh
karena itu Damanik mengusulkan supaya HKBPS menggali sumber dana baru seperti
membuka usaha perkebunan karet atau kelapa sawit guna menunjang kegiatan
mereka. HKBPS perlu menjalin kerjasama dengan pemerintah untuk meningkatkan
pendapatan ekonomi penduduk (khususnya warga jemaatnya), terutama mereka yang
tinggal di pedalaman.
B.
Beberapa Pandangan Perihal
Kemandirian Gereja Simalungun
1.
Pandangan HKBP
HKBP
gembira melihat kesungguhan orang Kristen Simalungun memberitakan Injil
sehingga penganut agama suku berangsur-angsur dapat dikristenkan dan jumlah
jemaat pun semakin bertambah di Simalungun. Namun kegembiraan HKBP disertai
kekhawatiran bahwa cita-cita kemandirian didambakan pengerja Kristen Simalungun
dapat mengakibatkan terpecahnya kesatuan bangso Batak dalam Gereja Batak
yang besar itu. Kenyataan ini menunjukkan bahwa keinginan HKBP agar Gereja
Simalungun mandiri belum dapat berkembang. Dari sikap tercermin dalam referat
(makalah) Ephorus HKBP Justin Sihombing dalam Sinode Bolon HKBPS 11-15
April 1961 di Pematang Siantar. Dimana menkankan bahawa betapa kita
mementingkana kesukuan dan kebudayaan kita, kiranya tidak menggantikan
persekutuan kita di dalam Kristus yang adalah kepala Gereja. Justin menunjukkan
ke tiga arah. Dari ketiga arah hampir tidak tampak kesediaan HKBP untuk ikut
ambil bagian dalam mendukung cita-cita orang Kristen Simalungun untuk meraih
kemandiriannya.
2.
Utusan RMG Angkatan Berikutnya
Dalam
kurun waktu 1953-1963, RMG kembali mengirim utusannya ke HKBP dan beberapa di
antara mereka bekerja di kalangan Kristen Simalungun, yaitu Herman Vomer
(1953-1958) dan J. Deppermann (1958-1965). Kehadiran kedua Zending itu atas
permintaan HKBPS kepada pimpinan RMG di Barmen/Wuppertal. Pihak HKBPS memandang
masih memandang perlu kehadiran zendeling RMG untuk membina dan memajukan
jemaat di Simalungun bersama para pengerja Simalungun Kristen, apalagi masih
terdapat sjumlah besar penganut agama suku di Simalungun. Meskipun demikian
sehubungan dengan desakan kemandirian gereja Simalungun, kedeua zendeling
tersebut cenderung kurang memberikan dukungan konkret. Sehubungan dengan hal
kemandiran, Deppermannmenekankan setiap pengerja jemaat hendaknya berusaha
menciptakan kondisi di mana keingunan memberitakan Injil lahir dari setiap
Jemaat. Ia mencontohkan hal yang telah dilakukan “KOngsi Laita” dan “parguru
Saksi Kristus”. ternyata dalam zendeling RMG angkatan berikutnya masih terlihat
betapa mereka masih belum terlalu mau memandang ke keristenan orang Simalungun
dari perspektif kebudayaan orang Simalungun. Konkretnya, kehadiran kedua
zendeling RMG angkatan berikutnya di Simalungun ternyata tidak cukup berhasil
menumbuhkan kesadaran untuk berdiri sendiri.
3. Pengerja
Simalungun
Mungkin
sebagian orang berpendapat bahwa para pengerja Simalungun dengan suara bulat
pasti menginginkan kemandirian gereja Simalungun dipercepat. Namun jika
ditelusuri lebih lanjut, ternyata di kalangan mereka juga terdapat perbedaan
paham tentang kemadirian yang dimaksud A. Wilmar Saragih. Misalnya menghadapi
tuntutan kemandirian dari para rekannya meminta uang agar tuntutan kemandirian
jangan terlalu dibesar-besarkan seakan-akan telah terjadi perang saudara.
C.
Berdirinya Gereja Kristen Protestan
Simalungun (GKPS)
Dengan demikian pada 1 September 1963 di
deklarasikan berdirinya Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) sebagai
salah satu gereja yang mandiri di Sumatera Utara yang berkantor pusat di
Pematang Siantar, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. J. Wismar Saragih salah
seorang anggota tim perumus nama gereja ini mengatakan bahwa ada tiga hal yang
perlu diperhatikan dengan nama itu, yaitu “Gereja”, “Kristen Protestan” dan
“Simalungun”. “Gereja” menunjuk kepada universal persekutuan orang percaya
sepanjang abad yang semata-mata tunduk di bawah kepemimpinan Kristus. Kata
“Kristen Protestan” menunjuk kepada perbedaan GKPS dengan berbagai sekte atau
aliran kepercayaan lain meskipun di dalamnya terdapat orang Simalungun. Dan
untuk itulah dicantumkan nama “Simalungun” yang mengikuti nama gereja ini. Di
satu sisi nama ini menunjuk kepada tempat di mana Injil Kristus hadir sejak
1903.
BAB
VII
Perjumpaan
Injil dengan Kebudayaan Setelah Kemandirian GKPS Hingga Tahun 1990
a.
Pekabaran
Injil
Sepanjang
1964, merupakan saat-saat dimana GKPS menata kembali struktur dan organisasi
gerejawi, termasuk merumuskan prinsip-prinsip pekabaran Injil dan ketentuan
tentang tugas pekabaran Injil dan ketentuan tentang tugas-tugas pekabaran
Injil.
1. Dasar
dan Tugas Pekabaran Injil
Mengingat
tugas pekabaran Injil bukanlah pekerjaan yang ringan sehingga tidak mungkin
ditanggung satu jemaat setempat saja, maka tugas itu dipandang sebagai tanggung
jawab bersama. Oleh karena itu, dalam mengabarkan Injil, jemaat setempat dapat
bekerja sama dengan jemaat lain di sekitarnya atau wilayahnya.
2. Pengorganisasian
Pekabaran Injil
Untuk
menghindari tumpang tindih diantara dua organisasi, “Kongsi Laita” dan “Parguru
Saksi Kristus”, yang sama-sama bertujuan mengkristenkan orang-orang beragama
suku, dan supaya lebih efisien dan efektif mengabarkan Injil, pada Sinode Bolon
GKPS 1968, kedua organisasi ini diintegrasikan dalam satu seksi, yaitu Seksi
Pekabaran Injil (SPI).
Berbagai
Metode Pekabaran Injil
-
Khotbah -
Kunjungan dan percakapan
-
Nyanyian dan Musik - Mangalop Riah (Bermusyawarah)
-
Tari-tarian
b. Pendidikan
Usaha
pendidikan yang diselenggarakan GKPS menunjukkan adanya perkembangan yang
berarti, baik dalam hal organisasi pendidikan maupun jenis sekolah.
1. Organisasi
Pendidikan
Seiring
semakin meningkatnya rasa kesukuan dan kedaerahan di kalangan Simalungun,
pemulihan kesatuan organisasi sekolah dan jemaat disambut hangat. Meskipun
banyak hal belum maksimal dapat dicapai dari asas kesatuan ini, termasuk masih
rendahnya kerelaan membiayai sekolah, setidaknya jumlah murid yang bersekolah
tidak dikhawatirkan yayasan, apalagi ciri khas kekristenan sekolah itu tetap dikedepankan.
2. Sejumlah
Sekolah di Lingkungan GKPS
Berikut
adalah pekembangan sejumlah sekolah GKPS :Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Umum
(SMP dan SMA), Sekolah Kejuruan, Pendidikan Tinggi
c.
Kesehatan
Tujuan
akhir pelayanan kesehatan yang diselenggarakan GKPS melalui rumah sakit
tersebut bukan sekedar demi kesehatan, melainkan juga agar rumah sakit itu
mampu membiayai dirinya sendiri, sejajar dengan upaya meningkatkan mutu
kerohanian para petugasnya. Pada gilirannya, kmandirian tersebut dapat
menunjang kemandirian jemaat di bidang dana.
d. Sosial-Ekonomis
Kegiatan
usaha ekonomi di lingkungan GKPS dipahami sebagai sarana untuk membantu
meningkatkan kesejahteraan ekonomi jemaat sehingga pada gilirannya mereka juga
terbantu membiayai kebutuhan jemaat dan kas pusat GKPS.
e. Pengerja
Pribumi, Khususnya Pendeta
Sebagai
lanjutan kemandirian gereja yang baru saja diraih, timbullah keinginan untuk
meningkatkan pengetahuan teologi para pendeta GKPS, baik studi lanjutan maupun
kursus pendalaman salah satu disiplin ilmu teologi tertentu di dalam dan luar
negri.
Sidang
Majelis Pendeta
Sikap
dan penilaian para pendeta GKPS tehadap budaya dan adat istiadat Simalungun
sangat selektif dan berhati-hati. Tampaknya persoalan seputar perjumpaan Injil
dengan kebudayaan masih terus menjadi hal yang dipergumulkan kalangan pendeta
GKPS.
Katekisasi
Para
zendeling Batakmission sejak dini telah
mengupayakan buku pengajaran katekisasi. Buku itu menjadi pegangan utama dalam
pengajaran katekisasi di jemaat Simalungun sehingga berulang kali dkterbitkan.
Faktor Pendorong
Kekristenan di GKPS
1. Pertambahan
pos dan bidang pelayanan.
2. Pertambahan
tenaga.
3. Pelayanan
pendidikan, kesehatan dan pembangunan sosial.
4. Adat
Simalungun.
5. Merosotnya
penganut agama suku (kepercayaan terhadap roh-roh)
6. Pengaruh
pemerintah dan pembangunan di Indonesia.
Faktor Penghambat Kekristenan di
GKPS
1. Ketergantungan
pada bantuan dana.
2. Adat
Simalungun.
3. Warisan
Feodalisme
4. Pemerintah
Bab
VIII
Perjumpaan
Injil Dan Kebudayaan Di Simalungun
Tinjauan
Terhadap Beberapa Masalah Theologis-Theologis-Misiologis Di Dalamnya
Di
tengah derasnya kekristenan berlanggam toba ke lingkungan simalungun, J. Wismar
Saragih (guru dan pendeta pertama dari kalangan simalungun) berupaya sedapat
mungkin mengalihkan langgam itu pada kekristenan berlanggam simalungun. J.
Wismar Saragih berusaha mati-matian mencari titik temu bagi pendaratn injil
Kristus kea lam pemikiran asli sukunya. Ia berharap supaya kaum sukunya
sungguh-sungguh berjumpa dengan Tuhan di dalam konteks kebudayaan dan
adat-istiadatnya sendiri.
Alkitab
Awalnya
J. Wismar Saragih dan Jason Saragih menerjemahkan beberapa buku rohani yang
tersedia dalam bahasa toba ke dalam bahasa simalungun, seperti Agenda (buku
tata ibadah), nyanyian rohani, katekisasi, dan beberapa cerita Alkitab. Namun,
untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa simalungun, J. Wismar Saragih harus
berpikir keras. Ia sadar bahwa pengetahuannya tentang bahasa asli Alkitab
(ibrani dan Yunani) sangat terbatas. Namun, ia harus berani menerjemahkan
Alkitab untuk kebutuhan jemaatnya.
Alkitab
terjemahan ini akhirnya dicetak sebanyak 200 eksemplar atas bantuan lembaga
Alkitab Belanda pada 1938. Sambutan jemaat simalungun luar biasa. Hanya dalam
tempo 3 minggu, terjemahan injil Lukas habis terjual. Menurut J. Deppermann,
ini adalah tanda bahwa orang simalungun Kristen sangat membutuhkan
tersedianyabuku-buku rohani dalam bahasa ibu mereka sendiri. Hangatnya sambutan
jemaat tehadap karyanya itu semakin menggairahkan J.Wismar Saragih untuk
menerjemahkan seluruh perjanjian baru ke dalam bahasa simalungun, apalagi
lembaga Alkitab Belanda masih menyatakan kesediannya untuk menerbitkannya.
Semua pendeta simalungun dilibatkan dalam kegiatan penerjemahan, semetara para
penatua bertugas mencari dana serta melengkapi sarana yang berhubungan dengan
penerjemahan tersebut. Pada 1945, kegiatan penerjemahan mulai dilakukan. Dalam
tempo 6 bulan, Alkitab perjanjian baru itu habis terjual. Pembelinya kebanyakan
adalah kaum muda, baik yang tinggal di desa maupun di kota-kota besar, seperti
medan dan Jakarta. Pada 1955, Alkitab perjanjian baru itu segera dicetak ulang,
tetapi pihak penerbit bukan lagi lembaga Alkitab Belanda, melainkan lembaga
Alkitab Indonesia (LAI) di Jakarta.
B.
Allah (Naibata)
Salah
satu perkataan paling penting untuk mengkomunikasikan pesan Alkitab adalah
menyangkut nama Allah (Elohim). A.Theis menggunakan Naibata untuk menyebut
Allah. Zendeling lainnya seperti G.K. Simon juga menggunakan nama itu. Simon
memakai kata Dja Gabriel, DJa Matius, Dja Markus, Dja Lukas dan Dja Johannes.
Pada awalnya, kata Naibata mereka dengar dari orang simalungun sendiri yang
menyebut dan menyembah raja mereka sebagai Naibata nataridah. Lambat laun kata
itu semakin penting bagi mereka ketika para imam dan datu memuja Naibata
sebagai penguasa dunia atas (nagori atas), dunia tengah (nagori tongah), dan
dunia bawah (nagori toruh). Meskipun orang simalungun menyembah roh-roh lain di
luar Naibata, tetapi baik A. Theis maupun G.K. Simon melihat bahwa Naibata
memainkan peran paling penting dalam agama asli suku simalungun (kepercayaan
kepada roh-roh), sebab hanya atas ijin Naibata itulah roh-roh lain yang
disembah itu mengabulkan doa-doa permintaan pemujanya. Inilah bagian Alkitab
pertama berbahasa simalungun yang sampai ditangan orang simalungun Kristen
sejak tahun 1953.
c.
Yesus Kristus
Yesus
Kristus adalah anak manusia yang menghubungkan diri-Nya ke dalam kehidupan
manusia. Yesus seperti itulah yang diberitakan para zendeling kepada orang
simalungun penganut agama suku. Tidaklah mudah bagi zendeling mengajak orang
simalungun supaya ikut mengaku Yesus Kristus seperti yang mereka pahami dan
percayai. Di pematang Bandar selama pelayanan
G.K. Simon di sana (1904-1907) tidak satupun orang simalungun berhasil
diajaknya untuk mengaku Yesus sebagai anak Allah. Bagi orang simalungun, kalau
Yesus berasal dari langit, tentu Yesus itu bergaul dengan Roh leluhur mereka
yang juga tinggal di langit. Namun, para zendeling membenahi cara pemberitaan
mereka tentang Yesus Kristus. A. Theis mengenal sejumlah ungkapan penting di
kalangan simalungun, seperti anakni mataniari (anak matahari), anak rumah bolon
(anak istana), dan hasusuronni panggomgom (keturunan pemimpin). Ia datang untuk
menyelamatkan manusia.
Tonduy
digunakan para zendeling untuk Roh Kudus. Roh Allah disebut Tonduy ni naibata, sedangkan Roh Kudus
adalah Tonduy napansing. Tonduy Napansing
seperti inilah yang diberitakan dan
diajarkan para zendeling kepada orang simalungun. Kata Tonduy bukan kata asing
dalam kepercayaan mereka. Namun, pemahaman mereka menjadi sangat terbatas.
Mereka tidak dapat menerimakenyataan bahwa Roh Allah (Tonduy ni Naibata) dapat masuk hati rakyat biasa, sehingga mereka
dilayakkan menjadi pemberita dan pemimpin jemaat. Sebagian orang simalungun
belum melihat arti yang sesungguhnya dari apa dan siapa Tonduy Napansing, karena tonduy hasadaon dalam agama lama
simalungun tampaknya mirip dengan Tonduy
Napansing, walaupun sesungguhnya kedua-duanya sangat berbeda satu dari yang
lain.
E.
Manusia dan Dosa
Manusia
pertama yang diciptakan Allah bernama Adam dan ditempatkan di Taman Eden.
Namun, Allah tidak menginginkan Adam seorang diri. Allah kemudian menciptakan
seorang perempuan yang diberi nama Hawa. Hawa kemudian menjadi isteri Adam.
Pembicaraan tentang manusia tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan tentang
dosa. Manusia jatuh ke dalam dosa karena menerima bujukan setan. Setan berhasil
menggoda manusia sehingga manusia berada di bawah kuasanya. Pemberontakan Adam
dan Hawa terhadap perintah Allah adalah awal munculnya berbagai kejahatan di
tengah manusia, seperti pertikaian, penyembahan berhala, kedengkian, mencuri,
membunuh, berbohong, dll. Namun Allah tidak bermaksud melenyapkan manusia
F. Gereja dan Tata Kebaktian Minggu
1. Gereja
Gereja
adalah kudus. Kekudusannya bukan karena anggotanya kudus atau dikuduskan
anggotanya, melainkan karena kekudusan Kristus sebagai kepala Gereja. Gereja
adalah am, yakni persekutuan semua orang kudus yang percaya di dalam yesus
kristus. Oleh karena itu gereja adalah “Bait Kudus” Allah (rumah namapansing ni
Naibata). Pemahaman orang simalungun Kristen tentang pemberitaan dan rumusan
yang menyangkut tentang gereja adalah suatu proses yang terus berjalan kea rah
pemahaman yang lebih theologies-alkitabiah.
2. Tata Kebaktian Minggu (Liturgi)
Bentuk
tata ibadah (termasuk tata kebaktian minggu) yang dipakai oleh gereja-gereja
hasil penginjilan RMG di Indonesia mengikuti pola-pola yang digunakan di negeri
Jerman. A. Theis 1905 menyusus tata kebaktian minggu dengan bentuk yang
tradisional untuk jemaat-jemaat di simalungun. Ia berpedoman pada agenda Karya
Jung dan Steinsieck. Pertama kali tata kebaktian minggu itu dipakai dijemaat
Raya Tongah pada 1912. H. Guillaume dan Carl Gabriel juga memakai tata
kebaktian minggu Karya A. Theis di lingkungan setasinya. Sampai 1980, tata
ibadah GKPSmengikuti urutan tata ibadah HKBP. Namun setelah 1980, GKPS
melakukan pembaran tata kebaktiannya. Nyanyian yang pada awalnya ditempatkan
sebagai urutan pertama diganti dengan votum dan introitus.
G.
Baptisan kudus
Melalui
baptisan kudus, seseorang dipindahkan dari dunia kegelapan ke dunia terang.
Seseorang yang hendak dibaptis harus mengikuti katekisasi lebih dahulu.
Anak-anak orang Kristen harus secepatnya dibaptis. Setiap kali dilakukan
baptisan (baik baptisan dewasa maupun anak-anak), zendeling menganjurkan calon
baptisan berpakaian putih sebagai simbol pertobatan. Berita dan praktik
baptisan kudus itu mengingatkan mereka pada ritual paridihon (memandikan) dan manrasi
goran (member nama) dalam kehidupan orang simalungun.
H.
Perjamuan Kudus
Dalam
naskah agenda tulisan A. Theis dijelaskan bahwa perjamuan kudus adalah sakramen
yang diperintahkan Tuhan Yesus kepada orang percaya untuk dilaksanakan sebagai
penampakan Yesus kepada orang percaya untuk dilaksanakan sebagai penampakan
rahasia anugerah Allah kepada manusia yang member pengampunan dosa, hidup baru,
dan persekutuan baru dengan-Nya dan sesama manusia. Perjamuan kudus adalah saat
dimana jemaat menerima roti dan anggur sebagai symbol tubuh dan darah Tuhan
Yesus, bahwa Ia rela mati untuk pengampunan dosa manusia. Perjamuan kudus
adalah peringatan akan penderitaan dan kematian Kristus. Pelaksana perjamuan
kudus adalah pendeta. Makna perjamuan kudus adalah solidaritas dalam
persekutuan syukur yang olehnya orang percaya dipanggil untuk menyingkirkan
tembok-tembok kesombongan, kelas, status, dan pemisahan secara konfesional.
Perjamuan kudus mengingatkan orang percaya akan hubungan yang erat di antara
pelayanan Kristus dalam meja Tuhan dan kehadirannya yang menyelamatkan di
antara kebutuhan-kebutuhan dunia.
I.
Peneguhan
Sidi (Manaksihon Haporsayaon)
Pada acara peneguhan sidi, mereka
mengenakan pakaian berwarna putih dan pendeta menumpangkan tangan di atas
kepala mereka disertai oleh dengan permohonan kepada roh Kudus. Orang
simalungun menyebut peneguhan sidi dengan kata malua yang bermakna “lepas dari ikatan”.
J.
Perkawinan
Penganut agama suku menganut sistem
pernikahan poligami (kendati tidak semua melakukan itu). Hal itu berarti bahwa
seorang laki-laki boleh menikah dengan lebih dari satu isteri, tanpa harus
meminta izin dari isteri pertama. Meski mencirikan poligami, pernikahan menurut
adat simalungun mempunyai corak agamawi yang khusus, sehingga diselenggarakan
oleh datu atau tokoh-tokoh adat.
Tanpa memperdulikan latar belakang adat perkawinan simalungun, para zendeling
cenderung melihat hal mas kawin (partadingan/
boli ni boru) sebagai praktik terselubung memperdagangkan perempuan, yang
merendahkan status perempuan sebagai sederajat dengan pria, sehingga mereka
melarangnya. Sejak 1930, terutama atas kehadiran J.Wismar Saragih, gereja
menjadi lebih terbuka terhadap urusan mas kawin, bahkan sebagian besar penatua
jemaat turut mempertahankan tradisi mas kawin tersebut.
K.
Pemakaman
Para zending menegaskan bahwa semua
orang yang meninggal harus dimakamkan dengan hormat dan pantas, baik anak
kecil, remaja, pemuda, orangtua, pejabat, pengusaha, dan pelayan jemaat
sendiri. Semua manusia berharga dimata Tuhan, oleh karena itu setiap upacara
pemakaman, siapapun orangnya harus dimakamkan dengan hormat dan pantas. Namun
upacara kematian dan penguburan Kristen yang tidak mengenal pembedaan itu juga
tidak dapat diterima orang simalungun Kristen pada umumnya. Misalnya, mereka
tidak dapat menerima kalau makam orang yang meninggal ketika ia masih di bawah
hukum siasat gereja di tempatkan di samping makam warga jemaat lainnya.
Kesulitan menerima kesetaraan itu juga tampak pada upacara kematian dan
pemakaman bagi seseorang yang meninggal pada masa kanak-kanak dan pemuda. Dalam
budaya dan agama lama suku simalungun, ritual yang dilakukan untuk kematian
jenis ini dilakukan seadanya saja. Bagi GKPS tujuan pemakaman adalah untuk
memberitakan firman Tuhan tentang kematian dan kebangkitan, serta memberi
penghiburan kepada keluarga yang ditinggalkan.
L.
Nyanyian
Untuk kebutuhan nyanyian gerejawi di
simalungun, beberapa nyanyian di gerejawi dari Jerman itu diterjemahkan ke
dalam bahasa simalungun oleh G.K. Simon pada 1906 di pematang Bandar. Namun,
nyanyian rohani tersebut belum sempat dijemaatkan di kalangan simalungun
Kristen, sebab Simon harus menjalani cuti sakit ke Jerman. Pada 1960-an,
pemahaman tentang nyanyian gerejawi berubah dan diupayakan untuk memperluas
buku nyanyian (haleluya) dengan
nyanyian rohani yang bersumber dari nyanyian tradisional simalungun.
M.
Tari-tarian
Kecenderungan yang menghubungkan
tari-tarian kepada upacara agama lama membuat tari-tarian menjadi pokok yang
tidak perlu dipergumulkan secara theologies di GKPS. Dalam sejarah penginjilan
setelah batakmission, tari-tarian hanya dipergunakan sekadar sebagai sarana
menghibur untuk menarik perhatian penganut agama parbegu menerima injil Kristus. Tidak mudah bagi GKPS memilah-milah
yang mana tortor dan jenis music yang layak dipakai di jelaat dan mana yang
tidak layak. Kalaupun dilakukan pemilah-milahan, hal yang dikuatirkan adalah tortor dan jenis musik lain akan punah .
akhirnya pada sinode 1980, sinode memutuskan untuk menampung semua tortor dan jenis musik simalungun ke
lingkungan gereja.
Bab
IX
Dampak
Perjumpaan Injil Dan Kebudayaan
A.
Bidang
Kegerejaan Dan Kehidupan Rohani
Batakmission berhasil mendirikan
sejumlah 66jemaat di tanah simalungun selama 37 tahun pekerjaanya di simalungun
(1903-1940), kendati sebagian besar keberhasilan itu berkat gerakan penginjilan
kaum pribumi melalui “kongsi laita”
dan “parguru saksi Kristus”. Artinya,
kekristenan protestan yang mereka bawa dari negeri asalnya berhasil ditanamkan
di tanah simalungun.
1.
Pertambahan
Anggota Gereja
Sulitlah bagi orang simalungun
kalau mereka harus menjadi orang “batak toba” lebih dahulu supaya menjadi orang
Kristen. Namun, ada hal-hal mengesankan yang dilihat dan dirasakan oleh orang
simalungun dari para zendeling yang membuat mereka bukan hanya tertarik masuk
Kristen, tetapi juga membawa orang lain masuk Kristen. Selain itu, sikap
keramah-tamahan, mau mengunyah sirih, dan kesediaan menjenguk orang sakit serta
mendoakannya menumbuhkan simpati dalam diri orang simalungun. Mereka yang masuk
Kristen ini turut pula mendorong dan membawa keluarganya atau kerabatnya masuk
agama Kristen. Cara berkomunikasi seperti itu bukan hanya memudahkan penduduk
pribumi memahami berita injil, melainkan juga merangsang mereka bersikap kritis
terhadap kepercayaan warisan leluhur dan beralih kepada agama Kristen. Bagaikan
meteor yang melejit kencang, jumlah orang Kristen selalu bertambah dari tahun
ketahun berkat usaha penginjilan kedua organisasi penginjilan pribumi tersebut.
Masuknya orang simalungun ke dalam agama Kristen sebagian besar adalah karena
motif injili, yakni lahir dari kesadaran dan keyakinan terhadap kebenaran
firman Tuhan.
2.
Corak
Kehidupan Rohani
Setiap orang yang masuk agama
Kristen dinasehati supaya menjauhi kebudayaan sendiri, sekurang-kurangnya
memilah-milah mana yang positif, netral, dan negative sesuai petunjuk
zendeling. Sikap seperti ini banyak diperlihatkan generasi pertama jemaat
simalungun yang baru tumbuh itu. Mereka diyakinkan oleh nasihat para zendeling
supaya menyingkir dari kebudayaan “kafir” yang berlumuran dosa. orang
simalungun dibawa menjadi orang Kristen, tetapi mengikuti model kekristenan
zendeling (Barat). Pengaruh konsep agama suku perlu ditinjau dalam kehidupan
Kristen simalungun masa kini, sekurang-kurangnya sampai 1990. Kehidupan rohani
simalungun sering diungkapkan dalam nyanyian, tari-tarian dan bahasa mereka.
3.
Pengadaan
Pengerja Gereja
Selama tiga puluh tahun masa kerja
batakmission di Simalungun (1903-1940), mereka hanya melahirkan dua pendeta
pribumi dan tiga puluh guru sekaligus penatua. Pelayanan dijemaat terbantu
dengan kehadiran sejumlah guru dan penginjil dari Tapanuli, tenaga yang ada
masih jauh dari memadai, apalagi mengingat begitu banyaknya orang simalungun
yang perlu dikristenkan. Barulah pada Desember 1909, dari 25 orang simalungun
yang dibabtis di Pematang raya, terdapat 7 orang murid sekolah zending. Sejak
1910, semakin banyak murid sekolah yang bersedia dibaptis, bahkan beberapa
diantaranya diperkenankan menjadi guru bantu sesuai penilaian para zendeling.
Inilah yang terjadi, meskipun usaha
batakmission mendidik tenaga pengerja gereja pribumi secara kuantitatif kurang
begitu mencolok, tetapi keterampilan sejumlah besar orang simalungun Kristen
memberitakan injil adalah hasil binaan mereka yang telah mengikuti sekolah
batakmission di simalungun. Tidak tehitung banyaknya peluang bagi pengerja
simalungun dalam memanfaatkan nyanyian, tari-tarian, dan musik setempat,
termasuk drama bagi ibadah dan kesaksian.
B.
Kebudayaan
dan Adat Istiadat
Perjumpaan kebudayaan Barat dengan
kebudayaan dan adat-istiadat simalungun berlangsung selama berlangsungnya usaha
penginjilan oleh RMG/Batakmission di Simalungun (1903-1940). Pada awal
perjumpaan itu, mereka cenderung menilai negatif semua budaya/adat simalungun.
Mereka menganggap budaya simalungun berakar dan bersumber pada penyembahan
berhala. Setelah perjumpaan intesif dengan masyarakat simalungun, terutama
sejak 1915, lambat-laun para zendelingmelihat ada beberapa hal dalam
budaya/adat simalungun yang positif dan indah. Para zendeling beralasan
penilaian itu berdasarkan firman Allah. Setiap para zendeling yang
memilah-milah budaya/adat simalungun itu perlahan-lahan menggerogoti alam
pikiran asli orang simalungun yang sejak zaman leluhur memahami budaya/adat
secara totalistis. Orang simalungun memiliki kebudayaan dan adat-istiadat
sendiri yang diwariskan leluhur mereka. Bagi mereka, menjalankan kebudayaan dan
adat-istiadat berarti menghormati leluhur.
1.
Kehamilan
Dan Kelahiran
Para zendeling tidak memahami betul
kebiasaan di simalungun tantang sejumlah pantangan (larangan) yang bertujuan
melindungi kehamilan. Namun setelah melihat kenyataan sehari-hari di
simalungun, hal yang terutama adalah agar pantangan-pantangan yang
sungguh-sungguh diarahkan kepada kesehatan ibudan janin yang ada dalam
kandungan. Bagi para zendeling, tingginya tingkat kematian bayi yang baru lahir
bukan karena ibu tersebut melanggar pantangan yang kemudian membangkitkan
amarah roh leluhur, melainkan pantangan itu sendiri kurang mendukung bagi
kesehatan ibu dan janin dalam kandungan. Di Pematang Rata, A.Theis bersama
isterinya member sejumlah vitamin kepada ibu-ibu hamil. Di simalungun, para
orangtua ingin supaya anaknya yang lahir itu tumbuh dengan sehat dan cerdas.
Anak-anak mereka tidak bertindak seperti binatang. Oleh karena itu, orang
simalungun melakukan tradisi paabingkon
niombah hubani tulang pakon ompung (membawa anak untuk digendong paman dan
kakek/neneknya) setelah anak berusia 1 tahun. Para zendeling menegaskan bahwa
anak yang lahir di dalam doa harus pertama diserahkan kepada Allah melalui
baptisan kudus, bukan kepada orang tertentu.
2.
Masa
Remaja
Orang simalungun mengenal upacara
mempersiapkan anak untuk masuk remaja atau pemuda yang disebut pahotkon tonduy (penguatan roh). Ia
harus selalu dilindungi ketika anak memasuki fase remaja, perlindungan
kepadanya sudah semakin terbatas. Tradisi seperti ini terikat juga dengan
kepercayaan lama di mana seorang anak yang telah remaja sudah diperkenankan
mengikuti ritual pemujaan roh-roh. Tidak melakukan upacara ini dianggap
penghinaan kepada roh leluhur dan memalukan bagi orang-orang simalungun.
Orangtua sianak akan disebut orangtua yang tidak beradat. Bagai manapun juga
zendeling tidak menginginkan munculnya rasa malu dalam diri orangtua apabila
tidak melakukan adat kebiasaan ini.
3.
Perkawinan
Para zendeling tidak dapat menerima
praktik-praktik yang dimata mereka tidak berperikemanusiaan atau melanggar “hak
asasi manusia”, seperti: perkawinan paksa, perkawinan di bawah umur, dan
kekerasan terhadap perempuan. Para zendeling ingin menghentikan praktek seperti
itu. Orang simalungun tidak melihat kekristenan sebagai musuh adat perkawinan
karena pendekatan persuasive ini. Melalui khiobah, penelahaan Alkitab (sermon), dan dalam pertemuan gerejawi
lainnya, para zendeling menekankan bahwa poligami, perkawinan paksa, perkawinan
bawah umur, kekerasan kepada perempuan adalah perbuatan yang dilarang Allah,
Allah akan menghukum orang-orang yang berbuat seperti itu. Para zendeling pun
ikut tegas melarang segala unsur yang ada upacara perkawinan yang dinilai
“kafir”, seperti: tarian, manggual (memainkan
alat musik tradisional), meminum tuak (arak), dan adat perkawinan yang
bertele-tele.
4.
Kematian
Dan Pemakaman
Kematian tidak lagi dipandang
sebagai peristiwa yang menakutkan dan membuat putus asa keluarga yang
ditinggalkannya. Kematian tidak menghalangi kuasa Allah member berkat-Nya
kepada orang percaya kepada-Nya. Itulah sebabnya dalam peristiwa kematian,
nyanyi-nyanyian gerejawi selalu dikumandangkan, baik sebelum jenajah dibawa ke
pemakaman maupun setelah acara pemakaman.
5.
Nyanyian
Dan tari-tarian
Sikap
zendeling yang memilah-milah unsur budaya simalungun dalam tiga ketegori:
positif, netral, dan negative (dan yang terakhir ini lebih besar porsinya)
berakibat pada hilangnya sejumlah nyanyian dan tarian simalungun yang telah ada
sebelum batakmission bekerja di simalungun. Oleh karena itu, nyanyian dan
tarian yang pantas dipergunakan orang Kristen adlah nyanyin dan tarian yang
dianggap zendeling lebih injili dn berbobot. Nyanyian injili dan berbobot itu
adalah kumpulan lagu-lagu rohani yang mereka bawa dari negeri asalnya , yakni
Jerman, negeri yang disebut Kristen dan beradab. Nyanyian memiliki keterkaitan
erat dengan tari-taruan. Oleh karena itu, tar-tarian asli tradisional
simalungun pun mengalami nasib sama dengan nyanyian asli tradisional simalungun
pun mengalami nasib sama dengan nyanyai asli tradisional simalungun. Sejak
1970-1990, A.K.Saragih mengubah nyanyian tradisional simalungun menjadi
nyanyian rohani yang dipakai di GKPS hingga saat ini.
BAB X : RANGKUMAN, KESIMPULAN, DAN
REFLEKSI
Orang
Simalungun yang dijumpai para zendeling pada awal abad ke-20 telah pula
memiliki unsur-unsur budaya, termasuk adat-istiadatnya. Leluhur mereka
mewariskan sejumlah nyanyian, tarian, alat-alat musik, teknik bertani,
ramuan-ramuan dan pengobatan, dan sebagainya. Penyelenggaraan unsur-unsur
budaya dan adat-istiadat itu bukan sebatas meperteguh hubungan dengan roh
leluhur, melainkan juga menunjukkan bahwa suku ini memiliki jati diri kultural
di antara suku bangsa tetangganya.
Mengenai
Zending dan para utusannya, selama 37 tahun pekerjaan Batakmission diSimlaungun
(1903-1940), sejumlah sekolah berhasil didirikan dan orang Simalungun juga
berhasil dibawa menjadi Kristen, meskipun jumlahnya sedikit dibanding lamanya
mereka bekerja di Simalungun. Jemaat-jemat di Simalungun menjadi bagian dari
HKBP sampai 1963. Meskipun GKPS ini masih diharapkan membantu tenaga pribumi,
terutama dalam hal pembinaan warga Gereja dan pelatihan kepada para pendeta
GKPS. Pada tahun 1969, tenaga asing tidak ada lagi bekerja di GKPS.
Mengenai
Pandangan RMG terhadap budaya/adat Simalungun, para Zendeling memilah-milah
kebudayaan Simalungun dalam tiga Kategori: Positif, netral, dan negatife. orang
Simalungun lambat laun terpengaruh oleh cara Batakmission memandang dan
memilah-milah kebudayaan Barat modern kepada mereka, sementara roh-roh yang
mereka sembah selama ini tidak mampu mengangkat mereka dari keterpurukan hidup
disegala bidang. Dan yang terakhir mengenai Pendidikan para Zendeling nya yaitu
bahwa para Zendeling di utus RMG menjalani pendidikan di seminari Barmen,
dengan ilmu pengetahuan dan latihan penginjilan serta beberapa keterampilan
khusus untuk mendukung tugas penginjilan. Pelajaran tambahan tentang kesehatan
yang mereka pelajari di negerinya turut mendukung pekerjaan mereka di
Simalungun.
Dampak
pada Gereja Protestan Simalungun (GKPS), yang dimana Orang Simalungun Kristen
yang mendapat pendidikan Batakmission juga memberitakan Injil kepada kaumnya
sehingga jumlah orang Simalungun yang menjadi Kristen semakin bertambah. Berdirinya
GKPS di Simalungun dengan wajahnya yang sekarang adalah hasil dari perjumpaan
Injil dengan kebudayaan dan masyarakat Simalungun. Wawasan Missiologis GKPS
disini, GKPS mengariskan tugas pengkabar Injil sebagai tugas panggilan Gereja
berdasarkan perintah Tuhan Yesus Kristus (Matius 8:19-20). Tujuannya adalah
untuk kemuliaan Allah dan membawa semua bangsa disegala tempat percaya bahwa
Yesus adalah Tuhan dan Juru Selamat serta mempersekutukan mereka kedalam GKPS.
Tugas pengkabaran Injil adalah usaha melayani dan membebaskan manusia dari
penderitaan yang disebabkan oleh keterbelakangan, kemiskinan, penyakit, dan
lain-lain. Tugas itu adalah tugas segenap gereja Kristen prostestan Simalungun,
baik jemaat setempat, resot, distrik, maupun sinode.
Dalam
organisasi pengkabaran Injil, pimpinan majlis setempat dapat memberi pelatihan
atau kursus penginjilan kepada anggota jemaatnya atau sekurang-kurangnya
mendorong setiap seksi didalam jemaat dalam melakukan tugas pemberitaan Injil.
Pendidikan Pekerja GKPS, dilihat dari tingkat pendidikan dasar umum, pendidikan
teologi, dan tempat pendidikan teologi. Para pekerja tidak lagi didominasi oleh
kaum laki-laki, tetapi sudah diisi oleh sejumlah kaum perempuan juga, bahkan
juga ada kesempatan untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi kini terbuka
seluas-luasnya kepada pekerja perempuan (terutama Pendeta). Tempat pendidikan
teologi tidak dibatasi didalam negeri, tetapi juga hingga keluar negeri.
Lembaga Pendidikan Teologia dimana calon-calon pekerja GKPS menempuh pendidikan
teologi disitu diharapkan membekali mereka dengan mata kuliah atau kurikulum
yang memuat unsur-unsur budaya lokal. Hasil perjumpaan Injil dan kebudayaan
refleksi dan Sumbangan pemikirn terhadap Simalungun begitu banyak dapat
dilihat. Simalungun adalah salah satu wilayah perluasan RMG/Batakmission di
Tanah Batak. selama 37 tahun pekerjaan Batakmission di Simalungun (1903-1940),
upaya mengkomunikasikan Injil kepada orang Simalungun berlangsung dalam bahasa
Toba, bukan bahasa Simalungun. Hal inilah yang menjelaskan mengapa sejak 1928
orang Simalungun Kristen member tempat yang begitu penting pada warisan
kebudayaan mereka dan mengapa mereka menempuh jalan nasionalisme kedaerahan itu
bagi kemandirian jemaatnya. Adapun tuntutan didalamnya, baik kepada zendeling
maupun HKBP agar mereka mengakui kebudayaan mereka sederajat dengan kebudayaan
suku bangsa lain. Inilah hasil pertama dari perjumpaan Injil dengan kebudayaan
di Simalungun, yakni terjadinya ledakan jumlah orang Simalungun menjadi Kristen
tatkala Injil itu dikomunikasikan dalam bahasa ibu mereka, bahasa Simalungun.
Hasil perjumpaan Injil dengan kebudayaan bukanlah sebatas pendefenisian
perlunya bahasa local dalam mengkomunikasikan Injil, melainkan juga tanggung
jawab untuk mendayagunakan semua potensi yang dikaruniakan Kristus untuk
memberitakan Injil itu sendiri
Kelebihan dan Kekurangan Buku
Kelebihan
-
Buku ini sangat membantu pembaca untuk
memahami dan menambah pengalaman
-
Buku ini disusun dan dijelaskan secara
sistematis dan menguraikan secara luas
-
Buku ini menginspirasi pembaca untuk
mengaplikasikan perjalanan kekristenan di Simalungun ke dalam kehidupan
sehari-hari
-
Dalam penulisan, buku ini membuat font
yang sesuai sehingga pembaca tidak mengalami kesulitan dalam membacanya.
Kekurangan
-
Dalam hal penulisan, masih ada yang
tidak mengikuti sistematika penulisan ynag benar seperti penggunaan tab, dan
juga ada salah pengetikan, dan penggunaan garis miring dalam bahasa Indonesia,
padahal sebenarnya hanya untuk bahasa asing.
No comments:
Post a Comment