Tuesday, August 29, 2017

Johannes Nababan Dari Illah Menuju Allah Resensi Buku



Judul  Buku   : Dari Illah Menuju Allah
Pengarang      : Dr. Jan J. Damanik
Penerbit          : Yogyakarta: ANDI, 2012
Tebal Buku    : 485

BAB I
SIMALUNGUN DALAM PERKEMBANGAN SOSIAL HISTORIS
            Dunia luar sangat memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap Simalungun. Pengaruh yang diberikan oleh dunia luar tersebut seperti pecahnya revolusi sosial pada tahun 1945 sampai tahun 1949, begitu juga dengan perjumpaan kekristenan dengan kepercayaan orang Simalungun. Hal pertama yang harus kita ketahui adalah bagaimana gambaran umum yang ada di wilayah Simalungun, baik itu tentang keadaan geografis dan topografis, kehidupan masyarakat, pengaruh agama Islam, masa pemerintah kolonial Belanda, pendudukan Jepang, dan revolusi sosial. Simalungun membentang mulai titik batas di puncak bukit (baca: Bukit Barisan) hingga berangsur-angsur menurun dan menyentuh pantai timur Danau Toba.
Di dalam masyarakat Simalungun pun ada stratifikasi sosial dan di bagi menjadi tiga golongan yaitu golongan bangsawan (partuanon), orang merdeka (paruma), dan hamba (jabolon). Golongan bangsawan yang tergolong dalam kaum bangsawan bukan karena tingkat pendidikan dan kekayaan yang dimilikinya, melainkan ditentukan oleh asal-usulnya sebagia keturunan bangsawan (partuanon atau partongah). Golongan bangsawan mengikuti tradisi kerajaan dengan menggunakan simbol dan gelar kebangsawanan untuk menunjukkan kebesaran mereka. Golongan ini terbagi dalam dua kelompok yakni kelompok hamba tulasik dan hamba taban-tabanan. Hamba tulasik adalah hamba yang turu- temurun menjadi kepunyaan pemiliknya. Sedangkan hamba taban-tabanan adalah hamba yang dibeli atau tawanan perang. Hamba yang dibeli disebut juga jabolon anak babi, sedangkan tawanan perang disebut jabolon ayoban. Di Simalungun mengenai pengaruh dari stratifikasi dan iklim sosial tersebut tampaknya masih kuat sampai sekarang, baik di pedesaan maupun perkotaan. Terdapat sikap yang cenderung menerima perintah pemimpin atau sungkan mengkritik atasan.
            Di dalam masyarakat Simalungun sebelum tahun 1850 Islam juga memiliki pengaruh besar, baik itu dalam bidang sosial, politik dan budaya secara umum. Masuknya Islam ke Indonesia diperkirakan berlangsung pada abad ke 13 yang dibawa oleh pedagang Islam dari Gujarat, India. Agama Islam menjadi agama resmi yang mapan di lingkungan istana kerajaan Siantar, skurang-kurangnya ketika RMG/Batakmission memulai pekerjaannya di Simalungun sejak 1903. Jadi jelas bahwa sebelum Batakmission memperkenalkan agama Kristen di kalangan masyarakat Simalungun, Islam sudah terlebih dahulu memasuki Simalungun terkhusus Simalungun bawah dan memberi pengaruh yang signifikan dalam bidang sosial, ekonomi, budaya dan politik. Melihat kemajuan yang dilakukan agama Islam maka RMG mengimbangi kekuatan Islam di Tapanuli Selatan.
            Sekitar tahun 1888-1942 secara perlahan beberapa daerah Simalungun jatuh ke tangan kolonial Belanda. Pematang Siantar adalah daerah pertama yang dianeksasi Belanda pada tahun 1888. Dari tahun 1891-1896, kolonial Belanda telah banyak menduduki daerah Simalungun. Dan pada tahun 1896 Belanda berhasil menduduki seluruh wilayah Simalungun. Maka dari itu, penertiban di wilayah Simalungun Sumatera Utara pun dilakukan oleh Belanda demi kepentingan ekonomi dan politik Belanda di Simalungun. Setelah penertiban yang dilakukan oleh Belanda, Belanda pun melakukan lanjutan strategi politik di Simalungun. Belanda memaksa raja untuk menandatangani perjanjian Korte Verklaring (Perjanjian Pendek) pada 1907. Perjanjian tersebut menyatakan bahwa wilayah Simalungun berada di bawah kekuasaan Belanda, juga tidak dapat menjalin hubungan politik dengan kekuasaan asing dan mematuhi perintah dan peraturan yang ditetapkan oleh Belanda. Belanda juga menetapkan hukum peradilan yang berlaku di Simalungun di bawah kuasa raja yang dipilih secara bergantian. Namun, pada tahun 1918 akibat pengaruh yang dilakukan oleh Inggris di daerah-daerah konsesi yang luas dari para raja Simalungun. Melihat hal itu pengusaha onderneming Belanda juga membuka area perkebunan teh yang sangat luas di Simalungun. Dengan diberlakukan Belanda perkebunan teh, masyrakat Simalungun kebanyakan kehilangan pekerjaan mereka seperti biasanya karena tanah ladang mereka kini dialihfungsikan menjadi area perkebunan. Masyarakat Simalungun merasa tidak senang terhadap sikap pengusaha onderneming meskipun telah diberikan lahan siap pakai di tepi area perkebunan. Masyarakat Simalungun pun melakukan tindakan perusakan di beberapa area perkebunan. Meskipun perlawanan dilakukan oleh masyarakat, pengusaha onderneming Eropa, dengan dukungan pemerintah kolonial Belanda, berhasil melanjutkan usaha perkebunan mereka di Simalungun. Kedudukan raja sampai berakhirnya kekuasaan Belanda pada tahun 1942 dengan datangnya Jepang ke Simalungun akhir Maret 1942 tetap menjadi penguasa tertinggi.
           
     AB II
KEPERCAYAAN ASLI DAN ADAT ISTIADAT ORANG SIMALUNGUN
A.    Asal Mula Alam Semesta dan Masyarakat Simalungun
Dalam salah satu pustaha Simalungun yang dikenal dengan nama Pustaha Akar Mula Jadi, dikisahkan bahwa pada awalnya ada tiga dewa yang bertahta di langit (nagori atas) yakni tuan Sahine-hine, tuan Tobal Dunia, dan tuan Naga Padokah Ni Aji. Mereka sepakat menciptakan manusia untuk menghuni nagori tongah (bumi). Tuan Sahine-hine memulainya dengan membentuk patung tanah menyerupai manusia. Setlah patung dibentuk seotrang utusan disuruh membawa hasah hagoluhan (nafas kehidupan) ke nagori tongah, untuk selanjutnya ditempatkan di bawah hidung patung tadi. Sang utusan diingatkan untuk tidak membuka gengamannya hingga ia tiba ke bumi. Dalam perjanlanannya menuju bumi, sang utusan berniat melihat bagaimana bentuk hosah hagoluhan yang ada dalam genggamannya tangannya. Ketika ia membuka genggamannya saat itu juga hosah hagoluhan keluar dan segera berubah wujud menjadi benda angkasa. Inilah awal terjadinya matahari, bulan dan bintang.
B.     Kepercayaan Asli Orang Simalungun
Orang Simalungun percaya akan adanya kuasa tertinggi yang menciptakan langit dan bumi ini. Namun, dalam ritual keagamaan hanya datu atau imam yang dapat berhubungan dengan Naibata sedangkan masyarakat umum memuja Simagod (roh leluhur satu marga), tonduy jabu (roh nenek moyang satu keluarga), dan sinumbah  (roh sakti yang dipercaya menghuni suatu lokasi sehingga disebut tempat keramat). Dengan demikian kepercayaan roh-roh adalah keprcayaan terhadap Naibata dan roh leluhur. Dimana kepercayaan ataua agama asli orang Simalungun adalah keprcayaan roh-roh atau agama suku.
1.      Naibata
2.      Simagod, Tonduy Jabu, dan Sinumbah
3.      Kekuatan Gaib
4.      Tempat penyembahan
5.      Pandangan tentang Alam Semesta (Kosmos)
6.      Pandangan tentang Manusia
7.      Pandangan hidup Orang Simalungun
C.    Siklus Kehidupan dan Adat Istiadat Simalungun
Pada fase-fase peralihan ini dilaksanakan sejumlah ritual mulai masa kehamilan, kelahiran, masa muda, perkawinan, hingga kematian.
1.      Kehamilan dan Kelahiran
Menurut kepercayaan asli Simalungun sejak dalam kandungan anak sudah berada dalam ancaman roh-roh jahat. Untuk melindungi kandungannya serangkaian pantangan dan ritual harus dijalankan oleh ayah dan ibu. Dimana selama masa hamil, istri tidak boleh makan dan minum dipinggir jalan, memakai kain basah, menggendong tumba, bersanggul, dan melayat orang meninggal. Sementara pantangan suami tidak boleh menggali liang kubur, pulang larut malam, bersetubuh pada usia kandungan empat bulan.  Ketika tiba saatnya hendak melahirkan beberapa persiapan dilakukan seperti tempat bagi sibaso (dukun beranak) untuk melakukan ritual pengusiran roh-roh jahat, meramu minuman bangun-bangun, membuat parapian, menghamparkan tikar putih yang baru dianyam untuk tempat ibu melahirkan. Setelah bayi lahir, selama tujuh hari diadakan masa mangariari (masa krisis).
2.      Masa Remaja dan Pemuda
Pada usia sepuluh tahun baik bagi anak laki-laki maupun perempuan dilakukan upacara pahotkon tonduy (peneguhan roh) yang bermakna bahwa roh si anak sudah siap memasuki pahit getirnya kehidupan. Setelah menyampaikan daun sirih dan dayok batur manggoluh, pihak tondong meletakkan sejemput beras ke atas kepala anak itu seraya berkata: “pir ma tonduy ni panogolannami on itumpak tonduy ni ompungta, jorgit-jorgit ulang mahua, mangasi haganup na nihorjahon ni tangan, anak na pandei maruhur, bonar, bujur janah sitangihon podah ni namatorani. Pitta-pitta ma sori mandapot, ia in sininta ai ma dapot.” Selanjutnya orangtua berusaha keras mendidik dan melatih putra meerka cara membuat pisau, berburu, pencak silat, mengalahkan lawan dalam perjudian, dan semnetara untuk putrid, mereka dilatih cara menenun kain, menganyam tikar, dan memasak.
3.   Perkawinan
Dalam perkawinan bukanlah urusan pribadi atau sebatas pihak mengambil istri (laki-laki) dengan pihak memberi istri (perempuan), melainkan meliputi urusan keluarga dan klan.
Adapun bagi-bagian perkawinan yaitu:
a.      Tujuan Perkawinan
b.      Syarat-syarat Perkawinan: Usia, Mas kawin
c.      Jenis-jenis Perkawinan: Meminang, Kawin Lari, Kawin Paksa, Musyawarah Bersama, Ganti Tikar, Marhorja Raja
d.     Perzinahan dan Perceraian
4.      Kematian dan Pemakaman: Mati baru lahir,  Mati masa kanak-kanak atau pra-Remaja, Mati muda, Mati orangtua muda, Mati Orangtua berumur, Mati bunuh diri.
5.      Siklus Pertanian
Pada umumnya masyarakat Simalungun gidup dari pertanian dengan cara berladang darat, dimana padi merupakan tanaman pokok untuk makanan sehari hari. Orang Simalungun mengenai tiga musim yaitu musim hujan (panorang parudanon), musim peralihan (panorang lang manontu), dan musim kemarau (panorang logou ni ari).
a.       Waktu pelaksanaan ritual (upacara)
1.      Bulan Sipaha sada (Februari-Maret)
2.      Bulan Sipaha Dua (Maret-April)
3.      Bulan Sipaha Tolu (April-Mei)
4.      Bulan Sipaha Opat  (Mei-Juni)
5.      Bulan Sipaha Lima (Juni-Juli)
6.      Bulan Sipaha Onom (Juli- Agustus)
7.      Bulan Sipaha Pitu (Agustus-September)
8.      Bulan Sipaha Waluh (September-Oktober)
9.      Bulan Sipaha Siah (Oktober-November)
10.  Bulan Sipaha Sapuluh (November-Desember)
11.  Bulan Luyuh Bolon (Desember-Januari)
12.  Bulan Hurung Pariama (Januari-Februari)
b.      Sistem Almanak, Kalender, Adat, dan pengobatan Tradisional
·         Pembagian waktu
·         Pembagian Bulan (Susukara)
·         Pembagian Tahun
·         Sistem Mata angin
·         Pengobatan Tradisional
6.      Pemahaman Tentang Penyakit
Tidak setiap penyakit sellau dipahami sebagai akibat kelalaian melakukan pemujaan. Penyakit seperti luka bakar, atau digit ular, bisul, sakit gigi, dan sebagainya cukup menggunakan ramuan obat tradisional.
7.      Seni Budaya Simalungun: Bahasa dan Aksara, Nyayian Simalungun, Musik Simalungun, Tari-tarian Simalungun.







BAB III
BADAN ZENDING RMG DAN TEROBOSAN KE SIMALUNGUN
A.    Rheinische Missions-Gesellschaft (RMG)
1.      Latar Belakang Historis
Pada pertengahan abad 17 terjadi perubahan sosial-politis dan keagamaan yang mewarnai kehidupan ke kristenan dan gereja di Jerman seiring dengan tercapainya Perdaiaman Westfalen di kota Munster pada 24 Oktober 1648. Dampak Perang 30 Tahun ternyata menyisakan sejumlah keprihatinan baik kehidupan masyarakat maupun gereja. Kerinduan ini mendorong lahirnya gerakan Pietisme di Jerman yang tokoh-tokoh awalnya adalah Philip Jacob Spener (1615-1705) dan muridnya August Herman Franck (1663-1727) yang dikenal sebagai pemimpin Halle. Pengaruh Pietisme bagaikan sungai deras yang membanjiri banyak wilayah Jerman. Menjelang akhir abad 18 hingga permulaan abad 19 semangat dan gerakan Pietisme di Jerman mewujud dalam berbagai lebaga zending atau perhimpunan zending. Pada 24 Juni 1829, RMG secara resmi diakui pemerintah.
2.   Pengurus dan Organisasi
Dalam rangka mengurus kegiatan pekabaran Injil sebuah kedeputatan dibentuk yang terdiri dari praeses (ketua), sekretaris, bendahara, dan anggota. Kepengurusan ini mengalami perkembangan ketika Die Barmer Missionsgesellschaft menyerahkan seminari Barmen di bawah kepemimpinan RMG sejak Oktober 1830. Kedeputatatn tidak dihaous tetapi ditambah pengurus lain yang disebut inspektur,yang kemudian menjadi peimpinan tertinggi RMG.

3.      Wawasan Misiologis
Sesuai dengan cita-cita Pietisme dan juga pengaruh Revivalisme dalam tubuh RMG tujuan tertinggi dan terakhir dalam usaha pekabaran Injil adalah untuk memennagkan jiwa-jiwa yang dikuasai keeglapan kepada Kristus melalui pertobatan pribadi yang pada gilirannya mewujud dalam kumpulan umat Kristen yang saleh. Wawasan Misiologis yang bernuansa pietistic ini begitu berperan dalam usaha zending RMG terutama melalui guru-guru di seminari Barmen yang sebagian besar dari mereka juga berasal dari lingkungan Pietisme.
4.      Seminari Barmen dan Para Utusan
Pada awalnya seminari ini hanya sebagai sekolah persiapan (kursus) bagi para calon zendeling sebelum mereka dikirim ke seminari Basel atau sekolah misi Janicke di Berlin. Pembenahan mutu pendidikan dan keterampilan siswa baru dimulai sejka J. H. Richter (1799-1846) menjadi isnpektur RMG pada 28 Mei 1827. Seleksi ujian masuk diadakan dan masa belajar ditetapkan selama tiga tahun. Wawasan pendidikan dan theologis-misiologis para guru seminari pada gilirannya sangat dalam merekrut calon utusannya baik pada masa J. H. Richter maupun para guru sesudahnya. Oleh karena itu setekah calon zendeling menyelesaikan pendidikannya di Seminari Barmen, secepatnya mereka ditahbiskan oleh gereja-gereja pendukung RMG baik di Barmen maupun di Elberfeld.
5.      Metode Pekabaran Injil
Dalam usaha perluasan Injil Kristus para zendeling diminta untuk menyelenggarakan pendidikan, terutama bagi anak-anak yang sudah dibaptis. Selain pendidikan, pelayanan dalam bidang kesehatan dan sosial-ekonomi juga  mendapat perhatian yang dipandang dapat menunjang usaha pekabaran Injil. Sikap bersahabat terhadap penduduk pribumi dan upaya menjalin hubungan baik dengan pemuka masyarakat atau pengusaha tradisional primu dipandang sebagai pendukung pemberitaan Injil dimaksud.     
B.     Terobosan ke Simalungun dan Pembukaan Pos Pekabaran Injil
Kesepakatan di kalangan zendeling RMG untuk mengawali terobosan pemberitaan Injil ke Simalungun diputuskan dalam Konferenz Rheinische Missionare auf Sumatera (Konferensi Batakmission) yang diselenggarakan pada 3-8 Februari 1903 di Laguboti. Menerobos Simalungun berarti memuali suatu pekerjaan baru dan berat di tengah-tengah masyarakat tradisional Simalungun yang belum sepenuhnya dikenal para zendeling Batakmission. Dimana melalui kebijakan ke wilayah Simalungun sebelum Pos PI didirikan di Simalungun.  Meskipun ekspedi tersebut berlangsung relative singkat (sejak 10-29 Maret 1903), tampaknya sudah cukup bagi Btakmission mengupayakan langkah selanjutnya bagi penderian Pos PI di Simalungun. Upaya ini semakin mantap ketika I. L. Nomensen menerima telegram dari Inspektur RMG di Barmen, A. Scheiber pada 16 Maret 1903. Nomensen melihat peluang di balik pekerjaan Pardonganon Mission Batak (PMB) yang sejak 1901 bekerja di Tigaras. Pos PI pertama didirkan di Pamatang Raya. Demikianlah sejak 2 September 1903, august Theis ditetapkan menempati pos PI Pematang Raya. Terobosan ke Simalungun semakin lengkap dimana adanya pos PI kedua di Pematang Bandar dan pos PI ketiga di Purbasaribu. 
C.    Ekskursus : Pardonganon Mission Batak (PMB)
Lembaga ini berdiri pada 1899 atas prakarsa beberapa pendeta. Tujuan pendirian lembaga ini adalah untuk memebritakan Injil kepada masayarakat penganut agama suku di tanah Batak terutama Samosir, Uluan, Pakpak-Dairi, dan Simalungun. Salah seorang PMB yang ditus mengabarkan Injil kepada orang Simalungun di kawasan tepi Danau Toba ialah Samuel Panggabean. Lambat laun tujuan mulia PMB untuk menginjili orang Simalungun di tepi Danau Toba tidak membuahkan hasil. Pemakaian bahasa Batak toba sebagai bahasa pengantar yang bukan bahasa asli orang Simalungun, memabatasi kemungkinan pertobatan di kalangan Simalungun.
D.    Orang Simalungun dalam Pandangan RMG/Batakmission 
Pengalaman Batakmission selama 37 tahun (1903-1940) bekerja di Simalungun membuktikan bahwa untuk memperoleh kepercayaan dari orang Simalungun diperlukan waktu yang sangat lama. Pengalaman zending menunjukkan betapa mereka kecewa melihat sulitnya suku ini dimenangkan bagi Injil Kristus. orang Simalungun menunjukkan sikap keramahan dan persahabatan hanya bila zendeling memenuhi keinginan dan permintaan mereka. Harus diakui ada sikap mental dalam diri orang Simalungun yang dapat menghambat mereka memperoleh kemajuan.  Para zendeling tidak sepatutnya memebri penilaian negative terlalu dini tentang sifat dan karakter orang Simalungun, tanpa mengenal alam pemikiran orang Simalungun itu sendiri.







BAB IV
PERIODE PERINTISAN (1903-1927)
A.    Awal  Perjumpaan
1.      Menciptakan Hubungan Baik dengan Golongan Bangsawan dan Masyarakat Umum
Langkah pertama yang ditempuh para zendeling setiap kali bermaksud membuka pos atau stasi baru (termasuk pembukaan sekolah) adalah menjalin hubungan dengan golongan bangsawan atau raja setempat. Pada umumnya hubungan baik itu terjalin dengan para raja yang menganut agama suku. Mereka mengizinkan membuka sekolah, membangun rumah sakit zendeling, menyekolahkan anak mereka di sekolah zending bahkan mentipkan anak mereka untuk tinggal di rumah zendeling. Dari jalinan persahabatan yang berlangsung tampak bahwa hubungan diantara kedua belah pihak berada dalam dua arah yang berbeda. 
2.      Mendirikan Sekolah
Di simalungun kegiatan zending di bidang ini termasuk salah satu usaha yang dipentingkan bahkan boleh dikatakan jalan perkembangan jemaat di Simalungun pada mulanya adalah dengan mendirikan sekolah zending. Untuk pertama kali Batakmission mendirikan sekolah zending pada tahun 1904 di Raya Tongah. Mengingat pendidikan adalah sarana (Missionsmitte) usaha penginjilan, para murid diajarkan pengetahuan agama seperti: pengetahuan Alkitab, Katekismus Kecil Marthin Luther, Nyanyian Rohani. Selain itu momen kehadiran sekolah zending di Simalungun tampaknya sangat tepat jika ditinjau dari segi sosial-ekonomis, terutama dengan dibukanya arel perkebunan secara besar-besaran di simalungun sejak 1908 oleh orang-orang Eropa.
3.      Pelayanan Kesehatan
Sejak awal zending telah menyadari bahwa pelayanan kesehatan merupakan salah satu sarana penting dalam tugas pemberitaan Injil. Selain menunjukkan rasa iba atau kasihan kepada penduduk, pelayanan kesehatan juga dipandang sebagi upaya membina hubungan dan menarik simpati penduduk sekaligus memerangi praktek perdukunan yang dinilai zending tidak dapat dipertanggungjawabkan baik secara medis maupun Iman Kristen. Di lapangan penginjilan, para zendeling bergiat melakukan penyuluhan dan pengobatan gratis kepada penduduk. Orang Simalungun tidak memahami penyakit sabagaimana pemahaman Barat, tetapi mereka memiliki pemahaman yang dibentuk dari kepercayaan yang mereka anut turun-menurun. Setiap penyakit selalu dihubungkan kepada roh jahat yang masuk ke dalam tubuh manusia sehingga satu-satunya jalan untuk sembuh ialah meminta pertolongan roh leluhur melalui ritual yang dipimpin datu (dukun). Demikian pula halnya, pripoganda pengobatan Barat dari Batakmission secara berangsur-angsur mendapatkan respon positif dari orang Simalungun. Para zendeling memamfaatkan pelayanan ini sebagai kesempatan menciptakan kontak atau hubungan pribadi dengan penduduk pribumi melalui sikap ramah, mendengarkan keluhan mereka dengan penuh perhatian, menjenguk dan mendoakan orang-orang sakit, memberi sejumlah pakaian dan selimut, bahkan beberapa orang sakit di rawat di rumah zendeling.  
4.      Menebus Budak
Ketika para zendeling memulai pekerjaan mereka di Simalungun mereka melihat begitu banyak budak dari berbagai usia diperjual-belikkan di pasar tradisional, baik laki-laki maupun perempuan. Budak diperdagangkan umumnya berasal dari golongan taban-taban (budak tawanan perang) dan golongan utang (budak tawanan utang). Meskipun perbudakan telah dilarang pemerintah Kolonial Belanda pada 1910, jual beli budak masih berlangsung di Simalungun hingga tahun 1912. Pada 1912, A. Theis menebus dua budak laki-laki berusia 30-an tahun. Mengacu pada falsafah Habonaron Do Bona seseorang dipandang terhormat tidak didasarkan pada status sosial, tingkat pengetahuan dan harta kekayaan tetapi perilaku dan peran aktifnya membangun keharmonisan di tengah-tengah masyarakat. Meskipun bekas budak ini perlahan-lahan mendapat tempat dalam masyarakat Simalungun, jumlah mereka sangat kecil. Dengan kata lain usaha Batakmission menebus budak tidak menimbulkan perombakan total strutur kemasyarakatan Simalungun yang lama. 
5.      Peningkatan Kesejahteraan Ekonomis
Batakmission juga mnegusahakan modal kerja yang diperoleh dari bantuan pemerintah dan pengusaha perkebuna, lalu disalurkan kepada penduduk, terutama orang Kristen. Modal kerja ini dimamfaatkan semaksimal mungkin, terutama bagi orang Simalungun Kristen di Purba, Seribudolok dan Nagasaribu. Sejak tahun 1915, Batakmission menyelenggarakan Pesta Pariama (Pesta Panen) untuk keperluan jemaat dan sekolah. Anggota jemaat datang membawa persembahan syukur berupa padi, kadang-kadang disertai buah-buahan, sayur-sayuran, dan hewan peliharaan seperti ayam. Laju perubahan sebagai dampak peningkatan pendapatan dan kesejahteraan ekonomis terutama menonjol di kalangan penduduk beragama Kristen. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi penganut agama suku hingga perlahan-lahan muncul kesadaran baru dalam diri mereka bahwa agama Kristen menawarkan banyak mamfaat dan keuntungan ekonomis.
6.      Pekabaran Injil dan Kebudayaan Orang Simalungun
Pada awal pekerjaanya di Simalungun, kalangan zendeling RMG/Batakmission kurang mendapatkan pengetahuan yang memadai tentang agama dan adat istiadat orang Simalungun. Oleh karena itu, usaha penginjilan yang dilakuakn Batakmission pada periode perintisan ini kurang menujukkan dinamika perjumpaan Injil dengan budaya/adat-istiadat Simalungun. Akan tetapi ada pula faktor lain yang menyebabkan Batakmission kurang sungguh-sungguh memahami dengan tepat kehidupan masyarakat Simalungun yang sudah memiliki sistem sosial, politik, budaya, agama dan pendidikan. Bagi orang Simalungun masalahnya tidak hanya soal bahasa tetapi juga menyangkut masalah etis dan moral dalam tatanan kebudayaan orang Simalungun, hal tidak disadari oleh para zendeling. Perlahan-lahan sikap dan penilaian para zendeling tampak berubah terhadap kebudayaan Simalungun. Bila sampai tahun 1908, Batakmission cenderung menilai kebudayaan/adat Simalungun sebagai sesuatu yang “kafir” maka sejak 1909, sikap yang ditunjukkan para zendeling adalah menyeleksi atau memilah unsur-unsur budaya Simalungun ke dalam kategori negative dan positif atau yang kafir dan tidak kafir. 
B.     Peranana Pekerja Pribumi Simalungun
1.      Penatua
Pada awalnya penatua yang diangkat adalah mereka yang selama ini membantu pekerjaan para zendeling dan guru Batak Toba. Sedikit banyak para zendeling dan guru Batak Toba. Penatua yang diangkat dari orang Simalungun adalah salomo Sinaga dan Simeon Sinaga pada 1910 di Raya Tongah. Penatua juga diangkat dari beberapa anggota jemaat dengan cara seleksi (Ssichtung) yaitu mereka yang dinilai memiliki watak dan sifat kristiani yang baik serta memiliki kecakapan rohani. Pada 1912, Oberlin Purba diangkat menjadi penatua di Seribudolok dan Jonathan Saragih menjadi penatua di Nagasaribu. Oleh karena berasal dari sukunya sendiri, para penatua tersebut memiliki kesempatan luas untuk mengembangkan hubungan baik dengan saudara mereka yang menganut agama suku untuk membawa mereka menjadi orang Kristen. 
2.      Guru
Hingga pertengahan 1915, penyelenggaraan sekolah di Simalungun didominasi para zendeling Batakmission dan guru pribumi dari Tapanuli. Oleh karena itu, upaya untuk “merehabilitasi” orang Simalungun dari kebodohan dan kekafiran hanya dapat berlangsung efektif di tangan Batakmission bersama para pembantu mereka, para guru pribumi Tapanuli, yang telah terlebih dulu dicerdaskan dan dikristenkan oleh Batakmission sejak 1861. Gagasan pengadaan guru sekolah dari orang Simalungun pertama kali dicetuskan A. Theis tahun 1980, tetapi baru dimatangkan pada konferensi khusus zendeling Batakmission di Simalungun pada 22 Maret 1910 di Pematang Raya.
C.    Berbagai Faktor Pendorong dan Penghambat
1.      Faktor-faktor Penghambat
·         Badan Zending dan Utusannya (termasuk para guru-guru dari Tapanuli)
·         Masyarakat Simalungun
·         Pendatang Suku Asing
·         Islam
·         Keadaan Geografis Wilayah Simalungun
2.      Faktor-faktor Pendorong
·         Badan Zending dan Utusannya
·         Penguasa Tradisional dan Masyarakat Simalungun
·         Sekolah Zending
Pengerja Pribumi













BAB V
Perjumpaan yang intensif (1928-1952)
Ini merupakan awal babak baru bagi usaha penginjilan di Simalungun karena mulai tahun ini terjadi perjumpaan yang inensif dan meluas antara Injil dan unsur-unsur kebudayaan Simalungun, dengan cara intensifikasi kegiatan yang berkenaan dengan identitas kebudayaan mereka. Kebuntuan penginjail pun dapat teratasi dengan strategi ini, sehingga terjadi pertambahan kuantitas yang mencolok dalam pertambahan jemaat ataupun pendirian jemaat yang baru dan sekolah.permasalahan masa lalu dapat dijadikan acuan untuk mempertegas perubahan yang terjadi dalam bingkai kesatuan historis yang berkesinambungan, dari periode sebelumnya ke periode yang sedang dibahas.
Upaya Pembenahan
1.      Bidang Pekabaran Injil
Para zendeling berpendapat bahwa kekristenan orang Simalungun belum matang, sehingga belum waktunya memberi mereka wewenang dalam pemberitaan Injil, apalagi memimpin jemaat. Orang Kristen Simalungun mengambil langkah pembenahan dengan memobilisasi jemaat untuk pekerjaan pemberitaan Injil, antara lain :
a.       Penggalakan literatur kerohanian berbahasa Simalungun
Kegiatan yang mencolok dalam hal ini adalah didirikannya suatu organisasi yang disebut “Komite Na Ra Marpodah” (perkumpulan yang mau member nasihat) pada tahun 1928 di Pematang Raya. Selain menggalakkan literatur kerohanian berbahasa Simalungun, komite ini juga menerbitkan traktat, brosur dan artikel yang intinya memuat cita-cita kemajuan orang Simalungun baik dibidang pendidikan, ekonomi maupun politik.
b.      Pembenahan metode pemberitaan Injil
J. Wismar Saragih prihatin perihal sedikitnya orang Simalungun yang dikristenkan dalam waktu 25 tahun oleh Batakmission. Batakmission terkesan belum sepenuh hati menggumuli strategi dan metode penginjilan yang cocok dengan kehidupan orang Simalungun. Menyusul imbauan tersebut, sejumlah penatua di Sondi Raya mendirikan lembaga penginjilan pribumi yang disebut “Kongsi Laita” (die Vorwartsbegung) yang sejak 1953 berganti nama menjadi Zending Batak Simalungun. Kongsi ini pun berpendapat bahwa hanya melalui Injilah orang simalungun dapat diselamatkan dari kegelapan. J.Wismar tidak mengingkari keindahan busana Eropa yang diperkenalkan para zendeling, terutama kemeja yang dilengkapi dasi dan jas bagi kaum lelaki. Tetapi, ia tidak sependapat dengan zendeling yang melarang mengenakan pakaian adat Simalungun untuk menghadiri pesta gerejani.
c. Meningkatkan peran jemaat
Para pengerja Simalungun menyadari bahwa jika hanya mengandalkan tenaga penginjil keliling untuk menginjili penganut agama suku yang tersebar di Tanah Simalungun tidaklah cukup. Sehingga mereka sepakat untuk mendirikan “kursus penginjilan” kepada jemaat Simalungun yang kemudian disebut “Perguru Saksi Kristus” (Zeugen-Christ-Kurse). Kursus ini dimulai pada Oktober 1942 dengan jumlah peserta 72 orang di bawah pendeta Simalungun : J.Wismar Saragih, Kerpanius Purba, dan A. Wilmar Saragih. Singkat cerita, seiring berjalannya waktu, dapat dilihat bahwa kehadirian “Parguru Saksi Kristus”, terutama berkat usaha penginjilan yang dilakukan para penginjilnya, memberi arti penting bagi masuknya Injil dalam kehidupan masyarakat Simalungun.
2.      Bidang pendidikan
Perjumpaan intensif antara Injil dan kebudayaan juga ditunjukkan dalam pelayanan pendidikan. Selain penggalakan literatur berbahasa Simalungun, peran para guru dan penambahan tenaga pendeta pribumi juga turut dibenahi.
a.       Penggalakan Literatur
Penerbitan dan penyebaran buku pelajaran berbahasa Simalungun merupakan kegiatan utama “Komite Na Ra Marpodah” dalam sejarah pendidikan di Simalungun. Lagi-lagi J.Wismar Saragih memiliki peran dalam hal ini. Jalan yang ditempuhnya untuk memperjuangkan pemakaian buku pelajaran berbahasa Simalungun tidaklah mudah. Apalagi pemerintah mengeluarkan kebijakan bahwa semua sekolah pemerintah dan yang mendapat subsidi harus menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Tidak semua orang paham dengan cita-citanya.
b.      Meningkatkan peran guru
Sejak 1935, mendirikan sekolah di daerah yang masih “kafir” itu dilakukan sendiri oleh orang Kristen Simalungun, terutama para guru sekolah. Pada konferensi para guru tanggal 14 Maret 1935 di Pematang Raya, diputuskan semua guru ikut bertanggung jawab mengusahakan keperluan sekolah di Dolok Silou dengan menyerahkan 1% dari gaji yang mereka terima yang digunakan untuk membangun sekolah, menyediakan perlengkapannya dan menyantuni guru yang dipekerjakan di sana. Agar berjalan lancar, maka dibentuklah organisasi “Kas Saksi Kristus”. Para guru Simalungun menilai bahwa program ini merupakan salah satu cara terbaik untuk menunjukkan keinginan dan berpartisipasi dalam memajukan suku mereka. Dalam perkembangan selanjutnya, jumlah sekolah yang dibangun dari gaji ini terus meningkat berkat kegiatan “Kas Saksi Kristus”.
c.       Kursus Pandita (Pendeta)
Kursus ini khusus untuk menigkatkan kecakapan guru dalam menjalankan tugas penginjilan dan pelayanan jemaat. Dengan demikian, tamatan kursus ini tidak lagi melayani tugas persekolahan secara langsung, melainkan ikut memimpin dan membina jemaat. Selama mengikuti kursus, para calon pendeta didampingi keluarga masing-masing. Oleh karena itu, bagi mereka disediakan pemondokan khusus, tetapi tidak jauh terpisah dari rumah penduduk.
3.      Bidang Kesehatan
Pada 1915, ada usulan kepada inspektur RMG Johanes Spiecker supaya mendirikan rumah sakit di Simalungun, tidak ada kegiatan yang mengarah kepada usul tersebut karena Batakmission telah membangun dua unit rumah sakit besar di Tanah Batak, yaitu Pearaja, Tarutung (1900) dan Balige (1928). Namun setelah tahun 1946, pengerja Simalungun mengajukan permohonan kepada Pucuk pimpinan HKBP dan pengurus Medische Seksi HKBP supaya di Simalungun dibangun rumah sakit sekaligus menarik penganut agama suku. Sebuah rumah sakit dibangun di Saribudolok pada Juni 1952.
4.      Bidang Bahasa
H.Vollmer bersama Raja Raya meminta kepada pemerintah supaya mengutus seorang ahli bahasa lulusan universitas ke Simalungun setelah disampaikannya surat keprihatinan dari J.Wismar. Pemerintah mengabulkan permintaan itu dengan mengutus P.Voorhoeve, pakar peneliti bahasa lulusam Vrije Universiteit dari Belanda dan mulai bekerja di Simalungun sejak 3 Februari 1937. Ia menemukan bahwa bahasa Simalungun sama sekali berbeda dengan bahasa lainnya setelah ia melakukan penelitian. Dari sini telihatlah bahwa mengkomunikasikan Injil dengan bahasa sehari-hari penduduk setempat sangatlah penting.
5. Bidang Organisasi Gereja
a)      Mengenai Nama “Simalungun”
Bagi orang Kristen Simalungun, masalah utama perihal terhapusnya nama “Simalungun” sebagai suatu distrik, melainkan penghapusan itu dipandang sebagai suatu rekayasa untuk menghapus identitas suku Simalungun dalam tubuh HKBP. Dengan menghilangkan nama “Simalungun” menjadi satu distrik, berarti HKBP tidak menghargai upaya pengerja Kristen Simalungun selama ini, dan hal itu juga akan mengecewakan semua orang Kristen Simalungun.
b)      Mengenai Kebijakan Pemberitaan Injil
Para pengerja Simalungun Kristen mengkehendaki agar kebijakan HKBP terutama dalam pemberitaan Injil perlu menyadari karakteristik orang Simalungun sehingga kebijakan itu sungguh-sungguh dapat memperlancar pemberitaan Injil di Simalungun. Orang-orang Kristen Simalungun menuntut HKBP agar mereka diberi hak otonom untuk mengelola jemaat Simalungun demi kelancaran pemberitaan Injil.
c)      Mengenai Daya dan Dana
Pengerja Simalungun bersama para tokoh Kristen Simalungun menilai bahwa sejumlah kebijakan HKBP yang diterapkan di jemaat Simalungun pada dasarnya kurang menunjang terciptanya kedewasaan jemaat dan percepatan pengkristenan di Simalungun. Menyadari itu, para pengerja Simalungun memahami bahwa usaha itu kini berada di pundak mereka. Dalam pemahaman inilah dapat mengerti bahwa pada 1940 terbentuk Distrik Simalungun, dan pada 1952 terbentuk HKBP Simalungun dalam tubuh HKBP.
Berbagai Faktor Penghambat
1)      Sedikitnya jumlah pengerja di Simalungun.
2)      Sikap kurangnya perhatian Batakmission dan HKBP terhadap pengerja Simalungun.
3)      Keterikatan pada adat istiadat dan agama suku.
Berbagai Faktor Pendorong
1)      Semangat “Hamajuon” dalam diri orang Simalungun.
2)      Semangat menginjil sendiri.
3)      Kerjasama dengan pemerintah, perkebunan dan badan Zending lainnya.
4)      Peran J.Wismar Saragih sebagai tokoh utama sejumlah keberhasilan penginjilan dan pendidikan di Simalungun.

















BAB VI
KEMANDIRIAN GEREJA SIMALUNGUN (1953-1963)
A.       Pembenahan Diri Menuju Kemandirian
Pada periode sebelumnya telah diperlihatkan bahwa pertambahan jumlah orang Kristen Simalungun adaalh berkat kegiatan lembaga penginjilan pribumi, terutama “Kongsi Laitta” (1931) dan “Parguru Saksi Kristus” (1942). Dalam pemahaman seperti itu Kerkbestuur HKBPS sepakat mengambil langkah dan kebijaksanaan terpadu, yang kemudian dikenal dengan program ”Rencana 10 Tahun” (Die Zehn Jahre Plannung). Untuk memperdalam kekristenan, pembinaan dilakukan dalam dua jalur utama, sekolah dan jemaat. Konkretnya usaha penginjilan HKBPS bermuara pada terwujudnya Gereja Simalungun yang kuat dan mandiri, yang dititikberatkan pada kemandirian rohani. Berdasarkan wawasan kemandirian inilah HKBPS membenahi dan mengembangkan metode dan sarana kristenisasi, baik emlalui pelayanan kesehatan, pendidikan, maupun ekonomi.
1.              Pelayanan Kesehatan
Sebagai rumah sakit yang dikelola Gereja, nama rumah sakit itu pun diambil dari Alkitab, Bethesda, kolam di Yerusalem tempat Yesus menyembuhkan orang lumpuh (lih Yoh 5:2). Selanjutnya HKBPS membentuk suatu kepengurusan bagi penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam tubuh HKBPS. Dalam konteks wawasan seperti itulah Sinode Bolon HKBP Simalungun 1958 menyetujui dan emndukung upaya perluasan pembangunan rumah sakit yang diajukan dr. D. R. Williams, pemimpin Rumah Sakit “Betesda” HKBPS Seribudolok.
2.                  Pendidikan
Hingga tahun 1952 telah didirikan 29 sekolah dasar dengan 1.165 murid dan 33 guru. Dari 29 sekolah dasar, hanya 3 sekolah yang mendapat subsidi dari pemerintah, 10 sekolah mendapat bantuan dana selebihnya ebrupa sumbangan. Dalam rangka pembenahan itu dibentuklah suatu oragnisasi pendidikan yang disebut Badan Penyelenggara Perguruan HKBP Simalungun (BPP HKBPS) pada 7 Mei 1954.
3.      Sosial-Ekonomi  
Pasca terbentuknya HKBPS, pembicaraan tentang upaya peningkatan sosial-ekonomis jemaat menjadi sering didiskusikan baik di tingkat jemaat, daerah maupun sinode. Salah seorang peserta Sinode Bolon HKBPS 1955, B. Damanik, berpendapat bahwa menurunnya persembahan jemaat untuk kas Kantor Pusat HKBPS sejak 1954-1955 semata-mata bukan karena jemaat memetingkan diri mereka, melainkan karena rendahnya tingkat kehidupan sosial-ekonomis jemaat. Oleh karena itu Damanik mengusulkan supaya HKBPS menggali sumber dana baru seperti membuka usaha perkebunan karet atau kelapa sawit guna menunjang kegiatan mereka. HKBPS perlu menjalin kerjasama dengan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan ekonomi penduduk (khususnya warga jemaatnya), terutama mereka yang tinggal di pedalaman. 
B.            Beberapa Pandangan Perihal Kemandirian Gereja Simalungun
1.    Pandangan HKBP
HKBP gembira melihat kesungguhan orang Kristen Simalungun memberitakan Injil sehingga penganut agama suku berangsur-angsur dapat dikristenkan dan jumlah jemaat pun semakin bertambah di Simalungun. Namun kegembiraan HKBP disertai kekhawatiran bahwa cita-cita kemandirian didambakan pengerja Kristen Simalungun dapat mengakibatkan terpecahnya kesatuan bangso Batak dalam Gereja Batak yang besar itu. Kenyataan ini menunjukkan bahwa keinginan HKBP agar Gereja Simalungun mandiri belum dapat berkembang. Dari sikap tercermin dalam referat (makalah) Ephorus HKBP Justin Sihombing dalam Sinode Bolon HKBPS 11-15 April 1961 di Pematang Siantar. Dimana menkankan bahawa betapa kita mementingkana kesukuan dan kebudayaan kita, kiranya tidak menggantikan persekutuan kita di dalam Kristus yang adalah kepala Gereja. Justin menunjukkan ke tiga arah. Dari ketiga arah hampir tidak tampak kesediaan HKBP untuk ikut ambil bagian dalam mendukung cita-cita orang Kristen Simalungun untuk meraih kemandiriannya.
2.    Utusan RMG Angkatan Berikutnya
Dalam kurun waktu 1953-1963, RMG kembali mengirim utusannya ke HKBP dan beberapa di antara mereka bekerja di kalangan Kristen Simalungun, yaitu Herman Vomer (1953-1958) dan J. Deppermann (1958-1965). Kehadiran kedua Zending itu atas permintaan HKBPS kepada pimpinan RMG di Barmen/Wuppertal. Pihak HKBPS memandang masih memandang perlu kehadiran zendeling RMG untuk membina dan memajukan jemaat di Simalungun bersama para pengerja Simalungun Kristen, apalagi masih terdapat sjumlah besar penganut agama suku di Simalungun. Meskipun demikian sehubungan dengan desakan kemandirian gereja Simalungun, kedeua zendeling tersebut cenderung kurang memberikan dukungan konkret. Sehubungan dengan hal kemandiran, Deppermannmenekankan setiap pengerja jemaat hendaknya berusaha menciptakan kondisi di mana keingunan memberitakan Injil lahir dari setiap Jemaat. Ia mencontohkan hal yang telah dilakukan “KOngsi Laita” dan “parguru Saksi Kristus”. ternyata dalam zendeling RMG angkatan berikutnya masih terlihat betapa mereka masih belum terlalu mau memandang ke keristenan orang Simalungun dari perspektif kebudayaan orang Simalungun. Konkretnya, kehadiran kedua zendeling RMG angkatan berikutnya di Simalungun ternyata tidak cukup berhasil menumbuhkan kesadaran untuk berdiri sendiri.
3.      Pengerja Simalungun
Mungkin sebagian orang berpendapat bahwa para pengerja Simalungun dengan suara bulat pasti menginginkan kemandirian gereja Simalungun dipercepat. Namun jika ditelusuri lebih lanjut, ternyata di kalangan mereka juga terdapat perbedaan paham tentang kemadirian yang dimaksud A. Wilmar Saragih. Misalnya menghadapi tuntutan kemandirian dari para rekannya meminta uang agar tuntutan kemandirian jangan terlalu dibesar-besarkan seakan-akan telah terjadi perang saudara.
C.            Berdirinya Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS)
Dengan demikian pada 1 September 1963 di deklarasikan berdirinya Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) sebagai salah satu gereja yang mandiri di Sumatera Utara yang berkantor pusat di Pematang Siantar, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. J. Wismar Saragih salah seorang anggota tim perumus nama gereja ini mengatakan bahwa ada tiga hal yang perlu diperhatikan dengan nama itu, yaitu “Gereja”, “Kristen Protestan” dan “Simalungun”. “Gereja” menunjuk kepada universal persekutuan orang percaya sepanjang abad yang semata-mata tunduk di bawah kepemimpinan Kristus. Kata “Kristen Protestan” menunjuk kepada perbedaan GKPS dengan berbagai sekte atau aliran kepercayaan lain meskipun di dalamnya terdapat orang Simalungun. Dan untuk itulah dicantumkan nama “Simalungun” yang mengikuti nama gereja ini. Di satu sisi nama ini menunjuk kepada tempat di mana Injil Kristus hadir sejak 1903.
BAB VII
Perjumpaan Injil dengan Kebudayaan Setelah Kemandirian GKPS Hingga Tahun 1990
a.      Pekabaran Injil
Sepanjang 1964, merupakan saat-saat dimana GKPS menata kembali struktur dan organisasi gerejawi, termasuk merumuskan prinsip-prinsip pekabaran Injil dan ketentuan tentang tugas pekabaran Injil dan ketentuan tentang tugas-tugas pekabaran Injil.
1.      Dasar dan Tugas Pekabaran Injil
Mengingat tugas pekabaran Injil bukanlah pekerjaan yang ringan sehingga tidak mungkin ditanggung satu jemaat setempat saja, maka tugas itu dipandang sebagai tanggung jawab bersama. Oleh karena itu, dalam mengabarkan Injil, jemaat setempat dapat bekerja sama dengan jemaat lain di sekitarnya atau wilayahnya.
2.      Pengorganisasian Pekabaran Injil
Untuk menghindari tumpang tindih diantara dua organisasi, “Kongsi Laita” dan “Parguru Saksi Kristus”, yang sama-sama bertujuan mengkristenkan orang-orang beragama suku, dan supaya lebih efisien dan efektif mengabarkan Injil, pada Sinode Bolon GKPS 1968, kedua organisasi ini diintegrasikan dalam satu seksi, yaitu Seksi Pekabaran Injil (SPI).
Berbagai Metode Pekabaran Injil
-          Khotbah                                                 - Kunjungan dan percakapan
-          Nyanyian dan Musik                             - Mangalop Riah (Bermusyawarah)
-          Tari-tarian
b.      Pendidikan
Usaha pendidikan yang diselenggarakan GKPS menunjukkan adanya perkembangan yang berarti, baik dalam hal organisasi pendidikan maupun jenis sekolah.
1.      Organisasi Pendidikan
Seiring semakin meningkatnya rasa kesukuan dan kedaerahan di kalangan Simalungun, pemulihan kesatuan organisasi sekolah dan jemaat disambut hangat. Meskipun banyak hal belum maksimal dapat dicapai dari asas kesatuan ini, termasuk masih rendahnya kerelaan membiayai sekolah, setidaknya jumlah murid yang bersekolah tidak dikhawatirkan yayasan, apalagi ciri khas kekristenan sekolah itu tetap dikedepankan.
2.      Sejumlah Sekolah di Lingkungan GKPS
Berikut adalah pekembangan sejumlah sekolah GKPS :Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Umum (SMP dan SMA), Sekolah Kejuruan, Pendidikan Tinggi
c.         Kesehatan
Tujuan akhir pelayanan kesehatan yang diselenggarakan GKPS melalui rumah sakit tersebut bukan sekedar demi kesehatan, melainkan juga agar rumah sakit itu mampu membiayai dirinya sendiri, sejajar dengan upaya meningkatkan mutu kerohanian para petugasnya. Pada gilirannya, kmandirian tersebut dapat menunjang kemandirian jemaat di bidang dana.
d.      Sosial-Ekonomis
Kegiatan usaha ekonomi di lingkungan GKPS dipahami sebagai sarana untuk membantu meningkatkan kesejahteraan ekonomi jemaat sehingga pada gilirannya mereka juga terbantu membiayai kebutuhan jemaat dan kas pusat GKPS.
e.       Pengerja Pribumi, Khususnya Pendeta
Sebagai lanjutan kemandirian gereja yang baru saja diraih, timbullah keinginan untuk meningkatkan pengetahuan teologi para pendeta GKPS, baik studi lanjutan maupun kursus pendalaman salah satu disiplin ilmu teologi tertentu di dalam dan luar negri.
Sidang Majelis Pendeta
Sikap dan penilaian para pendeta GKPS tehadap budaya dan adat istiadat Simalungun sangat selektif dan berhati-hati. Tampaknya persoalan seputar perjumpaan Injil dengan kebudayaan masih terus menjadi hal yang dipergumulkan kalangan pendeta GKPS.
Katekisasi
Para zendeling  Batakmission sejak dini telah mengupayakan buku pengajaran katekisasi. Buku itu menjadi pegangan utama dalam pengajaran katekisasi di jemaat Simalungun sehingga berulang kali dkterbitkan.
Faktor Pendorong Kekristenan di GKPS
1.      Pertambahan pos dan bidang pelayanan.
2.      Pertambahan tenaga.
3.      Pelayanan pendidikan, kesehatan dan pembangunan sosial.
4.      Adat Simalungun.
5.      Merosotnya penganut agama suku (kepercayaan terhadap roh-roh)
6.      Pengaruh pemerintah dan pembangunan di Indonesia.
Faktor Penghambat Kekristenan di GKPS
1.      Ketergantungan pada bantuan dana.
2.      Adat Simalungun.
3.      Warisan Feodalisme
4.      Pemerintah


Bab VIII
Perjumpaan Injil Dan Kebudayaan Di Simalungun
Tinjauan Terhadap Beberapa Masalah Theologis-Theologis-Misiologis Di Dalamnya
Di tengah derasnya kekristenan berlanggam toba ke lingkungan simalungun, J. Wismar Saragih (guru dan pendeta pertama dari kalangan simalungun) berupaya sedapat mungkin mengalihkan langgam itu pada kekristenan berlanggam simalungun. J. Wismar Saragih berusaha mati-matian mencari titik temu bagi pendaratn injil Kristus kea lam pemikiran asli sukunya. Ia berharap supaya kaum sukunya sungguh-sungguh berjumpa dengan Tuhan di dalam konteks kebudayaan dan adat-istiadatnya sendiri.
Alkitab
Awalnya J. Wismar Saragih dan Jason Saragih menerjemahkan beberapa buku rohani yang tersedia dalam bahasa toba ke dalam bahasa simalungun, seperti Agenda (buku tata ibadah), nyanyian rohani, katekisasi, dan beberapa cerita Alkitab. Namun, untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa simalungun, J. Wismar Saragih harus berpikir keras. Ia sadar bahwa pengetahuannya tentang bahasa asli Alkitab (ibrani dan Yunani) sangat terbatas. Namun, ia harus berani menerjemahkan Alkitab untuk kebutuhan jemaatnya.
Alkitab terjemahan ini akhirnya dicetak sebanyak 200 eksemplar atas bantuan lembaga Alkitab Belanda pada 1938. Sambutan jemaat simalungun luar biasa. Hanya dalam tempo 3 minggu, terjemahan injil Lukas habis terjual. Menurut J. Deppermann, ini adalah tanda bahwa orang simalungun Kristen sangat membutuhkan tersedianyabuku-buku rohani dalam bahasa ibu mereka sendiri. Hangatnya sambutan jemaat tehadap karyanya itu semakin menggairahkan J.Wismar Saragih untuk menerjemahkan seluruh perjanjian baru ke dalam bahasa simalungun, apalagi lembaga Alkitab Belanda masih menyatakan kesediannya untuk menerbitkannya. Semua pendeta simalungun dilibatkan dalam kegiatan penerjemahan, semetara para penatua bertugas mencari dana serta melengkapi sarana yang berhubungan dengan penerjemahan tersebut. Pada 1945, kegiatan penerjemahan mulai dilakukan. Dalam tempo 6 bulan, Alkitab perjanjian baru itu habis terjual. Pembelinya kebanyakan adalah kaum muda, baik yang tinggal di desa maupun di kota-kota besar, seperti medan dan Jakarta. Pada 1955, Alkitab perjanjian baru itu segera dicetak ulang, tetapi pihak penerbit bukan lagi lembaga Alkitab Belanda, melainkan lembaga Alkitab Indonesia (LAI) di Jakarta.
B. Allah (Naibata)
Salah satu perkataan paling penting untuk mengkomunikasikan pesan Alkitab adalah menyangkut nama Allah (Elohim).  A.Theis menggunakan Naibata untuk menyebut Allah. Zendeling lainnya seperti G.K. Simon juga menggunakan nama itu. Simon memakai kata Dja Gabriel, DJa Matius, Dja Markus, Dja Lukas dan Dja Johannes. Pada awalnya, kata Naibata mereka dengar dari orang simalungun sendiri yang menyebut dan menyembah raja mereka sebagai Naibata nataridah. Lambat laun kata itu semakin penting bagi mereka ketika para imam dan datu memuja Naibata sebagai penguasa dunia atas (nagori atas), dunia tengah (nagori tongah), dan dunia bawah (nagori toruh). Meskipun orang simalungun menyembah roh-roh lain di luar Naibata, tetapi baik A. Theis maupun G.K. Simon melihat bahwa Naibata memainkan peran paling penting dalam agama asli suku simalungun (kepercayaan kepada roh-roh), sebab hanya atas ijin Naibata itulah roh-roh lain yang disembah itu mengabulkan doa-doa permintaan pemujanya. Inilah bagian Alkitab pertama berbahasa simalungun yang sampai ditangan orang simalungun Kristen sejak tahun 1953. 
c. Yesus Kristus
Yesus Kristus adalah anak manusia yang menghubungkan diri-Nya ke dalam kehidupan manusia. Yesus seperti itulah yang diberitakan para zendeling kepada orang simalungun penganut agama suku. Tidaklah mudah bagi zendeling mengajak orang simalungun supaya ikut mengaku Yesus Kristus seperti yang mereka pahami dan percayai. Di pematang Bandar selama pelayanan  G.K. Simon di sana (1904-1907) tidak satupun orang simalungun berhasil diajaknya untuk mengaku Yesus sebagai anak Allah. Bagi orang simalungun, kalau Yesus berasal dari langit, tentu Yesus itu bergaul dengan Roh leluhur mereka yang juga tinggal di langit. Namun, para zendeling membenahi cara pemberitaan mereka tentang Yesus Kristus. A. Theis mengenal sejumlah ungkapan penting di kalangan simalungun, seperti anakni mataniari (anak matahari), anak rumah bolon (anak istana), dan hasusuronni panggomgom (keturunan pemimpin). Ia datang untuk menyelamatkan manusia.
Tonduy digunakan para zendeling untuk Roh Kudus. Roh Allah disebut Tonduy ni naibata, sedangkan Roh Kudus adalah Tonduy napansing. Tonduy Napansing  seperti inilah yang diberitakan dan diajarkan para zendeling kepada orang simalungun. Kata Tonduy bukan kata asing dalam kepercayaan mereka. Namun, pemahaman mereka menjadi sangat terbatas. Mereka tidak dapat menerimakenyataan bahwa Roh Allah (Tonduy ni Naibata) dapat masuk hati rakyat biasa, sehingga mereka dilayakkan menjadi pemberita dan pemimpin jemaat. Sebagian orang simalungun belum melihat arti yang sesungguhnya dari apa dan siapa Tonduy Napansing, karena tonduy hasadaon dalam agama lama simalungun tampaknya mirip dengan Tonduy Napansing, walaupun sesungguhnya kedua-duanya sangat berbeda satu dari yang lain.
E. Manusia dan Dosa
Manusia pertama yang diciptakan Allah bernama Adam dan ditempatkan di Taman Eden. Namun, Allah tidak menginginkan Adam seorang diri. Allah kemudian menciptakan seorang perempuan yang diberi nama Hawa. Hawa kemudian menjadi isteri Adam. Pembicaraan tentang manusia tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan tentang dosa. Manusia jatuh ke dalam dosa karena menerima bujukan setan. Setan berhasil menggoda manusia sehingga manusia berada di bawah kuasanya. Pemberontakan Adam dan Hawa terhadap perintah Allah adalah awal munculnya berbagai kejahatan di tengah manusia, seperti pertikaian, penyembahan berhala, kedengkian, mencuri, membunuh, berbohong, dll. Namun Allah tidak bermaksud melenyapkan manusia
 F. Gereja dan Tata Kebaktian Minggu
1. Gereja
Gereja adalah kudus. Kekudusannya bukan karena anggotanya kudus atau dikuduskan anggotanya, melainkan karena kekudusan Kristus sebagai kepala Gereja. Gereja adalah am, yakni persekutuan semua orang kudus yang percaya di dalam yesus kristus. Oleh karena itu gereja adalah “Bait Kudus” Allah (rumah namapansing ni Naibata). Pemahaman orang simalungun Kristen tentang pemberitaan dan rumusan yang menyangkut tentang gereja adalah suatu proses yang terus berjalan kea rah pemahaman yang lebih theologies-alkitabiah.
2. Tata Kebaktian Minggu (Liturgi)
Bentuk tata ibadah (termasuk tata kebaktian minggu) yang dipakai oleh gereja-gereja hasil penginjilan RMG di Indonesia mengikuti pola-pola yang digunakan di negeri Jerman. A. Theis 1905 menyusus tata kebaktian minggu dengan bentuk yang tradisional untuk jemaat-jemaat di simalungun. Ia berpedoman pada agenda Karya Jung dan Steinsieck. Pertama kali tata kebaktian minggu itu dipakai dijemaat Raya Tongah pada 1912. H. Guillaume dan Carl Gabriel juga memakai tata kebaktian minggu Karya A. Theis di lingkungan setasinya. Sampai 1980, tata ibadah GKPSmengikuti urutan tata ibadah HKBP. Namun setelah 1980, GKPS melakukan pembaran tata kebaktiannya. Nyanyian yang pada awalnya ditempatkan sebagai urutan pertama diganti dengan votum dan introitus.
G. Baptisan kudus
Melalui baptisan kudus, seseorang dipindahkan dari dunia kegelapan ke dunia terang. Seseorang yang hendak dibaptis harus mengikuti katekisasi lebih dahulu. Anak-anak orang Kristen harus secepatnya dibaptis. Setiap kali dilakukan baptisan (baik baptisan dewasa maupun anak-anak), zendeling menganjurkan calon baptisan berpakaian putih sebagai simbol pertobatan. Berita dan praktik baptisan kudus itu mengingatkan mereka pada ritual paridihon (memandikan) dan manrasi goran (member nama) dalam kehidupan orang simalungun.
H. Perjamuan Kudus
Dalam naskah agenda tulisan A. Theis dijelaskan bahwa perjamuan kudus adalah sakramen yang diperintahkan Tuhan Yesus kepada orang percaya untuk dilaksanakan sebagai penampakan Yesus kepada orang percaya untuk dilaksanakan sebagai penampakan rahasia anugerah Allah kepada manusia yang member pengampunan dosa, hidup baru, dan persekutuan baru dengan-Nya dan sesama manusia. Perjamuan kudus adalah saat dimana jemaat menerima roti dan anggur sebagai symbol tubuh dan darah Tuhan Yesus, bahwa Ia rela mati untuk pengampunan dosa manusia. Perjamuan kudus adalah peringatan akan penderitaan dan kematian Kristus. Pelaksana perjamuan kudus adalah pendeta. Makna perjamuan kudus adalah solidaritas dalam persekutuan syukur yang olehnya orang percaya dipanggil untuk menyingkirkan tembok-tembok kesombongan, kelas, status, dan pemisahan secara konfesional. Perjamuan kudus mengingatkan orang percaya akan hubungan yang erat di antara pelayanan Kristus dalam meja Tuhan dan kehadirannya yang menyelamatkan di antara kebutuhan-kebutuhan dunia.

I.                   Peneguhan Sidi (Manaksihon Haporsayaon)
Pada acara peneguhan sidi, mereka mengenakan pakaian berwarna putih dan pendeta menumpangkan tangan di atas kepala mereka disertai oleh dengan permohonan kepada roh Kudus. Orang simalungun menyebut peneguhan sidi dengan kata malua yang bermakna “lepas dari ikatan”.
J. Perkawinan
Penganut agama suku menganut sistem pernikahan poligami (kendati tidak semua melakukan itu). Hal itu berarti bahwa seorang laki-laki boleh menikah dengan lebih dari satu isteri, tanpa harus meminta izin dari isteri pertama. Meski mencirikan poligami, pernikahan menurut adat simalungun mempunyai corak agamawi yang khusus, sehingga diselenggarakan oleh datu atau tokoh-tokoh adat. Tanpa memperdulikan latar belakang adat perkawinan simalungun, para zendeling cenderung melihat hal mas kawin (partadingan/ boli ni boru) sebagai praktik terselubung memperdagangkan perempuan, yang merendahkan status perempuan sebagai sederajat dengan pria, sehingga mereka melarangnya. Sejak 1930, terutama atas kehadiran J.Wismar Saragih, gereja menjadi lebih terbuka terhadap urusan mas kawin, bahkan sebagian besar penatua jemaat turut mempertahankan tradisi mas kawin tersebut.
K. Pemakaman
Para zending menegaskan bahwa semua orang yang meninggal harus dimakamkan dengan hormat dan pantas, baik anak kecil, remaja, pemuda, orangtua, pejabat, pengusaha, dan pelayan jemaat sendiri. Semua manusia berharga dimata Tuhan, oleh karena itu setiap upacara pemakaman, siapapun orangnya harus dimakamkan dengan hormat dan pantas. Namun upacara kematian dan penguburan Kristen yang tidak mengenal pembedaan itu juga tidak dapat diterima orang simalungun Kristen pada umumnya. Misalnya, mereka tidak dapat menerima kalau makam orang yang meninggal ketika ia masih di bawah hukum siasat gereja di tempatkan di samping makam warga jemaat lainnya. Kesulitan menerima kesetaraan itu juga tampak pada upacara kematian dan pemakaman bagi seseorang yang meninggal pada masa kanak-kanak dan pemuda. Dalam budaya dan agama lama suku simalungun, ritual yang dilakukan untuk kematian jenis ini dilakukan seadanya saja. Bagi GKPS tujuan pemakaman adalah untuk memberitakan firman Tuhan tentang kematian dan kebangkitan, serta memberi penghiburan kepada keluarga yang ditinggalkan.
L. Nyanyian
Untuk kebutuhan nyanyian gerejawi di simalungun, beberapa nyanyian di gerejawi dari Jerman itu diterjemahkan ke dalam bahasa simalungun oleh G.K. Simon pada 1906 di pematang Bandar. Namun, nyanyian rohani tersebut belum sempat dijemaatkan di kalangan simalungun Kristen, sebab Simon harus menjalani cuti sakit ke Jerman. Pada 1960-an, pemahaman tentang nyanyian gerejawi berubah dan diupayakan untuk memperluas buku nyanyian (haleluya) dengan nyanyian rohani yang bersumber dari nyanyian tradisional simalungun.
M. Tari-tarian
Kecenderungan yang menghubungkan tari-tarian kepada upacara agama lama membuat tari-tarian menjadi pokok yang tidak perlu dipergumulkan secara theologies di GKPS. Dalam sejarah penginjilan setelah batakmission, tari-tarian hanya dipergunakan sekadar sebagai sarana menghibur untuk menarik perhatian penganut agama parbegu menerima injil Kristus. Tidak mudah bagi GKPS memilah-milah yang mana tortor dan jenis music yang layak dipakai di jelaat dan mana yang tidak layak. Kalaupun dilakukan pemilah-milahan, hal yang dikuatirkan adalah tortor dan jenis musik lain akan punah . akhirnya pada sinode 1980, sinode memutuskan untuk menampung semua tortor dan jenis musik simalungun ke lingkungan gereja.

Bab IX
Dampak Perjumpaan Injil Dan Kebudayaan
A.    Bidang Kegerejaan Dan Kehidupan Rohani
Batakmission berhasil mendirikan sejumlah 66jemaat di tanah simalungun selama 37 tahun pekerjaanya di simalungun (1903-1940), kendati sebagian besar keberhasilan itu berkat gerakan penginjilan kaum pribumi melalui “kongsi laita” dan “parguru saksi Kristus”. Artinya, kekristenan protestan yang mereka bawa dari negeri asalnya berhasil ditanamkan di tanah simalungun.
1.      Pertambahan Anggota Gereja
Sulitlah bagi orang simalungun kalau mereka harus menjadi orang “batak toba” lebih dahulu supaya menjadi orang Kristen. Namun, ada hal-hal mengesankan yang dilihat dan dirasakan oleh orang simalungun dari para zendeling yang membuat mereka bukan hanya tertarik masuk Kristen, tetapi juga membawa orang lain masuk Kristen. Selain itu, sikap keramah-tamahan, mau mengunyah sirih, dan kesediaan menjenguk orang sakit serta mendoakannya menumbuhkan simpati dalam diri orang simalungun. Mereka yang masuk Kristen ini turut pula mendorong dan membawa keluarganya atau kerabatnya masuk agama Kristen. Cara berkomunikasi seperti itu bukan hanya memudahkan penduduk pribumi memahami berita injil, melainkan juga merangsang mereka bersikap kritis terhadap kepercayaan warisan leluhur dan beralih kepada agama Kristen. Bagaikan meteor yang melejit kencang, jumlah orang Kristen selalu bertambah dari tahun ketahun berkat usaha penginjilan kedua organisasi penginjilan pribumi tersebut. Masuknya orang simalungun ke dalam agama Kristen sebagian besar adalah karena motif injili, yakni lahir dari kesadaran dan keyakinan terhadap kebenaran firman Tuhan.

2.      Corak Kehidupan Rohani
Setiap orang yang masuk agama Kristen dinasehati supaya menjauhi kebudayaan sendiri, sekurang-kurangnya memilah-milah mana yang positif, netral, dan negative sesuai petunjuk zendeling. Sikap seperti ini banyak diperlihatkan generasi pertama jemaat simalungun yang baru tumbuh itu. Mereka diyakinkan oleh nasihat para zendeling supaya menyingkir dari kebudayaan “kafir” yang berlumuran dosa. orang simalungun dibawa menjadi orang Kristen, tetapi mengikuti model kekristenan zendeling (Barat). Pengaruh konsep agama suku perlu ditinjau dalam kehidupan Kristen simalungun masa kini, sekurang-kurangnya sampai 1990. Kehidupan rohani simalungun sering diungkapkan dalam nyanyian, tari-tarian dan bahasa mereka.
3.      Pengadaan Pengerja Gereja
Selama tiga puluh tahun masa kerja batakmission di Simalungun (1903-1940), mereka hanya melahirkan dua pendeta pribumi dan tiga puluh guru sekaligus penatua. Pelayanan dijemaat terbantu dengan kehadiran sejumlah guru dan penginjil dari Tapanuli, tenaga yang ada masih jauh dari memadai, apalagi mengingat begitu banyaknya orang simalungun yang perlu dikristenkan. Barulah pada Desember 1909, dari 25 orang simalungun yang dibabtis di Pematang raya, terdapat 7 orang murid sekolah zending. Sejak 1910, semakin banyak murid sekolah yang bersedia dibaptis, bahkan beberapa diantaranya diperkenankan menjadi guru bantu sesuai penilaian para zendeling.
 Inilah yang terjadi, meskipun usaha batakmission mendidik tenaga pengerja gereja pribumi secara kuantitatif kurang begitu mencolok, tetapi keterampilan sejumlah besar orang simalungun Kristen memberitakan injil adalah hasil binaan mereka yang telah mengikuti sekolah batakmission di simalungun. Tidak tehitung banyaknya peluang bagi pengerja simalungun dalam memanfaatkan nyanyian, tari-tarian, dan musik setempat, termasuk drama bagi ibadah dan kesaksian.
B.     Kebudayaan dan Adat Istiadat
Perjumpaan kebudayaan Barat dengan kebudayaan dan adat-istiadat simalungun berlangsung selama berlangsungnya usaha penginjilan oleh RMG/Batakmission di Simalungun (1903-1940). Pada awal perjumpaan itu, mereka cenderung menilai negatif semua budaya/adat simalungun. Mereka menganggap budaya simalungun berakar dan bersumber pada penyembahan berhala. Setelah perjumpaan intesif dengan masyarakat simalungun, terutama sejak 1915, lambat-laun para zendelingmelihat ada beberapa hal dalam budaya/adat simalungun yang positif dan indah. Para zendeling beralasan penilaian itu berdasarkan firman Allah. Setiap para zendeling yang memilah-milah budaya/adat simalungun itu perlahan-lahan menggerogoti alam pikiran asli orang simalungun yang sejak zaman leluhur memahami budaya/adat secara totalistis. Orang simalungun memiliki kebudayaan dan adat-istiadat sendiri yang diwariskan leluhur mereka. Bagi mereka, menjalankan kebudayaan dan adat-istiadat berarti menghormati leluhur.
1.      Kehamilan Dan Kelahiran
Para zendeling tidak memahami betul kebiasaan di simalungun tantang sejumlah pantangan (larangan) yang bertujuan melindungi kehamilan. Namun setelah melihat kenyataan sehari-hari di simalungun, hal yang terutama adalah agar pantangan-pantangan yang sungguh-sungguh diarahkan kepada kesehatan ibudan janin yang ada dalam kandungan. Bagi para zendeling, tingginya tingkat kematian bayi yang baru lahir bukan karena ibu tersebut melanggar pantangan yang kemudian membangkitkan amarah roh leluhur, melainkan pantangan itu sendiri kurang mendukung bagi kesehatan ibu dan janin dalam kandungan. Di Pematang Rata, A.Theis bersama isterinya member sejumlah vitamin kepada ibu-ibu hamil. Di simalungun, para orangtua ingin supaya anaknya yang lahir itu tumbuh dengan sehat dan cerdas. Anak-anak mereka tidak bertindak seperti binatang. Oleh karena itu, orang simalungun melakukan tradisi paabingkon niombah hubani tulang pakon ompung (membawa anak untuk digendong paman dan kakek/neneknya) setelah anak berusia 1 tahun. Para zendeling menegaskan bahwa anak yang lahir di dalam doa harus pertama diserahkan kepada Allah melalui baptisan kudus, bukan kepada orang tertentu.
2.      Masa Remaja
Orang simalungun mengenal upacara mempersiapkan anak untuk masuk remaja atau pemuda yang disebut pahotkon tonduy (penguatan roh). Ia harus selalu dilindungi ketika anak memasuki fase remaja, perlindungan kepadanya sudah semakin terbatas. Tradisi seperti ini terikat juga dengan kepercayaan lama di mana seorang anak yang telah remaja sudah diperkenankan mengikuti ritual pemujaan roh-roh. Tidak melakukan upacara ini dianggap penghinaan kepada roh leluhur dan memalukan bagi orang-orang simalungun. Orangtua sianak akan disebut orangtua yang tidak beradat. Bagai manapun juga zendeling tidak menginginkan munculnya rasa malu dalam diri orangtua apabila tidak melakukan adat kebiasaan ini.
3.      Perkawinan
Para zendeling tidak dapat menerima praktik-praktik yang dimata mereka tidak berperikemanusiaan atau melanggar “hak asasi manusia”, seperti: perkawinan paksa, perkawinan di bawah umur, dan kekerasan terhadap perempuan. Para zendeling ingin menghentikan praktek seperti itu. Orang simalungun tidak melihat kekristenan sebagai musuh adat perkawinan karena pendekatan persuasive ini. Melalui khiobah, penelahaan Alkitab (sermon), dan dalam pertemuan gerejawi lainnya, para zendeling menekankan bahwa poligami, perkawinan paksa, perkawinan bawah umur, kekerasan kepada perempuan adalah perbuatan yang dilarang Allah, Allah akan menghukum orang-orang yang berbuat seperti itu. Para zendeling pun ikut tegas melarang segala unsur yang ada upacara perkawinan yang dinilai “kafir”, seperti: tarian, manggual (memainkan alat musik tradisional), meminum tuak (arak), dan adat perkawinan yang bertele-tele.  

4.      Kematian Dan Pemakaman
Kematian tidak lagi dipandang sebagai peristiwa yang menakutkan dan membuat putus asa keluarga yang ditinggalkannya. Kematian tidak menghalangi kuasa Allah member berkat-Nya kepada orang percaya kepada-Nya. Itulah sebabnya dalam peristiwa kematian, nyanyi-nyanyian gerejawi selalu dikumandangkan, baik sebelum jenajah dibawa ke pemakaman maupun setelah acara pemakaman.  
5.      Nyanyian Dan tari-tarian
Sikap zendeling yang memilah-milah unsur budaya simalungun dalam tiga ketegori: positif, netral, dan negative (dan yang terakhir ini lebih besar porsinya) berakibat pada hilangnya sejumlah nyanyian dan tarian simalungun yang telah ada sebelum batakmission bekerja di simalungun. Oleh karena itu, nyanyian dan tarian yang pantas dipergunakan orang Kristen adlah nyanyin dan tarian yang dianggap zendeling lebih injili dn berbobot. Nyanyian injili dan berbobot itu adalah kumpulan lagu-lagu rohani yang mereka bawa dari negeri asalnya , yakni Jerman, negeri yang disebut Kristen dan beradab. Nyanyian memiliki keterkaitan erat dengan tari-taruan. Oleh karena itu, tar-tarian asli tradisional simalungun pun mengalami nasib sama dengan nyanyian asli tradisional simalungun pun mengalami nasib sama dengan nyanyai asli tradisional simalungun. Sejak 1970-1990, A.K.Saragih mengubah nyanyian tradisional simalungun menjadi nyanyian rohani yang dipakai di GKPS hingga saat ini.




BAB X            : RANGKUMAN, KESIMPULAN, DAN REFLEKSI
                        Orang Simalungun yang dijumpai para zendeling pada awal abad ke-20 telah pula memiliki unsur-unsur budaya, termasuk adat-istiadatnya. Leluhur mereka mewariskan sejumlah nyanyian, tarian, alat-alat musik, teknik bertani, ramuan-ramuan dan pengobatan, dan sebagainya. Penyelenggaraan unsur-unsur budaya dan adat-istiadat itu bukan sebatas meperteguh hubungan dengan roh leluhur, melainkan juga menunjukkan bahwa suku ini memiliki jati diri kultural di antara suku bangsa tetangganya.
Mengenai Zending dan para utusannya, selama 37 tahun pekerjaan Batakmission diSimlaungun (1903-1940), sejumlah sekolah berhasil didirikan dan orang Simalungun juga berhasil dibawa menjadi Kristen, meskipun jumlahnya sedikit dibanding lamanya mereka bekerja di Simalungun. Jemaat-jemat di Simalungun menjadi bagian dari HKBP sampai 1963. Meskipun GKPS ini masih diharapkan membantu tenaga pribumi, terutama dalam hal pembinaan warga Gereja dan pelatihan kepada para pendeta GKPS. Pada tahun 1969, tenaga asing tidak ada lagi bekerja di GKPS.
Mengenai Pandangan RMG terhadap budaya/adat Simalungun, para Zendeling memilah-milah kebudayaan Simalungun dalam tiga Kategori: Positif, netral, dan negatife. orang Simalungun lambat laun terpengaruh oleh cara Batakmission memandang dan memilah-milah kebudayaan Barat modern kepada mereka, sementara roh-roh yang mereka sembah selama ini tidak mampu mengangkat mereka dari keterpurukan hidup disegala bidang. Dan yang terakhir mengenai Pendidikan para Zendeling nya yaitu bahwa para Zendeling di utus RMG menjalani pendidikan di seminari Barmen, dengan ilmu pengetahuan dan latihan penginjilan serta beberapa keterampilan khusus untuk mendukung tugas penginjilan. Pelajaran tambahan tentang kesehatan yang mereka pelajari di negerinya turut mendukung pekerjaan mereka di Simalungun.
Dampak pada Gereja Protestan Simalungun (GKPS), yang dimana Orang Simalungun Kristen yang mendapat pendidikan Batakmission juga memberitakan Injil kepada kaumnya sehingga jumlah orang Simalungun yang menjadi Kristen semakin bertambah. Berdirinya GKPS di Simalungun dengan wajahnya yang sekarang adalah hasil dari perjumpaan Injil dengan kebudayaan dan masyarakat Simalungun. Wawasan Missiologis GKPS disini, GKPS mengariskan tugas pengkabar Injil sebagai tugas panggilan Gereja berdasarkan perintah Tuhan Yesus Kristus (Matius 8:19-20). Tujuannya adalah untuk kemuliaan Allah dan membawa semua bangsa disegala tempat percaya bahwa Yesus adalah Tuhan dan Juru Selamat serta mempersekutukan mereka kedalam GKPS. Tugas pengkabaran Injil adalah usaha melayani dan membebaskan manusia dari penderitaan yang disebabkan oleh keterbelakangan, kemiskinan, penyakit, dan lain-lain. Tugas itu adalah tugas segenap gereja Kristen prostestan Simalungun, baik jemaat setempat, resot, distrik, maupun sinode.
Dalam organisasi pengkabaran Injil, pimpinan majlis setempat dapat memberi pelatihan atau kursus penginjilan kepada anggota jemaatnya atau sekurang-kurangnya mendorong setiap seksi didalam jemaat dalam melakukan tugas pemberitaan Injil. Pendidikan Pekerja GKPS, dilihat dari tingkat pendidikan dasar umum, pendidikan teologi, dan tempat pendidikan teologi. Para pekerja tidak lagi didominasi oleh kaum laki-laki, tetapi sudah diisi oleh sejumlah kaum perempuan juga, bahkan juga ada kesempatan untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi kini terbuka seluas-luasnya kepada pekerja perempuan (terutama Pendeta). Tempat pendidikan teologi tidak dibatasi didalam negeri, tetapi juga hingga keluar negeri. Lembaga Pendidikan Teologia dimana calon-calon pekerja GKPS menempuh pendidikan teologi disitu diharapkan membekali mereka dengan mata kuliah atau kurikulum yang memuat unsur-unsur budaya lokal. Hasil perjumpaan Injil dan kebudayaan refleksi dan Sumbangan pemikirn terhadap Simalungun begitu banyak dapat dilihat. Simalungun adalah salah satu wilayah perluasan RMG/Batakmission di Tanah Batak. selama 37 tahun pekerjaan Batakmission di Simalungun (1903-1940), upaya mengkomunikasikan Injil kepada orang Simalungun berlangsung dalam bahasa Toba, bukan bahasa Simalungun. Hal inilah yang menjelaskan mengapa sejak 1928 orang Simalungun Kristen member tempat yang begitu penting pada warisan kebudayaan mereka dan mengapa mereka menempuh jalan nasionalisme kedaerahan itu bagi kemandirian jemaatnya. Adapun tuntutan didalamnya, baik kepada zendeling maupun HKBP agar mereka mengakui kebudayaan mereka sederajat dengan kebudayaan suku bangsa lain. Inilah hasil pertama dari perjumpaan Injil dengan kebudayaan di Simalungun, yakni terjadinya ledakan jumlah orang Simalungun menjadi Kristen tatkala Injil itu dikomunikasikan dalam bahasa ibu mereka, bahasa Simalungun. Hasil perjumpaan Injil dengan kebudayaan bukanlah sebatas pendefenisian perlunya bahasa local dalam mengkomunikasikan Injil, melainkan juga tanggung jawab untuk mendayagunakan semua potensi yang dikaruniakan Kristus untuk memberitakan Injil itu sendiri






Kelebihan dan Kekurangan Buku
Kelebihan
-          Buku ini sangat membantu pembaca untuk memahami dan menambah pengalaman
-          Buku ini disusun dan dijelaskan secara sistematis dan menguraikan secara luas
-          Buku ini menginspirasi pembaca untuk mengaplikasikan perjalanan kekristenan di Simalungun ke dalam kehidupan sehari-hari
-          Dalam penulisan, buku ini membuat font yang sesuai sehingga pembaca tidak mengalami kesulitan dalam membacanya.
Kekurangan
-          Dalam hal penulisan, masih ada yang tidak mengikuti sistematika penulisan ynag benar seperti penggunaan tab, dan juga ada salah pengetikan, dan penggunaan garis miring dalam bahasa Indonesia, padahal sebenarnya hanya untuk bahasa asing.


No comments:

Post a Comment

Khotbah semptember 2020

 Minggu, 6 September 2020, 13-Set Trinitatis Tema : Manusia Tidak Untuk Diperjual-belikan Ev : Matius 27: 1-10 Pengantar Era globalisasi...